Mengenal Sastra Membentuk Karakter Siswa

Pembelajaran sastra menjadi bagian dari kurikulum wajib yang membersamai Pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Materi sastra bahkan disandingkan dengan materi bahasa sebagai pokok dalam setiap pertemuan guru dan siswa di kelas. Apabila materi bahasa lebih menekankan pembelajaran kaidah berbahasa dengan baik, maka dalam materi sastra, siswa diarahkan untuk dapat memahami seni berbahasa dalam bingkai keindahan kata.

Dari sudut pandang seorang guru, materi sastra tidak selamanya menarik perhatian siswa di kelas. Hal ini disebabkan minimnya literasi berbahasa, membuat para siswa sering kesulitan memahami konteks kata yang dituangkan pada sebuah karya sastra. Ditambah lagi dengan kurangnya kemampuan memahami bacaan dengan cepat. Materi pembelajaran sastra sedikit lebih menyenangkan ketika masuk ke Bab Puisi, terutama pantun atau gurindam. Kata-kata ringan nan jenaka dalam pantun membuat pembelajaran terasa hidup dan menyenangkan. Selebihnya proses mengenal karya sastra hanya dilakukan segelintir siswa atas dasar ketertarikan pada tema maupun popularitas pada masa tertentu. 

Pengenalan tersebut umumnya dimulai dari medium novel remaja populer yang sedang digandrungi atau beberapa di antaranya berasal dari kumpulan prosa kekinian, seperti karya Tere Liye, Pidi Baiq, Andrea Hirata, Boy Candra, J.S. Khaireen, Alvi Syahrin, Marcella F.P, Rintik Sedu, dan sederetan nama lain yang acap kali berada pada pembelian terlaris di toko buku, baik online maupun sebut saja Gramedia. Meskipun dapat diperdebatkan apakah karya mereka masuk ke dalam ranah sastra hanya sekadar karya tulis populer.

Sastra berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna tulisan atau karangan. Di sisi lain, sastra juga dipahami sebagai karangan dengan bahasa indah dan isi yang baik. Tujuan penggunaan bahasa indah tersebut salah satunya untuk menimbulkan kesan dan menghibur pembacanya. Sementara isi yang baik agar pembaca mendapat pelajaran setelah membacanya. Fungsi keindahan dan kebaikan tersebut kemudian dikenal dengan istilah dulce et utile.

Karya sastra tidak lahir begitu saja. Menurut Andries Teuuw, pakar Sastra Indonesia asal Belanda, dalam Sastra dan Ilmu Sastra mengatakan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Dengan kata lain, sastra merupakan produk dari budaya yang diciptakan oleh manusia. Budaya yang lahir dari hasil akal serta interaksi yang dilakukan oleh manusia dengan dirinya, alam, hingga pada Sang Pencipta. Itulah mengapa karya sastra sering memuat pandangan dan gagasan penulisnya yang disampaikan melalui penokohan di dalam cerita.

Sebagai sebuah produk budaya, karya sastra kemudian memuat berbagai hal yang sedang berlangsung di suatu masyarakat tempatnya lahir. Sehingga akan ditemukan perbedaan pandangan dan gaya bahasa berbeda di setiap tempat. Karya sastra Melayu akan tampil dengan ciri berbeda seperti karya sastra Jawa. Dan semakin jauh perbedaannya apabila kita hendak membandingkannya dengan karya sastra dari daratan Eropa, misalnya.

Gaya bahasa atau majas dalam karya sastra itulah yang membuatnya berbeda karya tulis lain di bidang bahasa. Produk sastra tampil lebih bebas dengan gaya bahasa berdaulat sekehendak penulisnya. Makna ambigu pun tidak terlarang dituangkan dalam karya sastra, semata untuk menghasilkan efek bercabang bagi pembaca. Hal tersebut justru diminati pembaca yang memang menginginkan hiburan di kala membaca karya sastra.

Karya Sastra dalam Pembentukan Karakter Anak

Salah satu fungsi sastra melalui karya-karyanya ialah menghadirkan sisi keindahan melalui kata-kata kepada pembacanya. Pembaca diajak untuk dapat mengolah setiap kata dalam imajinya masing-masing. Dalam karya sastra, kita dapat menemukan tulisan yang mewakili perasaan dan pikiran yang kita alami saat itu. Bukan sekadar serasa, tapi juga mewakilinya dengan bahasa indah yang -mungkin- tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Dan itulah yang membuat kita jatuh cinta pada karya sastra.

Bahasa yang indah dalam karya sastra kemudian melahirkan keyakinan dari pengajar untuk mengenalkan karya sastra kepada anak-anak sejak dini. Alasannya antara lain dengan dibacakan atau membaca karya sastra membuat anak dapat terangsang pikiranya, dan meningkat kosakata yang digunakan. Dampaknya anak dapat lebih mudah menyampaikan gagasan serta perasaan yang sedang dialami secara tepat.

Menurut Joan Glazer, seorang penulis cerita anak, karya sastra dapat memberikan beberapa kebaikan pada anak. Yang pertama, sastra memperlihatkan kepada anak-anak bahwa banyak dari perasaan mereka dialami juga oleh anak-anak yang lainnya semua itu wajar serta alamiah; kedua, sastra menjelajahi serta meneliti dari berbagai sudut pandang memberikan suatu gambaran yang lebih utuh dan bulat, memberikan dasar penanaman emosi tersebut; ketiga, perilaku para tokoh memperlihatkan berbagai pikiran mengenai cara-cara menggarap emosi-emosi tersebut; keempat, sastra turut memperjelas bahwa seorang manusia mengalami berbagai perasaan dan perasaan tersebut kadang bertentangan serta memperlihatkan konflik.

Dalam konteks karya sastra untuk anak yang sedang dalam masa pertumbuhan awal di bawah usia 13 tahun, mengenalkan karya sastra juga berarti membiasakan anak agar terbiasa membaca. Pada fase usia tersebut aktivitas anak masih relatif mudah diatur oleh orang tua maupun guru di sekolah. Tentu karya sastra yang dikenalkan pun harus sesuai dengan usia anak. Dengan cerita sederhana, menekankan pada pengenalan adab dan perilaku pada sesama, serta memuat nilai keagamaan.

Setelah suka dan terbiasa membaca karya sastra, nantinya diharapkan anak akan menumbuhkan sisi keindahan pada diri anak. Terutama dalam keindahanan bertutur kata. Dan juga belajar merasakan simpati melalui proses cerita. Namanya saja pembentukan karakter, maka segala sesuatunya harus dimulai dari fase usia sedini mungkin.

Akan menjadi cerita berbeda apabila anak yang sudah tumbuh dewasa, seperti di fase sekolah menengah, tidak atau belum pernah terpapar karya sastra. Dari pengalaman mengajar selama ini, siswa yang tidak pernah membaca karya sastra di waktu kecilnya, agak kesulitan untuk mengungkapkan perasaan di hadapan khalayak ramai. Sementara dari perbendaharaan kata ketika menulis pun relatif kurang variatif dibandingkan siswa yang pernah atau masih aktif membaca karya sastra. Minimal novel-novel populer.

Referensi:

  • Rohinah M. Noor, Pendidikan Karakter Berbasis Sastra.
  • Apriyanti Kartika Agustin, Meninjau Sastra sebagai Kebudayaan dalam Islam.

 

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *