Proklamasi dan Pewarisan Nilai bagi Generasi

Proklamasi kemerdekaan dianggap sebagai titik awal sejarah sebuah bangsa, darisana tersirat berbagai harapan tentang sebuah bangsa berdaulat yang mampu mengatur dengan baik tata kelola pemerintahan di dalamnya, mulai dari urusan sumber daya alam hingga sumber daya manusia. Tentang darat, laut, sekaligus angkasa yang dimiliki. Soal budaya, agama, hingga nilai kemanusiaan. Itulah mengapa, proklamasi bukan hanya sebagai simbol pembebasan, ia merupakan hakikat dari sebuah perjuangan, karena takkan mungkin tercapai sebuah pembebasan tanpa ada rencana untuk menyusun kendali suatu bangsa di masa berikutnya.

Kemerdekaan Indonesia telah sampai dalam hitungan 6 dekade, tahun 2023 ini bangsa Indonesia kembali merayakannya di tengah tahun politik menuju pemilu tahun 2024. Memang tidak ada yang baru, karena setiap kali memasuki tahun politik, senantiasa ada momentum yang disajikan dengan akrobatnya masing-masing. Berawal dari saling menanggapi, saling serang, hingga satu sama lain berupaya menjatuhkan lawan politik dengan berbagai cara. Tentu segalanya memiliki satu tujuan yakni kemenangan. Kemenangan yang bisa jadi ditujukan atas dirinya sendiri dan partai pendukungnya, bukan kemenangan sebagai sebuah bangsa. Apalagi kemenangan demi rakyat.

Terlebih kue demokrasi pada tahun-tahun ini bersifat spesial. Ia merupakan kue menuju Indonesia Emas 2045 dengan banyaknya partisipan dari usia muda yang digadang-gadang akan mendapat ledakan jumlah penduduk muda 69,3 persen. Sungguh kue yang layak diperebutkan untuk menjadi pimpinan sebuah negara.

Namun sayang, politik negeri ini, adalah politik yang saling mewarisi konflik dan saling serang dari masa ke masa. Bukan politik yang mengajarkan dan mendidik sebagai bentuk legacy untuk jangka panjang di masa selanjutnya. Maka tak ayal, aktifitas politik menjadi sesuatu yang membosankan dan kian dianggap tak menarik. Sebab mereka yang berkecimpung dalam perpolitikan hanya mereka-mereka yang mengulang peruntungan dari kekalahan periode sebelumnya. Atau mereka yang turun ke gelanggang, lagi-lagi adalah pihak penguasa sebelumnya didukung dengan modal tak terhingga. Rakyat hanya menjadi penonton. Tak memiliki peran, dan tak juga mendapat pembelajaran.

Bila melihat sebuah fragmen sejarah, bahwa jelang proklamasi, negeri ini dihadapkan pada kenyataan yang menjadikan bersitegang antara golongan muda dan golongan tua. Golongan muda, beranggapan setelah jatuhnya Jepang ke tangan Sekutu, maka tak perlu lagi ada izin untuk memproklamasikan kemerdekaan. Namun, golongan tua sebagai pihak yang matang dalam bertindak, berhati-hati saat mengambil keputusan, dan memikirkan panjang sebuah langkah karena ditempa pengalaman, bersikeras bahwa proklamasi sulit dilakukan tanpa sepengetahuan Jepang.

Itulah yang menyebabkan dua kali diplomasi Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan Indonesia tak jua mendapat lampu hijau. Hingga akhirnya pemuda berinisiatif mengamankan keduanya, dan dalam beberapa sumber tak hanya Soekarno dan Hatta, tapi turut serta Fatmawati dan Guntur Sukarno, ke sebuah tempat bernama Rengasdengklok. Tempat yang memiliki basis pejuang kemerdekaan loyal dan tak berjarak terlampau jauh dengan Cibarusah, sebagai tempat yang pernah mengumpulkan laskar santri dan kyai dalam membentuk Laskar Hizbullah.

Negoisasi berjalan alot, kemerdekaan masih menjadi bagian dari diskusi antar dua generasi. Hingga akhirnya, Ahmad Subarjo mengetahui keberadaan dimana Soekarno dan Hatta melalui tokoh muda lainnya, yaitu Wikana. Subarjo berupaya merayu pemuda untuk mau membawa kembali kedua tokoh bangsa tersebut ke Jakarta. Langkah Subarjo tak mudah. Pertama ia harus didampingi oleh tokoh muda saat menuju Rengasdengklok. Kedua, Subarjo harus menerangkan dengan gamblang maksud dan tujuannya menjemput Sukarno dan Hatta.

Terakhir, Subarjo harus meyakinkan salah satu komandan muda bernama Cudanco Subeno yang dituliskan oleh Prof. Susanto Zuhdi dalam makalahnya berjudul Menggagas Pengusulan Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo Sebagai Pahlawan Nasional yang dipresentasikan dalam Seminar Kontribusi Ahmad Subardjo Dalam Diplomasi Penegakan Kemerdekaan Indonesia di Departemen Luar Negeri, Jakarta tahun 2008.

“Apakah saudara bisa memproklamasikan kemerdekaan sebelum tengah malam?” tanya Cudanco Subeno kepada Ahmad Subarjo.

“Tidak mungkin” jawab Ahmad Subarjo dengan cepat. “Sekarang telah kurang lebih jam 08.00 (malam: sz). Kami harus kembali dahulu, kemudian memanggil para anggota Panitia Persiapan untuk suatu sidang kilat. Hal ini memerlukan banyak waktu, saya khawatir bahwa kami harus bekerja semalam suntuk sebelum kami siap.”

“Bagaimana kalau jam 06.00 besok?” desak Cudanco Subeno.

Ahmad Subarjo berusaha menenangkan, “Saya akan berusaha sedapat-dapatnya, kami mungkin bisa selesai pukul 06.00, tetapi menjelang tengah hari besok kami pasti telah siap.”

“Jika tidak, bagaimana?” sergah Subeno.

“Mayor, jika segala sesuatunya gagal, sayalah yang memikul tanggung jawabnya, dan mayor boleh tembak mati saya!”

Setelah jawaban tersebut Ahmad Subarjo menegaskan secara spontan bahwa naluri yang dimiliki mengatakan itulah satu-satunya jaminan yang dapat dimengerti seorang tentara. Cudanco Subeno pun puas dengan jawaban tersebut.

Dialog tersebut menarik sebagai sebuah pembelajaran politik generasi muda hari ini dihadapan generasi tua. Generasi muda sering kali disifati berani dalam mengambil keputusan, mapan dalam memusyawarahkan, tak pernah lelah untuk memperjuangkan komitmen serta harapan. Adapun generasi tua, sebagaimana umumnya tempaan pengalaman. Bukan hanya kenyang pengetahuan dan resiko, namun juga memiliki daya juang yang siap bertahan dalam menghadapi segala kemungkinan, itulah mengapa kerap dianggap lamban. Padahal sejatinya itu bukan merupakan kelambanan, namun sebuah proses dalam menakar kemungkinan tadi.

Dialog di Hadapan Generasi Kini

Hari ini, kita didapati pada sebuah generasi yang semangat mengisi kemerdekaan dengan segala daya dan upaya. Generasi yang menjadi bagian dari rangkaian penyongsong bonus demografi. Generasi yang apabila generasi sebelumnya tak sanggup memberikan ruang serta senantiasa membatasi, takkan pernah ada artinya sebuah ledakan demografi. Generasi yang jika generasi sebelumnya memberikan keleluasaan berlebihan tanpa bimbingan, akan berakhir pada bias etika hingga kebablasan kala mengambil peran. Maka, sinergi dibutuhkan satu sama lain dan saling memberi pemahaman, bahwa nahkoda bernama Indonesia ini milik semua yang harus dijaga dan dirawat bersama.

Memang tak mudah memimpin hari ini, masa lalu pun demikian. Senantiasa diwarnai oleh segala rupa tantangan di hadapan. Akan tetapi, sikap yang sama dengan mengambil titik temu dari sebuah perbedaan harus terus didapatkan. Jika tidak, simpul kebangsaan yang telah dirajut oleh para pendiri bangsa, akan hilang tak berarti. Kemerdekaan yang diperjuangkan dan diisi dari waktu ke waktu, takkan bisa memiliki nilai. Hingga kelak, Indonesia hanya dikenal sebagai sebuah state saja, ia bukanlah nation.

Inilah kekhawatiran Sukarno pada peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956, bahwa bangsa Indonesia telah melewati dua fase revolusi dengan berhasil, yaitu taraf physical revolution (1945-1949) dan taraf survival (1950-1955). Selanjutnya ia menandaskan ada langkah yang lebih berat di antara keduanya, yaitu taraf investment, taraf menanamkan modal-modal dalam arti seluas-luasnya seperti investment of human skill, material investment, dan mental investment. Dalam pandangannya, investasi keterampilan dan material amat penting. Namun, yang paling penting adalah investasi mental. Keterampilan dan material tidak bisa menjadi dasar persatuan dan kemakmuran bersama tanpa didasari investasi mental. (Yudi Latif, Belajar Merdeka, dalam Kompas 15 Agustus 2023)

Aset kita hari ini yang menjadi jembatan pengisi kemerdekaan antara generasi tua dan muda ialah mental yang harus dibuat sama. Kesadaran tersebut dibangun untuk menguatkan dan mewarisi. Jika tokoh-tokoh politik hari ini belum mampu memberikan pembelajaran yang tepat pada generasi selanjutnya. Pemilu 2024 merupakan penutup dari segala ketidakpercayaan pengelolaan negara. Karena Pemilu hanya menjadi wajah menuju kekuasaan semata, bukan sebagai model pewarisan intelektual dan nilai kemanusiaan sejati. Sehingga jangan salah, bila setelah 2024, Pemilu akan jadi prosesi yang biasa-biasa saja. Ia tidak seperti Pemilu terbaik yang pernah ada di masa kemerdekaan, yakni Pemilu 1955 dengan segala nilai demokratisnya dan pewarisan pembelajaran politik bagi generasi setelahnya.

Semboyan sekali merdeka, tetap merdeka sebagai amanah pendiri bangsa jangan pernah dilupa. Sebuah semboyan yang menancapkan pesan mendalam khususnya bagi generasi muda masa datang untuk terus melanjutkan perjuangan. Sukarno menegaskan dalam pidatonya menyambut penandatanganan naskah Renville berjudul “Dari Peluru ke Suara Rakyat” mengatakan:

“…Presiden menekankan pula pada rakyat dan tentara untuk percaya kepada pemerintah Republik Indonesia. Tumpahkanlah segenap tenagamu, dengan kepercayaan pada diri sendiri yang sebesar-besarnya pula, tumpahkanlah segenap tenagamu itu kepada kelanjutannya perjuangan kita ini! From the bullet to the ballot. Dari peluru ke suara rakyat. Itulah semboyan politik baru ini, tetapi janganlah sekejap mata pun, bahwa untuk berhasilnya politik baru itu kita harus bekerja keras dengan menjunjung tinggi disiplin nasional. Terutama sekali kamu pemuda, jadilah pelopor dalam politik baru ini, berilah contoh dalam disiplin nasional itu, sebab kesalahan kecil yang melanggar disiplin , dapat membawa kerugian besar kepada negaranya!” (Arsip NEFIS Document No: 4876, dalam G. Ambar Wulan, Rakyat Indonesia Bangkit! Bersatu! Bergerak! Sebagai Kekuatan Tak Terukur Dalam Memenangkan Strategi Pertahanan Rakyat Semesta 1945-1949, hal 180-181. Penebit Kompas)

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *