Ragam Fenomena Psikologis dalam Kehidupan Kita

Fenomena psikologis menjadi perkara yang tidak akan terpisahkan dalam kehidupan kita, baik menyangkut diri sendiri atau kaitannya dengan orang lain. Apalagi psikologis juga erat hubungannya dengan aspek mental yang dialami atau dirasakan seseorang yang lekat hubungannya dengan faktor eksternal di sekitar dirinya. Meski bersifat abstrak namun fenomena tersebut dapat kita lihat dalam bentuk perilaku maupun respons terhadap peristiwa yang dialami. Itulah mengapa terkadang kita sering melihat ada banyak variasi respons terhadap suatu peristiwa yang terjadi.

Dalam kajian psikologis tentu ada banyak cabang pembahasan mengenai fenomena apa saja yang dapat terjadi pada diri seseorang. Dari banyaknya kajian tersebut, tidak semua orang akan memahami secara mendalam apa yang sebenarnya terjadi. Namun, dalam pembahasan populer berkaitan dengan ilusi pikiran setidaknya ada enam fenomena psikologis untuk kita kenali. Fenomena psikologis ini mudah kita lihat dalam aktivitas keseharian. Bahkan mungkin kita pernah mengalaminya atau berada dalam situasi ketika fenomena tersebut terjadi.

1. Fenomena The Spotlight Effect

Spotlight Effect seperti namanya mengandung pengertian di mana diri kita merasa dalam sorotan lampu sehingga setiap orang memerhatikan diri kita secara jelas. Begitulah gambaran mengenai fenomena psikologis ini. Kita berpikir bahwa setiap orang memperhatikan diri kita atas apa yang telah kita lakukan. Pikiran tersebut dapat mendorong perasaan kikuk bagi mereka yang tidak suka perhatian. Sebaliknya, ini juga bisa menghadirkan kesenangan bagi para pencari perhatian. Namun, itu hanya pikiran yang belum tentu betul-betul terjadi. Dikatakan efek karena hal tersebut hanyalah fatamorgana yang realitanya berkebalikan dari pikiran kita.

Dalam bidang pemasaran dikenal teori skala 80/20. Dari 80% tingkat keberhasilan, ada 20% persen penyebab atau usaha penyerta kegagalan. Skala yang sama terkadang digunakan dalam perkara lain termasuk spotlight effect di mana dari 80% kemungkinan dirimu menjadi perhatian, sejatinya hanya 20% yang betul-betul terjadi. Fenomena ini membuat pelakunya bisa terlalu mendramatisir situasi yang menimpa dirinya. Padahal tidak sejauh itu.

M.Ross dan Sicoly (1979) memberi gambaran soal fenomena ini dihubungkan dengan pekerjaan, yakni orang sering fokus pada kontribusi mereka sendiri terhadap perusahaan berdasarkan penilaian “siapa yang berbuat paling banyak” sehingga cenderung biasa dan memilih berpikir untuk keuntungan sendiri. Hal tersebut erat kaitannya dengan egosentris pada diri seseorang. Perkara yang kurang lebih sama juga terjadi pada persoalan spotlight effect ini.

2. Fenomena The Pratfall Effect

Pernahkah kamu melihat sosok orang lain dengan segala kesempurnaannya hadir di depan matamu? Sosok seperti itu membuat diri kita berada pada level berbeda dengannya sehingga membuat segan untuk lebih dekat lagi. Sampai kemudian kamu mendapati dirinya jatuh pada kesalahan, cukup mengagetkan pada awalnya, tapi kemudian kamu menyadari bahwa sosok itu tak lagi ada dalam singgasana kesempurnaan selama ini. Sosok itu justru terasa lebih membumi, mudah diraih, dan berada pada level sama dengan dirimu. Pikiran itu, alih-alih mengganggu, malah membuat dirimu lebih lega.

Ilustrasi tersebut menjadi gambaran mengenai fenomena psikologis satu ini, pratfall effect. Fenomena ini terjadi ketika kita mendapati orang lain yang selama ini dianggap sempurna, tanpa cela, kemudian melakukan kesalahan di depan mata kita. Membuat diri kita berpikir tak lagi ada batasan dengan dirinya. Membuatnya terasa lebih mudah dijangkau.

Satu percobaan menarik pernah dilakukan dengan konsep ini terhadap sebuah robot. Di mana robot yang sering melakukan kesalahan justru bertransformasi menjadi lebih baik dibandingkan robot yang dibuat tanpa cela. Hal tersebut terjadi karena robot dengan kesalahan membuat kreatornya melakukan perbaikan terus menerus. Dalam konteks manusia, kesalahan yang terjadi dapat mendorong orang tersebut belajar dan mencegah terjadinya kesalahan serupa di masa depan.

3. Fenomena The Pygmalion Effect

Penamaan fenomena psikologis satu ini berasal dari mitologi Yunani, yakni tentang seorang pemahat yang membuat patung seorang wanita. Pemahat itu kemudian jatuh cinta dan terus memikirkan hasil pahatannya, sampai akhirnya menjadi kenyataan. Cerita tersebut menjadi gambaran bahwa apa yang kita pikirkan bisa saja berdampak pada kenyataan di sekitar kita.

Pygmalion Effect berkaitan dengan kekuatan pikiran dan tindakan. Ketika seseorang berpikir tentang orang lain akan sukses, menyampaikan pikiran itu kepadanya, kemudian berperilaku positif dengan memberi dukungan nyata. Lambat laun pikiran tersebut pun menjalar ke orang lain di sekitarnya. Sampai kemudian setiap orang merasakan bahwa mereka akan sukses, mereka akan mampu melakukan suatu tugas dengan baik sebagaimana pikiran tersebut hadir bersama-sama dengan sang penggagasnya.

Dalam lingkup interaksi sosial, fenomena psikologis ini memberikan efek secara kolektif dalam hal positif, misalnya di ruang kelas ketika seorang guru meyakini bahwa siswanya akan berhasil. Tidak saja dirinya menyampaikan itu kepada para siswa tapi sang guru juga turut memberikan arahan serta dukungan nyata bahwa mereka bisa berhasil. Robert Roshental, penemu sekaligus peneliti Pygmalion Effect, dalam buku Improving Academic Achievement: Impact of Pyschological Factors on Education, mengutip Kenneth Clark (1963) dalam bukunya, menyakini bahwa ‘ekspektasi sangat penting mempengaruhi performa intelektual’. Meski hal itu sangat bergantung pada banyak faktor seperti kemampuan penerimaan materi oleh siswa, kondisi sang guru, serta lingkungan yang mendukung.

4. Fenomena The Bystander Effect

Alkisah, di tengah keramaian orang tiba-tiba ada seseorang jatuh tidak sadarkan diri. Bukannya segera membantu, banyak orang justru hanya melihat dan menantikan akan ada orang lain yang memberi tindakan. Bahkan diri kita pun tidak luput dari peluang melakukan hal serupa. Bukannya tidak peduli, tetapi kita berpikir bahwa akan ada orang lain yang memberi bantuan kepada orang tersebut. Kita seperti tidak ingin mengambil tanggung jawab untuk membantu. Itulah gambaran mengenai bystander effect.

Bystander effect terjadi karena kita berpikir akan ada orang lain yang bertindak terhadap suatu hal. Dalam keseharian, kita mungkin sering berpikir serupa ketika melihat sampah berserakan, lalu berpikir akan ada petugas kebersihan yang mengurus itu. Ternyata hal itu tak pernah terjadi. Bayangkan jika semua orang berpikiran serupa untuk saling melepas peluang berbuat kebaikan dan tak ingin mengambil tanggung jawab. Akan ada masalah besar terkait sampah. Bagaimana jika hal tersebut terjadi pada beragam peristiwa lainnya?

Dalam jurnal The Bystander Effect: A Lens for Understanding Patterns of Participation disebutkan bystander effect dapat terjadi karena beberapa sebab: self-awareness – ketika seseorang tidak ingin terlihat bodoh atau kurang sopan di hadapan orang lain; social cues menanti petunjuk bagaimana mengatasi masalah yang terjadi dari orang di sekitarnya, blocking ketika orang lain melakukan hal serupa untuk tidak peduli, dan diffuse responsibility – situasi ketika sebagian kecil sikap bystander dilakukan, maka pembauran pun terjadi.

