Menjadi Pribadi Bermanfaat dengan Cara Masing-masing

Dalam beberapa kesempatan, Nabi Muhammad—Shallallahu ‘alaihi wa sallam—bicara tentang orang yang paling baik di antara yang baik. Dalam teks-teks hadis, biasa termaktub dengan lafaz “khairukum” (sebaik-baik kalian). Menariknya, saat menyebutkan tentang pribadi yang layak mendapat predikat “sebaik-baik kalian” atau “sebaik-baik manusia”, Nabi Muhammad menyuguhkan kriteria yang beragam. Suatu kali Nabi Muhammad menyebut “orang yang paling bermanfaat bagi orang lain” sebagai pribadi terbaik. Kali lain beliau menyebut “orang yang paling baik terhadap keluarganya” sebagai pribadi terbaik. Dan di kesempatan berbeda beliau menyebut “orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya” sebagai pribadi terbaik. Di beberapa hadis lain beliau menyebut orang yang memberikan makanan hingga orang yang bersegera membayar utang sebagai pribadi terbaik.

Perkataan-perkataan Nabi Muhammad soal kriteria manusia terbaik memberikan kepada kita sejumlah gambaran besar. Pertama, kebaikan atau kebermanfaatan tidaklah berwujud tunggal. Kebaikan bukan cuma berbentuk peribadatan vertikal kepada Allah semacam salat atau berpuasa. Tersenyum kepada orang-orang di jalan, memberi hadiah kepada teman, hingga memberi makan hewan-hewan di jalanan juga merupakan kebaikan. Kedua, dalam memberikan jawaban perihal kriteria manusia terbaik, Nabi Muhammad biasanya menjawab sesuai dengan kondisi orang yang bertanya dan situasi sosial yang ada. Dengan kata lain, Nabi Muhammad tak memberikan jawaban atau solusi tunggal atas semua pertanyaan, melainkan jawaban yang beragam, namun semua jawaban itu memiliki kesamaan dalam asas kebermanfaatan. Ketiga, setiap orang bisa melakukan kebaikan dan menyebarkan manfaat kepada lingkungannya sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.

Jika kita kembali membuka lembaran sejarah, kita dapat menyaksikan berbagai bentuk kebaikan dan kebermanfaatan pada diri sahabat-sahabat Nabi Muhammad. Sebutlah empat khulafaur-rasyidin. Abu Bakar ash-Shiddiq terkenal dengan kegigihannya dalam beribadah. Umar bin al-Khatthab tenar dengan keberaniannya. ‘Utsman bin ‘Affan populer lantaran kedermawanannya. ‘Ali bin Abi Thalib termasyhur sebagai orang yang sangat berilmu. Meskipun keempat sahabat itu secara umum juga rajin beribadah, berani, dermawan, dan berilmu, tetapi mereka punya kelebihan masing-masing dalam aneka sifat positif tersebut. Dan keberagaman tersebut semakin menunjukkan kepada kita bahwa kebaikan bukanlah sejenis matahari—yang cuma ada satu dan bentuk sinarnya begitu-begitu saja sejak dahulu. Jika boleh diibaratkan, kebaikan bagai lampu-lampu. Ada lampu yang terang-benderang hingga bisa menerangi sebuah ruangan besar. Ada lampu jalan yang membuat para pengendara dan pejalan kaki bisa melihat apa yang ada di hadapan mereka. Dan ada pula bohlam kecil yang bercahaya sayup-sayup tapi cukup untuk menyelamatkan seseorang dari kegelapan.

Pada masa ini, ketika cara orang-orang menyikapi dan menjalankan banyak hal berubah drastis, kita juga bisa mendapati perubahan-perubahan dalam kaitannya dengan “kebaikan”. Apakah kebaikan pada masa ini hanyalah berupa seorang ustaz yang berdakwah? Apakah kebaikan pada saat ini hanyalah seorang guru yang mengajar di sekolah dan pesantren? Apakah kebaikan pada saat ini hanyalah seorang imam yang memimpin salat berjamaah? Apakah kebaikan hanya ada di tempat-tempat mulia macam masjid, sekolah, dan pesantren? Tentu saja kita bisa menjawabnya dengan cepat. Tidak, tidak sesederhana itu.

Kita tahu belaka, cara orang berinteraksi, cara orang memberikan manfaat—dan juga menyakiti orang lain—saat ini sangat beraneka ragam. Sekarang seseorang bisa menjadi pribadi “sebaik-baik manusia” dengan mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkan Al-Qur’an lewat aplikasi konferensi video—jika memang itu cara yang bisa mereka jangkau. Sekarang seseorang bisa menjadi pribadi “sebaik-baik manusia” dengan bersedekah lewat kotak amal berbasis QRIS. Dan sekarang seseorang bisa menjadi pribadi “sebaik-baik manusia” dengan cara tidak menyebarkan hoaks dan melontarkan kosakata yang dapat menyakiti orang lain di media sosial dengan cara… tidak usah online—jika hanya itu yang dapat mencegahnya dari menyakiti orang lain di dunia maya.

Di luar itu, kebaikan-kebaikan zaman sekarang bisa saja hadir dalam bentuk yang mungkin tidak pernah kita sangka. Dalam sebuah kajian agama yang diisi seorang ustaz terkenal, umpamanya. Apakah dalam acara itu hanya si ustaz yang kebagian pahala, sedangkan yang lain kecipratan capeknya saja? Tentu tidak. Acara kajian agama yang tampak sederhana bisa menjadi wadah bagi kebaikan banyak orang. Orang yang mendesain poster acara, orang yang membagikan jadwal kajian tersebut di grup WhatsApp, orang yang merekam acara kajian, orang yang memastikan sound system bekerja optimal, hingga orang yang bertugas menertibkan kendaraan di tempat parkir pun punya peran yang tak bisa disepelekan. Dengan kata lain, mereka juga telah berbuat baik, walau bentuknya mungkin tidak segamblang ustaz yang berceramah di hadapan khalayak.

Kalau kita keluar dari masjid, kita juga bisa menemukan rupa-rupa kebaikan. Sebab bumi sangat luas dan kebaikan tidak hanya bermukim di masjid. Kita bisa menemukan kebaikan dalam bilik ATM di mana seorang anak muda tengah membantu seorang tua renta yang kebingungan menarik uang. Kita bisa menemukan kebaikan dalam sebuah grup media sosial di mana seorang yang lihai mengedit foto membantu memperbaiki tampilan dan resolusi foto ayah orang lain—ayah orang itu sudah tiada dan satu-satunya foto yang tersisa berkualitas buruk. Kita juga bisa menemukan kebaikan dalam potongan status pendek seseorang di media sosial—mungkin orang itu cuma menyampaikan sebuah kutipan atau pernyataan singkat, tapi siapa bisa menduga sejauh apa hal itu dapat memberikan manfaat bagi yang melihatnya?

Dengan kata lain, kebaikan begitu beragam dan di situlah indahnya. Jadi, tak perlulah kita berkecil hati hanya karena kita tidak bisa menjadi ustaz, atau tidak punya banyak uang sehingga tidak bisa bersedekah, atau tidak punya tenaga yang kuat sehingga tidak dapat memberikan bantuan fisik, atau tidak punya kendaraan sehingga tidak bisa memberi tumpangan kepada siapa-siapa. Kita bisa menjadi pribadi bermanfaat yang menebar kebaikan dengan cara kita masing-masing, dengan apa yang kita mampu. Bahkan jika yang kita mampu hanyalah duduk bertafakur dalam kamar, itu pun sudah lebih dari cukup. Sebab, di luar sana, ada orang-orang yang dengan entengnya menyakiti orang lain seolah-olah ia sudah terlalu banyak berbuat baik sehingga kebingungan perbuatan baik macam apa lagi yang musti ia lakukan.

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *