Investasi “Leher ke Atas” Jadi yang Terbaik, Yakin?
Published Date: 8 June 2022
Dikenal sebuah adagium berbunyi, “Investasi terbaik adalah investasi leher ke atas.” Tidak ada yang salah dengan adagium tersebut dan memang benar adanya, masalahnya adalah, sebagian orang yang menggunakan ungkapan tersebut untuk menihilkan jenis investasi yang lain. Bukan karena memang belum mampu untuk investasi, namun lebih karena literasi keuangannya yang masih kurang sehingga terjebak dalam hedonic treadmill.
Apa itu hedonic treadmill? insyaAllah dibahas pada pembahasan lainnya.
Pembahasan di sini akan mengerucut pada dua jenis “aset investasi” yang sebenarnya sama pentingnya, namun kerap dianggap berbeda dan patut dipertentangkan fungsinya. Di bidang akademik secara garis besar dikenal ada dua macam aset. Human Capital dan Financial Capital, secara sederhana Human Capital Asset adalah segala kemampuan, keterampilan manusia untuk mendapatkan uang, contoh investasi disini adalah sertifikasi profesi, sekolah, kuliah, seminar, workshop, dll. Sedangkan Financial Capital Asset adalah sumberdaya uang itu sendiri.
Jika harus berinvestasi diantara kedua aset tersebut, manakah yang lebih penting? Dua-duanya sama penting, namun perlu disesuaikan porsi, situasi dan kondisinya.
Dapat kita umpamakan dengan kondisi pertama sebagai berikut:
- Umur relatif masih muda, katakanlah dibawah 30 tahun
- Masih bersemangat untuk belajar sesuatu yang baru terutama bersifat formal
- Masih mengejar karir sampai level tertentu
- Masih ada waktu luang dan tenaga yang bisa dimanfaatkan
Maka orang dengan kondisi demikian lebih cocok bila porsi investasinya lebih dominan di Human Capital Asset seperti kuliah lagi S2, S3 atau ikut program sertifikasi profesi demi menunjang karirnya.
Namun jika kondisi kedua sebaliknya:
- Umur sudah relatif tidak muda lagi, katakanlah diatas 30 tahun.
- Sudah tidak ada minat mempelajari hal baru (yang sifatnya legal, formal).
- Karier sudah mentok atau sudah tidak mau meningkatkan levelnya.
- Sudah sibuk dengan urusan rumah tangga dan pekerjaan sekarang.
Bila bersesuaian dengan poin-poin di atas, orang dengan kondisi tersebut sebaiknya sudah harus memulai dan mempertimbangkan untuk memperbesar alokasi investasinya di bidang Financial Capital seperti emas, saham, properti dan berbagai macam jenis aset produktif lainnya.
Mengapa demikian ?
Baca juga: Hedonic Treadmill, Penyakit Finansial yang Menggerogoti Aset
Mari Kita jawab dengan contoh kasus berikut:
Sebut saja Budi, seorang pemuda 22 tahun, lajang, dan baru saja lulus S1 pada universitas terkemuka di kotanya. Ia mengawali karir sebagai IT Staff di perusahaan teknologi. Memiliki tabungan sebesar Rp 50.000.000,- dan saat ini dihadapkan dengan dua kondisi. Pertama lanjut program S2 di kampus incarannya atau untuk DP rumah di lokasi strategis yang selama ini ia idamkan. Dengan asumsi tidak ada tabungan lain dan harus memilih salah satu manakah pilihan paling bijak diantara keduanya?
Mengacu pada kondisi pertama di atas maka akan lebih bijaksana jika Budi mengambil pilihan untuk lanjut kuliah S2-nya, karena umurnya masih muda, jenjang karir masih panjang, toh jika gagal masih bisa bangkit lagi secara waktu dan tenaga masih banyak. Dan dengan ijazah S2-nya ada kemungkinan besar gajinya juga akan naik sehingga kemampuan saving-nya meningkat yang ujungnya bisa membeli rumah itu juga walaupun tidak sesegera mungkin.
Lain halnya jika Budi sudah puas dengan karirnya, karena sudah cocok dengan lingkungan kerjanya, sudah tidak berminat melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya, ingin fokus memperdalam bidang lainnya yang cukup menyita waktu, maka lebih baik dana lima puluh juta tersebut diinvestasikan ke bentuk lain yang lebih produktif pada aset financial capital. Lebih baik lagi bila Budi berinvestasi dikedua jenis aset tersebut secara bersamaan, dengan porsi yang sudah diatur tentunya (dengan catatan Dana Darurat Budi sudah aman).
Investasi pada Human Capital Asset sifatnya aktif alias harus dilakukan secara langsung oleh seseorang secara terus menerus demi mendapatkan imbal hasil yang sepadan. Contoh: konsultan proyek, dokter spesialis, dll. Mereka harus aktif bekerja untuk mendapatkan imbal hasil, kecuali untuk beberapa aset seperti Hak Paten, Lisensi, Royalti dll. Kekuranganya adalah sampai batas umur tertentu mereka harus pensiun. Jika saat pensiun tersebut ia belum mempersiapkan Financial Capital Asset dengan baik dan bijaksana, tentu akan membuat kehidupannya terganggu.
Saat pensiun tentu saja saldo di rekeningnya sudah sangat gendut. Iya betul, tapi tinggal masalah waktu saja berapa lama saldo tersebut bertahan menghidupi sisa hidupnya.
Jadi mana yang lebih penting, investasi leher keatas atau investasi aset keuangan?
Dua-duanya sama pentingnya, tinggal sesuaikan saja porsi sesuai situasi dan kondisi. Memahami hal ini sedini mungkin akan membuat anda lebih bijaksana dalam mengelola keuangan.
Yang salah adalah tidak berinvestasi keduanya dengan catatan: Ada kemampuan dan kesempatan tapi tidak dimanfaatkan.
2 thoughts on “Investasi “Leher ke Atas” Jadi yang Terbaik, Yakin?”