5. Fenomena The Paradox of Choice

Kita sering berpikir bahwa banyak pilihan dalam hidup sama artinya dengan kemudahan untuk membuat keputusan. Seperti berada di sebuah toko sepatu, banyaknya pilihan model sepatu akan membantu kita menemukan apa yang tepat untuk kaki kita. Nyatanya hal tersebut justru bertentangan dengan fenomena psikologis yang sering terjadi, yakni paradox of choice atau paradoks dari pilihan.

Banyak pilihan ternyata membuat kita justru mengalami kesulitan untuk berpikir mengenai tujuan utama kita. Pikiran kita terdistraksi untuk melihat peluang-peluang lain dalam hidup, yang belum tentu peluang tersebut dapat kita ambil. Banyaknya pilihan justru membuat kita kesulitan untuk menentukan apa sebenarnya yang kita inginkan.

Bagi Barry Schwartz dalam The Paradox of Choice, daripada berusaha terlibat dalam pencarian informasi menyeluruh dan lengkap hingga tak terbatas, seseorang pada akhirnya akan mengakhiri pencarian segera setelah menemukan pilihan melebihi beberapa kriteria. Banyaknya pilihan justru malah melumpuhkan (pikiran, -pen) dan bukan membuat bebas.

Fenomena ini sering dikaji dalam lingkup bisnis pemasaran sehingga para pedagang memutuskan untuk menjual sedikit barang tanpa opsi tambahan, karena hal tersebut dianggap lebih efekftif serta memudahkan pelanggan untuk segera mengambil pilihan/membeli barang yang dijual.

6. Fenomena The Focusing Effect

Masalah merupakan bagian dari kehidupan di dunia. Akan aneh jika manusia tidak mengalami masalah selama dirinya hidup. Masalah itu bisa sama antara satu manusia dan manusia lainnya, yang membedakan ialah respons dari masalah tersebut. Terkadang ketika masalah itu hadir, kita sulit berpikir jernih dan hanya fokus pada satu hal saja yang kita pikir menjadi sebab dari masalah tersebut. Misalnya, di suatu hari kita terlambat datang ke kantor karena bangun kesiangan sehingga membuat kita menyalahkan diri secara berlebihan karena hal tersebut. Padahal di hari tersebut ada demonstrasi massa sehingga jalanan macet, ban kempes karena terkena paku, sampai pengalihan jalur karena dipakai resepsi pernikahan. Namun, kita memutuskan hanya fokus pada bangun kesiangan tanpa memperhatikan faktor lainnya.

Fenomena tersebut dikatakan sebagai focusing effect atau terlalu fokus pada satu faktor penyebab dari suatu permasalahan tanpa mempertimbangkan faktor lainnya. Efeknya kita jadi terlalu menyalahkan faktor yang kita pandang sebagai penyebab utama itu dan membuat sikap kita jadi terlalu berlebihan yang berpotensi memberi dampak merusak.

Beberapa fenomena psikologis tadi mungkin pernah Sobat Ufuk temukan dalam keseharian, baik sengaja maupun tidak sengaja. Sebagian membawa dampak positif sementara lainnya dapat berujung pada kerugian bagi beberapa pihak. Semoga dengan mengenali fenomena tersebut dapat membuat diri kita menjadi lebih baik lagi dalam merespons kejadian yang ada. Begitu juga dengan pikiran kita yang semoga dapat menjadi lebih positif.

Editor: Riski Francisko

Referensi:

  • Kevan Lee. 2013. 6 Powerful Psychological Effects That Explain How Our Brains Tick. 
  • James M. Hudson & Amy S. Bruckman. 2004. The Bystander Effect: A Lens for Understanding Patterns of Participation, Journal of the Learning Sciences, 13:2, 165-195.
  • Christine Packard, et al. 2019. The Pratfall Effect and Interpersonal Impressions of a Robot that Forgets and Apologizes. 
  • Barry Schwartz. 2015. The Paradox of Choice at Positive Psychology in Practice, page 121.

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *