Futuwwah sebagai Standar Kompetensi Lulusan

Ada cukup banyak kategorisasi tahapan usia yang dipublikasi badan serta lembaga-lembaga baik nasional maupun internasional, juga dari kalangan ulama Islam dan kalangan intelektual Barat. Setiap kategorisasi memiliki paradigma dan latar ilmiahnya tersendiri. Tulisan ini menyajikan kategori tahapan usia paling sederhana (dan masih sangat terbuka bagi kritik) sebagai bahan pembuka diskusi.

Istilah-istilah yang digunakan semua ada dasarnya dari Al-Qur`an, As-Sunnah dan perkataan salaf. Kata ‘murahaqah’ yang berada di bawah fase ‘ghulamiyah’ merepresentasikan fase kanak-kanak akhir menjelang baligh (pra-dewasa). Sedangkan kata ‘fata’ dari masa ‘futuwwah’ bisa disetarakan dengan istilah ‘syabab’ yang populer dalam hadis-hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam.

TABEL TAHAPAN USIA

                                                   Fase Hidup Thufulah (Masa Kanak)  

Rujulah (Lelaki Dewasa)

 

Radha’ah

(Penyusuan)

Thufulah

(Masa Kanak Murni)

Ghulamiyah Futuwwah

(pemuda)

 

Rujulah

 

Kuhulah

(kedewasaan

Spiritual)

Al-Kibar

(lanjut

Usia)

Tamyiz

(Masa Kanak

Belajar)

 

Murahaqah

(Pra-dewasa)

Perkiraan Usia

(Tahun)

 

0 – 2 2-7 7-10 10-15 15-19 19-40 40-80 80 ke atas

 

Secara normatif, golongan ‘remaja’ (adolescence) tidak dikenal dalam Islam. Namun keberadaannya secara de facto sebagai ekses proses sejarah harus juga diakui. Lantas, siapa ‘remaja’? Remaja bisa didefinisikan sebagai manusia yang sudah matang secara biologis (baligh) namun belum matang dari segi mentalitas (aqil). Mereka adalah golongan manusia yang belum masuk kategori dewasa, namun juga telah dianggap selesai di fase anak-anak.

Dunia pendidikan hanya mengenal pedagogy (pendidikan anak) dan andragogy (pendidikan orang dewasa). Kini akibat tuntutan zaman para pakar harus menyusun semacam ‘remajagogy’ dengan metodologi yang acak.

Ketidaktahuan orang akan pentingnya pendidikan anak sesuai fitrah tahapan usianya melahirkan para peserta didik dengan karakter ‘remaja’ tadi. Mereka terluput dari pendidikan fitrati di usia thufulah-nya dan harus menjalani pemulihan (tashlih, recovery) di masa futuwwah-nya. Di sisi lain kebutuhan psiko-sosialnya selaku fata juga mesti dipenuhi.

Kata ‘fata’ -yang berarti ‘pemuda’-  disebut sebanyak tujuh kali dalam Al-Qur`an. Tiga kali di dalam surat Yusuf (12) ayat ke-30, 36 dan 62, tiga kali dalam Surat Al-Kahfi (18) ayat ke-10, 13, dan 62,  dan satu kali dalam surat Al Anbiya (21) ayat ke-60.

Di dalam Surat Yusuf kata ‘fata’ merujuk pada: (1) Diri Yusuf sendiri selaku pelayan dan anak angkat istri Al-Aziz di Mesir; (2) dua orang pemuda penghuni penjara yang merupakan bekas pelayan istana; dan (3) para pemuda yang merupakan anak buah Yusuf di istana Mesir.

Sedangkan dalam Surat Al- Kahfi, kata ‘fityah’ yang merupakan bentuk jamak dari ‘fata’ merujuk pada tujuh pemuda penghuni gua (seven sleepers) yang Allah sifati sebagai para pemuda yang beriman kepada Rabbnya dan mendapatkan tambahan petunjuk (ayat 10 dan 13). Sedangkan kata ‘fata’ satunya lagi di ayat ke-62 merujuk pada Yusya bin Nun yang menjadi asisten Nabi Musa alaihissalam dalam perjalanan menemui Khidr. Adapun kata ‘fata’ pada Surat Al-Anbiya (21) ayat ke-60 kembali kepada Nabi Ibrahim alaihissalam.

Keempat subjek sejarah ini: Yusuf, Ashabul Kahfi, Yusya bin Nun dan Ibrahim alaihimussalam merupakan figur-figur ideal yang menjadi sumber inspirasi bagi penyusunan karakter al-futuwwah sebagai standar kompetensi lulusan.

Tentu saja proses pencapaian kompetensi al-futuwwah ini bisa diupayakan lewat lembaga sosial semacam keluarga (home education), antar-keluarga atau pendidikan berbasis komunitas. Di sini kita hanya akan mengulas secara singkat kemungkinan penerapan prosesnya di lembaga persekolahan, khususnya di jenjang SMP dan SMA.

