Memilih Bahagia dengan Memilah Benda-benda

Bila sampai hari ini, masalah-masalah hidup kita belum juga menemukan solusinya. Pernah mencoba untuk memperbaiki jam tidur, sudah lebih dekat dengan Allah melalui ibadah -yang tak hanya sekadar ibadah wajib saja-, berkali-kali berbagi cerita dengan orang yang dipercaya, bahkan sudah mencoba memperbaiki gaya hidup untuk senantiasa berpikir positif serta mengkonsumsi makanan sehat. Namun sepertinya masih ada pikiran-pikiran yang belum kunjung usai terbawa dalam tiap laku kehidupan. Masih juga bertemu dengan titik gusar tentang sesuatu yang mengganjal. Hingga ada rasa ketidaknyamanan untuk bisa terus produktif sepanjang hari. Maka cobalah kita melihat sekitar. 

Melihat sekitar di sini, bukan dalam artian luas, ia justru dijangkau dengan hal kecil sederhana. Seperti sudahkah kita peduli dengan rumah sebagai tempat tinggal kita? Atau lebih kecil lagi, sudah idealkah kamar kita yang menjadi teman menetap setiap harinya? Bila itu belum, cobalah untuk memulai memperbaiki hidup dengan membenahinya.

Karena bisa jadi, masalah-masalah hidup dan ketidaktenangan dibangun atas kondisi tempat kita melakukan segala sesuatu yang berada dalam keadaan tidak benar-benar nyaman. Keadaan tadi akhirnya terbentuk menjadi pola pikir, yang bisa jadi awalnya kita cukup peduli untuk memperbaiki, namun selanjutnya kita lupa untuk membenahi karena satu dan lain kesibukan, hingga mengendap dalam banyak hal bersama pikiran lain. Lalu akhirnya masalah-masalah tidak pernah menjadi tuntas, seiring dengan pembiaran yang terus tak terbatas.

Bila sudah demikian, darimana mengurai masalah-masalah tadi, mungkin kita hanya perlu untuk memilah dan memilih. Sebagaimana setiap momentum dalam hidup yang silih berganti datang lalu pergi. Pun halnya dengan barang, kita senantiasa punya keputusan untuk memilikinya atau akhirnya melupakannya. Kita punya waktu untuk melihat lebih jauh, apakah barang tadi bisa mendatangkan manfaat dalam waktu panjang, atau sekadar memperlihatkan tingkat status sosial. Darisana, kedudukan barang-barang dalam hidup, sama halnya dengan resiko-resiko melakukan sesuatu dalam keseharian. Artinya, barang-barang juga memiliki pengaruh dalam kebahagiaan. Ia bisa memenuhi hati dan pikiran, atau akhirnya ia tidak perlu sama sekali ada dan terlewat begitu saja, tanpa membawa masalah atau menghadirkan bahagia yang juga tak banyak kuantitasnya.

Dari memilah serta memilih tadi, walau dimulai dari barang-barang, harapannya seseorang dapat menempatkan prioritas hidup lebih tepat. Ia tidak diliputi kecemasan mengikuti perkembangan zaman. Waktunya menjadi lebih efektif untuk mengurusi hal prioritas dalam hidup. Semakin terasah mengeliminasi nilai-nilai kebiasaan yang perlu dan tidak untuk terus dipertahankan. Serta mampu memberikan solusi sesegera mungkin saat masalah hidup datang. Inilah yang belakangan menjadi bekal bagi orang-orang dengan konsep hidup minimalis. Bukan sekadar gaya rumah minimalis karena efektivitas ruang serta efisiensi anggaran saja, tapi lebih dari itu. Jalan menuju memiliki rumah minimalis pun, bagi seorang yang memiliki konsep hidup minimalis tadi perlu perhitungan cermat. Jadi upaya pengembang properti menarik promosi dengan pendekatan minimalis, bisa jadi tak tepat sasaran bagi penganut konsep hidup pilah dan pilih. Rumit memang bila dipandang kebanyakan orang. Namun begitu seharusnya hidup. Sesederhana mungkin. Secermat mungkin. 

Leo Babauta mengetengahkan cara dalam bukunya The Simple Guide to a Minimalist Life, soal bagaimana kita harus memilah serta memilih. Utamanya pada benda, dan selanjutnya pada semesta kehidupan yang membersamai kita. Ia membaginya menjadi beberapa tahapan mulai dari sadari bahwa kita sudah memiliki semua yang perlu dimiliki. Apa saja yang benar-benar kita butuhkan? Makanan, air, pakaian, tempat tinggal, orang-orang tercinta. Segala sesuatu yang lain sekadar tambahan saja. Baginya, kita tak perlu-perlu banget untuk selalu memperbarui teknologi, mengikuti gaya berpakaian yang selalu silih berganti modelnya, sepatu baru keren karena menjadi korban flash sale, mobil mewah dengan tenaga listrik yang sebetulnya kita juga malas mencari tahu dimana tempat pengisian energinya saat di jalanan nanti, apalagi rumah besar yang berakhir pada tulisan disewakan.

Selanjutnya, cobalah untuk belajar berhenti membeli barang yang tak dibutuhkan. Ini mungkin terdengar sulit, tetapi itu masalah yang harus disadari. Salah satu metode hebat ialah mulai membuat daftar untuk dijalankan selama 30 hari (buatlah aturan bahwa jika kita ingin membeli sesuatu yang tidak diperlukan, kita harus menuliskannya dalam daftar ini -dengan dibubuhi tanggal-, dan tak boleh membelinya paling tidak selama 30 hari). Apabila setelah lewat 30 hari sedang kita masih menginginkan barang itu. Maka silakan dibeli. Artinya barang tadi memang benar-benar perlu. Cara seperti ini efektif, sebab dorongan untuk membeli berangsur lenyap. Selalu tanyakan ini dalam diri, sebelum memutuskan untuk memiliki. 

Cara menarik lain adalah belajar untuk bahagia dengan berbuat, bukan memiliki. Kita bisa bahagia umumnya dengan benar-benar memiliki barang sesuai kebutuhan. Namun, kadang luput, bahwa bahagia bisa menjadi besar pengaruhnya bila ditempuh bukan pada pelampiasan atas barang. Tapi melalui perbuatan. Dengan kegiatan atau kerja berdampak positif. Saat menganggap memantau market place untuk kebutuhan sesaat itu dianggap perlu, coba alihkan perhatian tadi dengan keluar rumah, berbicara bersama orang lain, mengamati kehidupan, olahraga, serta pengalihan selera untuk memiliki sesuatu yang hadir secara spontan. Sedangkan 10 menit sebelumnya hal tadi belum terbayangkan. Ide-ide kadang memang liar dan maunya terpenuhi. Tapi cobalah ide tadi ajak untuk bicara.

Terakhir, gagasan Leo Babauta yang menggagas pola hidup Zen Habits, gerakan Sea Changes dan kini bermukim di San Fransisco bersama seorang istri dan enam orang anaknya, ialah dengan menghadirkan rasa cukup. Menurutnya, kita tidak selalu membutuhkan barang yang lebih banyak (setelah mencapai titik tertentu, maka itu sudah cukup bagi kita). Kuncinya adalah belajar untuk mengenali kapan kecukupan bisa diraih. Sebab kita sering tak menyadari bahwa apa yang dimiliki itu sebenarnya telah memadai, dan akhirnya perangkap siklus berlebih pada hal-hal yang tak bernilai efektif, mengelilingi diri.

Konsep hidup cukup ini, jauh hari sudah diajarkan dalam Islam tentunya. Islam mengajak pemeluknya untuk tidak berlebihan, sebab segala hal berlebih, tak hanya merugikan, namun membawa pada kelalaian, kebinasaan, hingga menyeret pada kekufuran atas nikmat yang telah Allah berikan. Kecukupan dalam Islam, menghadirkan pahala serta kebaikan. Dalam literatur keyakinan seorang muslim, kecukupan adalah qana’ah.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu Ta’ala berkata:

الإنسان إذا أُعطي الـقناعة بقي غنيـًا منشرح الصدر لا ينظر إلى غيره ، ويدل لذلك أن من كمال نعيم أهل الجنة أنهم : ﴿ لَا يَبْغُـونَ عَنْهـَا حِوَلًا  ﴾ ، أدناهم لا يريد الـتحول عمّا هو عليه ، ويرىٰ أنه ليس أحد في الجنة  أنعم منه ، 

وهذا من نعمة الله على الـعبد أن يوفق للـقناعة سواء كان ذلك في مسكنه أو في ملبسه أو في مركوبه أو في أولاده ، فأمـا إذا نزعت القناعة من قلبه فإنه فقير .

“Ketika manusia diberikan sifat qana’ah, dia senantiasa merasa kaya serta berdada lapang, tidak membandingkan (kenikmatan yang ia dapatkan dengan kenikmatan) yang ada pada orang lain. Hal tersebut berdasarkan berita bahwa di antara kesempurnaan nikmat bagi penduduk surga adalah mereka:

لَا يَبْغُـونَ عَنْهـَا حِوَلًا  

Mereka tidak ingin berpindah darinya” (Al-Kahfi: 108).

Yang berada pada derajat paling rendah di jannah pun tidak menginginkan berpindah dari kenikmatan yang ia dapatkan. Dirinya memandang bahwa tidak ada seorang pun di Surga yang memperoleh kenikmatan melebihi apa yang ia peroleh. Ini termasuk kenikmatan yang Allah berikan kepada seorang hamba, ia diberi taufik untuk qana’ah. Baik itu pada tempat tinggalnya, pakaiannya, kendaraannya, serta pada anak-anaknya. Adapun ketika sifat qana’ah ini dicabut dari hatinya maka dia adalah orang yang fakir.” (Fathu Dzil Jalali wal ikram) (5/272)

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *