Mengendalikan Algoritma
Published Date: 26 January 2024
Saya punya banyak akun media sosial. Saya membuat banyak email. Saya mencatat banyak kata sandi. Saya mengarang banyak nama-nama second account. Saya sengaja membuat beragam media sosial, email, dan kata sandi itu untuk berbagai keperluan yang berbeda. Memang tidak semua akun tersebut saya urus dan saya rawat. Kebanyakan akun-akun itu terabaikan seperti lazimnya barang-barang tidak penting. Namun, dari eksperimen bikin banyak akun itu, saya mempelajari sejumlah hal.
Hal pertama yang saya pelajari darinya adalah fakta bahwa kita bisa membentuk dunia kita sendiri, setidaknya dunia yang ada dalam media sosial kita. Dunia itu belakangan kita kenal sebagai algoritma, sebuah sistem dalam media sosial dan laman-laman internet secara umum yang dibentuk oleh apa-apa yang kita lakukan di semesta internet. Setiap orang bisa saja menggunakan merek ponsel serupa dan membikin suatu akun di media sosial yang sama, tapi mereka bisa mendapatkan hal yang sepenuhnya berbeda di media sosial tersebut. Apa yang mereka dapatkan tergantung dari apa yang mereka cari, apa yang mereka klik, jenis konten apa yang mereka lihat lebih lama, dan bagaimana media sosial tersebut merancang algoritmanya sendiri.
Saya punya sebuah akun Instagram yang saya khususkan untuk mengikuti akun-akun yang berhubungan dengan buku. Saya mengikuti akun penulis, penerbit, toko buku, dan bookstagrammer alias pengulas buku yang aktif di Instagram. Kemudian, dengan kesadaran penuh saya sengaja memperbanyak mencari hal-hal yang berhubungan dengan buku di laman pencarian. Saya juga rajin mengklik dan menyukai konten-konten soal perbukuan. Alhasil, konten-konten yang beredar di linimasa dalam akun saya tersebut betul-betul diisi dengan hal-hal yang tak jauh-jauh dari buku. Algoritmanya terbentuk dengan sempurna oleh ikatan bernama buku. Saat menggunakan akun tersebut saya bisa dengan mudah menemukan konten orang sedang mengulas buku, fakta-fakta menarik soal buku, informasi mengenai buku terbaru yang terbit, atau sesederhana foto estetik perpustakaan milik seseorang di suatu tempat yang jauh.
Ini berbeda sekali dengan apa yang tampil di akun Instagram utama saya. Di akun utama, tidak ada konten khusus yang tampil. Saya juga memang tidak merancangnya secara khusus. Yang muncul kebanyakan hanyalah postingan-postingan teman-teman saya, informasi terkini di kota tempat saya tinggal, atau konten viral yang muncul secara acak. Dibandingkan “akun buku” yang saya singgung di atas, akun utama saya tak ubahnya sebuah ruangan penuh barang-barang yang disusun secara tak beraturan dan sering kali barang-barang itu tak punya manfaat riil untuk saya. Sedangkan “akun buku” saya tampilannya rapi sekali bagaikan sebuah taman yang dirancang secara khusus untuk hanya menampilkan benda-benda yang sedap dipandang mata.
Hal kedua yang saya pelajari dari eksperimen bikin banyak akun adalah bahayanya berdiam di cangkang sendiri. Media sosial yang kita gunakan selama ini, tempat kita biasa berbalas komentar dengan orang-orang yang kita kenal atau berkomentar secara manasuka di postingan-postingan viral, tak ubahnya sebuah cangkang. Sebagaimana umumnya dalam sebuah cangkang, tak banyak hal yang bisa kita lihat. Pandangan kita terbatas, jangkauan kita tak luas. Ketika kita melihat orang sedang menggunakan media sosial mereka dengan ponsel yang harganya mahal sekali, mungkin kita membayangkan dunia yang sedang ia lihat adalah dunia yang luas tak bertepi. Sayangnya, kenyataan tidak demikian.
Dalam banyak kasus, dunia seseorang sering kali seluas apa yang mereka dapati di media sosial mereka. Dunia mereka seluas algoritma yang mencengkeram mereka. Orang yang terbiasa mengklik konten politik, akan dikutuk dalam kepungan postingan-postingan politik. Begitu pula orang yang terbiasa mengklik konten olahraga, dakwah, kucing, makanan, dan tema-tema spesifik lainnya. Di titik tertentu, mendapati media sosial kita dipenuhi oleh hal-hal yang biasa kita cari terasa menyenangkan. Tapi, dilihat dari sisi lain, itu serupa kutukan, karena kita dibuat berada dalam situasi “terpaksa” menikmati apa-apa yang disediakan algoritma untuk kita, bukan apa yang benar-benar kita cari. Di level yang terburuk, ketiadaan kesadaran untuk mengendalikan algoritma, untuk mengendalikan apa yang benar-benar kita inginkan dan butuhkan di internet, akan membuat kita terjebak dalam arus deras internet yang penuh dengan disinformasi, hoax, pemubaziran waktu, dan terpenjara dalam sudut pandang tunggal.
Di sinilah pentingnya kesadaran dalam melakukan segala hal, tak terkecuali ketika mengakses internet. Waktu kita terbatas. Kita tak bisa terus-menerus membiarkan diri terhanyut secara acak oleh apa-apa saja yang terhampar di internet. Semestinya kita berinternet dengan kesadaran penuh bahwa yang kita hadapi bukanlah benda tolol dan polos. Internet, tak seperti yang barangkali banyak orang duga, bisa mengendalikanmu seperti seorang kusir mengendalikan kudanya. Internet, tepatnya algoritma internet bisa membawamu ke tempat-tempat berbahaya, ke tempat-tempat yang lebih banyak merugikanmu ketimbang menguntungkanmu. Memang, ada kalanya algoritma internet membuat kita mengetahui informasi-informasi penting yang tak kita cari secara sengaja, tapi kalau anda mau repot-repot menghitungnya, percayalah informasi-informasi penting semacam itu jumlahnya kalah banyak dibanding informasi-informasi tak penting.
Pada akhirnya, kita perlu mengendalikan algoritma internet, algoritma yang ada di media sosial kita, algoritma yang ada di aplikasi-aplikasi yang kita unduh, algoritma yang ada di ponsel kita. Pengendalian diri—termasuk mengendalikan algoritma internet—adalah salah satu perkara yang paling banyak gunanya. Dengan mengendalikan algoritma, kita bisa menjadi subyek utama ketika sedang menggunakan internet, bukan sekadar obyek. Kita bisa memilih apa yang kita inginkan dan butuhkan ketika berinternet, bukan sekadar menyantap menu asal-asalan yang disediakan algoritma. Jika anda mengalami kesuntukan dan kepeningan bukan kepalang ketika berinternet—khususnya bermedia sosial—barangkali anda harus melakukan eksperimen ini. Tidak harus membuat second account, anda hanya perlu lebih sadar diri ketika berinternet. Misalnya, jika akun media sosial anda sekarang dipenuhi omong kosong politik, lalu anda ingin linimasa anda dipenuhi konten-konten tingkah lucu kucing dan video-video kreatif, anda hanya perlu melakukan hal sederhana. Pertama, ikutilah dan stalking akun-akun yang berkaitan dengan tema-tema yang sedang anda cari. Kedua, sengajalah perbanyak klik konten-konten dengan tema tersebut. Ketiga, lakukan kedua hal tersebut dengan kesadaran penuh dan lakukan secara berkala. Dalam waktu tak lama, suasana di media sosial anda bisa berubah. Saya pernah melakukannya dan merasakan manfaatnya. Anda juga pasti bisa melakukannya dan merasakan manfaatnya. Anda bisa mengubah algoritma internet anda menjadi lebih baik dan membuat pikiran anda lebih lega. Setidaknya, itulah yang bisa anda lakukan jika mengubah dunia menjadi lebih baik terasa begitu berat. (*)