Futuwwah Sebagai Standar Kompetensi Lulusan (SKL)

Dari penelusuran terhadap ayat-ayat Al-Qur`an yang ada hubungannya al-futuwwah  di atas, terhimpun sejumlah karakter yang bisa kita rumuskan sebagai standar kompetensi lulusan. Kata ‘kompetensi’ di sini digunakan untuk mengikuti terminologi yang lazim dalam versi peraturan Pemerintah, yaitu: kriteria minimal tentang kesatuan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang menunjukkan capaian kemampuan peserta didik dari hasil pembelajarannya pada akhir jenjang pendidikan (Permendikbudristek No.5 Tahun 2022).

Menurut psikolog Adriano Rusfi, karakter keimanan seorang anak baru bisa dideteksi setelah usianya mencapai 12 tahun. Berarti di kelas tujuh SMP. Sedangkan karakter belajar dan karakter bakatnya harusnya sudah tumbuh saat ia baligh. Paling lambat seorang anak laki-laki mengalami ihtilam (mimpi basah) saat ia berusia 15 tahun (kelas 9). Namun di lapangan seringkali anak-anak sudah baligh sejak kelas 7 (usia 13 tahun). Maka, pendidikan jenjang SMP dan SMA merupakan medan pendidikan masa al-futuwwah, sekaligus pendidikan tashlih (recovery) bagi peserta didik dengan mentalitas ‘remaja’.

Di bawah ini adalah kalimat-kalimat SKL yang kami rumuskan berdasarkan inspirasi dari ayat-ayat Al-Qur`anul Karim.

Pertama, futuwwah Yusuf. Biografi Yusuf sebagai ‘pemuda’ tertera pada Surat Yusuf (12) ayat ke-22 sampai dengan 35. Di akhir masa futuwwah-nya (balagha asyuddahu) Yusuf berhasil menjadi orang yang berkuasa dan berilmu dan itu berkat karakter muhsin yang dimilikinya. Kalimat SKL dari futuwwah Yusuf adalah: (1) Menunjukkan pengendalian diri yang kuat dari godaan syahwat yang haram; (2)  Menunjukkan integritas moral, menjaga reputasi dan nama baik, serta berani menanggung risiko akibat pilihan sikap yang ia ambil.

Sumber inspirasi SKL ini adalah kisah Yusuf saat digoda istri Al-Aziz hingga dijebloskan ke dalam penjara.

Kedua, futuwwah Ibrahim. Silakan baca Al-Qur`an Surat 21: 54, 6:74, 6:80 dan 60:4. Kemudian 21: 62-67 dan 6:76-78, 37:85-87,  21:62-67, 6: 80, 21:58-68, 37:97. Kalimat SKL-nya adalah: (1) Menyatakan pendapat secara terus terang dalam rangka membela kebenaran, (2) Menunjukkan sikap kritis terhadap pemahaman yang keliru berdasarkan pembuktian akal sehat, (3)  Mempertahankan argumentasinya yang benar serta berani menanggung risikonya, (4) Bertindak nyata untuk mengubah/memengaruhi cara berpikir dan adat kebiasaan masyarakat yang tidak rasional.

Sumber inspirasi SKL ini adalah kisah Ibrahim menghancurkan berhala yang disembah kaumnya sampai akhirnya ia dihukum bakar.

Ketiga, futuwwah ashabul kahfi. Silakan baca Surat Al-Kahfi ayat ke-9 sampai dengan 21. Rasionalitas dan kritisisme mereka mirip dengan yang dimiliki Ibrahim. Mereka menyatakan pendapat secara terus terang di hadapan raja (penguasa) yang zalim namun bertindak rasional dengan melakukan uzlah. Kalimat SKL yang diusulkan ialah: (1) Berpikir dan bertindak rasional berdasarkan realitas di lapangan (bersiasat); (2) Menunjukkan sikap kritis terhadap pemahaman mayoritas masyarakat yang terbukti keliru.

Keempat, futuwwah Yusya bin Nun. Kalau kita melihat penggalan Surat Al-Kahfi 18 ayat ke-60 sampai 66, tampak tidak ada kompetensi yang tersurat.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa Yusya menyertai perjalanan Nabi Musa alaihissalam saat menemui Khidr dari awal hingga akhir. Dalam kisah Yusya kita hanya bisa menyimpulkan bahwa selaku ‘fata’ proses belajar dengan cara ber-mulazamah, melakukan khidmah (pelayanan) dan terjun langsung ke lapangan merupakan proses belajar yang disarankan. Yusya bukan hanya belajar, bahkan belajar cara belajar – dengan melihat proses belajar gurunya menuntut ilmu kepada Khidr, alaihimussalam.

Wallahu a’lam bis shawab.

Referensi tambahan:

 

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *