Menjadi Wali Murid Ideal
Published Date: 11 March 2022
Terlalu sering kita tahu bagaimana menjadi murid ideal, seperti apa potret seorang pendidik jempolan bagi para murid, atau tentang bagaimana sekolah yang bagus, hingga mungkin soal kiat-kiat lain yang mengarah kepada model pendidikan dan pembelajaran terbaik, dengan melibatkan guru sebagai subjek dan murid sebagai objek dari sebuah proses belajar mengajar.
Hal yang demikian dapat ditemukan dalam berbagai seminar, tulisan berbentuk artikel yang tersebar di banyak laman website, atau dalam kajian-kajian singkat tentang profil pendidik dan penuntut ilmu ideal. Namun, sangat jarang sekali ada tema yang membahas perihal bagaimana menjadi walimurid ideal. Perlu digarisbawahi, wali murid, bukan orangtua. Jika menjadi orangtua ideal tentu hal ini banyak dibahas dalam kajian bertema birrul walidain atau seminar parenting.
Mengapa wali murid? Karena wali murid juga memiliki porsi dalam proses belajar mengajar di sebuah sekolah atau institusi yang menjalankan pendidikan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Wali murid memiliki pengertian sebagai orang yang menjamin dan bertanggung jawab terhadap seorang anak di sekolahnya, seperti ibu, bapak, atau saudara. Sehingga, jika si murid berada dalam keadaan yatim, piatu, atau keduanya sekaligus, maka mereka tetap memiliki hak atas adanya wali murid yang menanggung dan menjamin keadaan mereka. Baik bersifat perorangan atau kita kenal dengan istilah orang tua asuh, atau lembaga yang menjamin murid tersebut beraktifitas di sekolahnya.
Walimurid memiliki fungsi strategis dalam mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan. Peran strategis wali murid bahkan diberi porsi istimewa di sekolah dengan adanya fasilitas Persatuan Orangtua Murid dan Guru atau dahulu kita kenal dengan nama POMG. Walaupun saat ini ragam namanya disesuaikan dengan lembaga masing-masing.
Lantas bagaimana untuk menjadi wali murid ideal itu? Yakni wali murid yang bisa bekerja sama dengan pihak sekolah, bersama-sama dalam sebuah tanggungjawab demi mewujudkan anaknya (wali murid) atau siswa didik (sekolah) sesuai dengan harapan.
Selama ini, barangkali kita termasuk pribadi yang terjebak dalam asumsi, bahwa sepenuhnya pendidikan diserahkan kepada sekolah. Wali murid hanya paham bahwa sekolah yang dipilihkan adalah yang terbaik dan dapat bertanggungjawab secara moral dan intelektual terhadap anak-anak yang mereka titipkan.
Sekolah pun memiliki persepsi sendiri, bahwa tugas sekolah adalah sebagai fasilitas untuk menyiapkan anak-anak dari wali murid tersebut untuk membantu mencapai harapannya, sekolah benar-benar hanya mengurus sesuatu yang substansial menyangkut penyaiapan anak didik menghadapi dunia setelah hari ini. Kebersamaan yang dimiliki oleh sekolah, adalah selama anak tersebut berada di sekolah, dan periode bimbingan serta pengajaran yang ada, ketika si anak mengikuti periode belajar dalam hitungan yang telah ditentukan dan diketahui.
Disana sudah menjadi letak yang paling mendasar, bahwa peran sekolah sangat sementara. Tidak benar-benar dapat menjaminkan apapun, dan tentu proses yang ditempuh tidak bersifat selamanya. Adapun wali murid, sejatinya mereka adalah pendidik sebenarnya. Karena seluruh hal yang disebutkan tentang sekolah di atas, adalah hal-hal berkebalikan yang sudah semestinya ada dalam diri para walimurid. Walimurid dan sekolah adalah mitra, dan sekolah adalah salah satu dari sekian banyak ikhtiar pendidikan yang bisa dilakukan oleh walimurid terhadap tanggungjawab asuhnya.
Lantas, bagaimana menjadi walimurid ideal yang bisa menjadi pihak paling mudah bekerja sama dengan sekolah?
Pertama, seorang wali murid harus mengenal betul pribadi anaknya. Ia mengetahui karakter si anak, pergaulan sebelum masuk ke sekolah, kualitas ibadah si anak, prestasi akademik yang sebelumnya dimiliki, lebih baik lagi jika diketahui minat dan bakatnya. Atau ternyata wali murid lebih paham tentang hal-hal yang tersembunyi dari si anak melalui pengamatan dan dugaan sementara karena memang tidak akan ada anak yang berani bercerita sisi lain dari dirinya, di luar dari apa yang menjadi ekspektasi orangtua.
Dengan mengetahui potensi yang dimiliki oleh si anak tadi, maka orangtua bisa memetakan, hal apa yang bisa dikoordinasikan dengan pihak sekolah. Hal ini menjadi mudah bagi pihak sekolah sebagai sebuah catatan perhatian terhadap si anak yang diamanahi tersebut. Sehingga, akan ada banyak perkara yang bisa diselaraskan dari pihak orangtua dengan sekolah.
Kedua, wali murid harus mengerti karakter sekolah tempat menitipkan anaknya dalam meraih pendidikan. Wali murid harus tahu karakter sekolah dengan baik, tentang kekhususan sekolah yang dimiliki, bagaimana lulusan yang menyelesaikan seluruh jenjang tahapan sekolah di sana, karakter guru saat mendidik anaknya, hingga mengetahui gambaran umum sekolah tersebut dengan menelusuri informasi yang dapat dimungkinkan, bahwa sang anak dapat bersekolah dengan baik di tempat tersebut.
Karena, bisa jadi, ternyata sekolah tidak bisa diandalkan dalam memenuhi target pendidikan yang orangtua inginkan atas anaknya. Tentu ini tidak semuanya disandarkan kepada pihak sekolah, mengingat sekolah juga mendidik puluhan atau ratusan murid dengan berbagai karakternya yang unik.
Ketiga, wali murid memiliki daftar pencapaian tentang apa yang akan anaknya dapatkan. Hal ini pasti berbeda dari setiap orangtua yang ada. Ada orangtua yang berharap anak menonjol dalam hal akademis atau ilmu umum, ada orangtua yang menginginkan anaknya memiliki hafalan Al-Qur’an sesuai dengan target jumlah juz tertentu, tidak sedikit pula orangtua yang berharap agar si anak memiliki adab dan akhlak yang baik, memiliki pemahaman dan aplikasi agama yang benar, atau hal-hal lain sesuai dengan ukuran potensi anak yang telah dipetakan. Poin ini tentunya berlaku bagi sekolah-sekolah dengan muatan agama Islam lebih banyak. Karena kalau anak di sekolahkan pada sekolah negeri, tentu orangtua sudah memahami pencapaian secara umum yakni menonjolnya aspek akademis dari si anak.
Setelah memiliki daftar pencapaian, jangan pernah lupakan agar terus dilakukan pemantauan dengan baik. Pantauan tersebut bisa dilihat dari perilaku anak, atau hal lain yang mengerucut pada target-target yang telah dibuat. Dan sebagaimana sifat dari sebuah proses, tentu selain kita siap apabila tercapai dan bangga akan hal tesebut. Kita pun sebagai orangtua juga harus bersedia jika ternyata hal itu meleset untuk diraih.
Namun begitulah pendidikan, kegagalannya bukan sebuah kebinasaan. Kegagalan yang didapat juga bagian dari pembelajaran. Maka jangan bermudah-mudahan bahwa sebuah sekolah itu gagal mendidik siswanya, karena sekolah adalah media dan sarana. Cobalah untuk berkaca ke jiwa kita masing-masing, sudah ada upaya apa yang kita lakukan untuk menghadapi kejadian-kejadian tersebut.
Keempat, aktif berkomunikasi dengan pihak sekolah. Komunikasi yang baik, akan dapat memudahkan proses pencapaian target dari orangtua. Dan sekolah akan merasa terbantu dengan adanya komunikasi yang aktif dari pihak orangtua. Yang dimaksud komunikasi aktif ini adalah, tidak serta merta orangtua memberikan ajaran kepada sekolah tentang mendidik si anak. Jika itu yang terjadi, maka seharusnya orangtua mendidik anaknya sendiri di rumah dan tak perlu menyekolahkannya. Komunikasi aktif di sini ialah, orangtua melakukan konfirmasi-konfirmasi tentang perkembangan si anak, menyampaikan fakta-fakta yang dimiliki, hingga memberi informasi tentang pergaulan-pergaulan yang diikuti oleh anak.
Hal ini pun tidak dilaksanakan setiap hari atau setiap bulan, tapi ada waktu tertentu yang digunakan. Contohnya saat pengambilan rapot sang anak. Orangtua hendaknya antusias dalam hal ini, jangan mewakilkan kepada orang lain, terlebih kepada anaknya. Karena bentuk komunikasi efektif dan bertanggungjawab antara pihak orangtua dan sekolah adalah, orangtua menghadiri pembagian rapot dengan pihak sekolah.
Kelima, sekolah bukanlah segalanya. Pendidikan terbaik tetap berada di rumah kita. Karena kita adalah pihak yang paling bertanggungjawab dihadapan Allah nantinya atas pendidikan yang kita berikan kepada mereka. Terlebih, banyak pendidikan alternatif yang bisa ditempuh orangtua, jika akhirnya sekolah formal tidak bisa menuntaskan pencapaian-pencapaian yang diharapkan. Ditambah lagi, sekolah adalah kumpulan para guru, yang harus pula dipahami bahwa mereka juga manusia. Memiliki keluarga, dan mempunyai anak yang harus mereka asuh. Semestinya, kita lebih banyak berterima kasih kepada sekolah dalam hal ini para gurunya, karena mereka telah menyisihkan waktu untuk membersamai anak-anak kita dalam mendidiknya.
Adapun jika terdapat kekurangan, tentu sekolah tidak berupaya untuk menyengaja. Tidak ada sekolah yang berharap agar anak didiknya keluar dari rel pendidikan yang baik. Semua sekolah yang ada, didirikan tentunya berada di atas kebaikan. Dan sekolah pun berupaya untuk memberikan yang terbaik bagi anak didik mereka sebagaimana amanah para orangtua/wali muridnya. Sehingga, sekali lagi jangan sampai, karena sekolah telah berupaya dengan baik, para walimurid lupa akan kewajiban sesungguhnya untuk turut serta mendidik anak mereka.
Ada nasihat indah yang disampaikan oleh Al Allamah Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah, walaupun nasihat ini membatasi pada seorang ayah saja, namun juga berlaku atas keduanya. Beliau mengatakan,
“Jika seorang ayah sibuk mendidik anak-anaknya sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, maka ia berada di atas rel kebaikan yang besar. Anak-anak akan mendoakannya di masa ayahnya masih hidup dan setelah kematiannya. Jika yang terjadi sebaliknya, yakni mengenyampingkan tanggungjawab pendidikan anak-anak maka dia berdosa dan anak-anak akan menjadi malapetaka bagi dirinya. Kami berharap ayah mereka bisa memperhatikan anak-anaknya seperti halnya perhatiannya terhadap kekayaan. Bahkan harus lebih dari itu, karena harta materi akan lenyap, sementara anak merupakan bagian manusia yang tidak terpisahkan. Merekalah orang-orang yang akan memberi manfaat kepada orangtua ketika masih hidup dan setelah mati.” (Fatawa Manaril Islam, 3/789)