Sampai Kapan pun, Belajar Tetap Perlu Guru!

Belajar adalah kewajiban setiap insan. Setiap kita dilahirkan dalam keadaan tidak mengetahui apapun, sampai akhirnya berusaha untuk menemukan pengalaman, menambah pengetahuan, mengaktualisasikan keinginan, hingga mengambil tindakan. Setelahnya, Allah memberikan bagi seseorang kemudahan atas dirinya menerima ilmu demi menjalani fase-fase kehidupan.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَٱللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْـًٔا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمْعَ وَٱلْأَبْصَٰرَ وَٱلْأَفْـِٔدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
(QS. An Nahl : 78)

Ada banyak metode pembelajaran yang datang silih berganti menjadi terobosan-terobosan bagi manusia. Semua berakar pada satu tujuan, yakni menghasilkan pembelajaran efektif dengan pendekatan paling mudah dan dapat digunakan oleh siapa pun.

Pendekatan belajar mengalami evolusinya masing-masing, hal ini terjadi karena tingkat pengetahuan manusia terus bertambah dan berubah. Setiap kali ada model pembelajaran baru, ia kelak akan menyempurnakan metode pembelajaran sebelumnya atau tak jarang menggantikannya secara revolusioner. Secara berturut-turut terdapat berbagai model pembelajaran yang berkembang di era abad ke-21.

Seperti pembelajaran berbasis masalah atau problem based learning, menekankan bahwa setiap individu pada dasarnya memiliki kemampuan untuk berpikir, bertindak, bersikap, dan beroleh pengalaman berdasarkan apa yang didapat oleh dirinya sendiri dari kehidupan yang dijalani. Model belajar seperti ini menjadikan guru sebagai pribadi yang bersifat mengarahkan. Karena pembelajaran ditumbuhkan dari diri seorang murid.

Terdapat pula model pembelajaran bersifat kooperatif. Gaya belajar seperti ini menghimpun pribadi secara heterogen dalam satu komunitas dan memunculkan adanya kolaborasi satu dengan lainnya. Gaya seperti ini menunjukkan interaksi sosial yang konsisten akan melahirkan pengetahuan-pengetahuan baru untuk menyiasati problema kehidupan. Sebab belajar ini menekankan pada komunitas dan nilai-nilai kebersamaan, sehingga produktifitas akan sampai pada tingkat maksimal apabila seseorang memiliki kelompok yang tepat. Dengan demikian proses akan mudah diselesaikan.

Dikenal pula, model pembelajaran berbasis proyek. Dimana seorang pendamping atau guru membangun tujuan kepada para siswa dan memberikan keleluasaan siswa untuk memikirkannya secara kritis tentang bagaimana tujuan itu dapat tercapai melalui proses yang mudah dan dapat menjadi jalan bagi orang lain untuk memperoleh tujuannya. Pembelajaran berbasis proyek tidak mesti menghadirkan ide-ide akan sebuah produk atau hasil itu dari guru. Kadangkala ada kolaborasi antara guru dan murid, atau inisiatif murid berdasarkan apa yang ia ketahui, dilihat, dan diimajinasikan.

Ada pula model pembelajaran kontekstual, yang berupaya untuk menghadirkan penghubung tentang apa yang dipelajari dengan seperti apa keadaan sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari. Model belajar seperti ini menekankan proses para siswa untuk menemukan pelajaran-pelajaran sekaligus penerapannya dari hal-hal terdekat yang ia temukan dari kehidupan. Pencarian atas konteks kini berkembang di media sosial bilamana ada satu konten tertentu yang tak dapat dimengerti oleh segelintir orang, akan ada pihak-pihak lain berupaya mencari melalui kolom komentar sebagai sebuah jalan ninja. Mereka-mereka yang dibangun oleh nalar baik dan paham keadaan, senantiasa cepat menemukan konteks-konteks yang ada dalam sebuah kehidupan.

Perlunya Guru

Selain model-model pembelajaran di atas tadi, ada banyak ragam model lainnya seperti model belajar inkuiri, auditori, model pencapaian konsep, dan lain akan terus berkembang model lainnya. Lantas mana model belajar yang efektif bagi seseorang? Tentu tidak ada jawaban ideal, kadang-kadang satu model cocok untuk seseorang dan begitulah gaya belajarnya. Lainnya lagi mungkin butuh model belajar dengan cara dikombinasi. Namun satu hal yang harus dipahami dan tidak boleh dilepaskan, bahwa setiap model belajar membutuhkan adanya guru. Memerlukan adanya orang yang lebih dahulu memiliki pengetahuan atau pengalaman dalam mendampingi para siswa. Dengan demikian pembelajaran itu dikatakan berlangsung baik, saat seorang murid bertemu dengan guru yang tepat.

Lantas bagaimana menjadi guru yang tepat itu? Guru yang bertindak sebagai muara dan mata air ilmu atas para siswanya. Ada beberapa hal yang sekali pun seseorang telah menjadi guru, namun para siswa bingung atas caranya menyampaikan ilmu sebagai landasan gaya belajar para siswa nantinya secara mandiri.

Pertama, hendaklah seorang guru mendedikasikan dirinya dengan baik sebagai seorang yang tulus. Keikhlasan hati seorang guru menghadirkan kesantunan di hadapan para murid. Dedikasi seorang guru yang hatinya berada di antara hati para murid, menjadikan pembelajaran penuh makna. Apapun metode dan caranya, bahkan diamnya seorang guru pun menjadi arti penting bagi setiap murid. 

Ketulusan inilah yang jarang sekali hadir di hati para guru hari ini, disaat segala hal diusahakan demi administrasi. Di kala mengajar justru terpikir berapa rupiah yang akan terbayar atas dirinya dalam mengajarkan ilmu pada para murid-muridnya. Contoh-contoh ketulusan dan dedikasi seperti ini banyak sekali, dan semestinya hal inilah yang didahulukan bagi para mahasiswa-mahasiswa sekolah keguruan sebelum akhirnya mereka mendidik dan mengajar di depan siswa.

Kedua, penguasaan pelajaran dan materi yang dimiliki oleh seorang guru. Benar adanya bahwa siswa dapat mencari jawaban atas segala pertanyaan di kepalanya melalui media teknologi yang mudah diakses hari ini. Tidak juga salah bahwa kini untuk memperoleh informasi, segala sesuatu dapat diakses melalui media Open AI atau ChatGPT. Segala kemudahan tadi tersedia bagi murid, tapi hal yang perlu diketahui ialah, para murid tersebut tidak benar-benar mendapatkan sensasi dari belajar. Para murid melalui cara-cara tersebut hanya mendapatkan sesuatu yang bersifat praktis namun tak berkesan. Sebab kesan dari sebuah pembelajaran hanya dimiliki dari pemaparan mendalam dan luas melalui lisan dan pikiran seorang guru. 

Maka, setiap guru wajib menguasai bidang ilmunya. Perlu untuk mengeksplorasi lebih jauh wawasan-wawasan yang barangkali belum ia jangkau di masa lalu. Kini dengan adanya media digital terhampar luas, maka akses tersebut mampu menciptakan eksplorasi lebih dalam dari bidang ilmu seorang guru untuk ditularkan pada para muridnya.

Ketiga, seorang guru harus terus belajar mengenai hakikat tujuannya menjadi seorang guru. Memperbarui niat dan tujuan adalah pelajaran rumah yang harus dibawa ke sekolah setiap harinya. Hakikat dan tujuan menjadi guru tak boleh dilupakan, karena itulah ruh guru sejati. Saat hakikat tujuannya menjadi guru telah sirna. Maka jangankan ilmu yang dapat disampaikan kepada para siswa, kehadiran ke sekolahnya saja, tak lagi diharapkan bahkan oleh para koleganya sekali pun. Ia sibuk mengurusi aktifitas lain di luar kewajibannya mendidik. Ia abai atas amanah sebenarnya sebab tercuri perhatian untuk bersuka ria pada gawainya. Terlena dengan pekerjaan lain di luar tanggung jawabnya. Lebih suka menghadiri kegiatan-kegiatan struktural atas profesinya dibandingkan nilai-nilai fungsional sebagai seorang pendidik. Inilah yang kerap kali menjadikan guru tak lagi disiplin, berintegritas, dan tak bertanggung jawab.

Terakhir, wajib atas seorang guru mengenal dengan baik siapa saja yang menjadi muridnya. Mengenal tersebut bukan artinya mengenal nama. Namun mengenal secara karakter. Karena kadangkala seorang guru telah bertemu dengan beragam murid. Di antara murid-murid tersebut tentunya memiliki pengulangan karakter dari murid-murid sebelumnya yang pernah ada. Maka dengan demikian, seorang guru akan mampu memposisikan dirinya, menyajikan pembelajaran yang tepat, hingga mengarahkan dengan baik bila terjadi kekeliruan para murid-muridnya. Oleh karena itu, sebelum jauh-jauh mengoreksi tentang cara belajar seperti apa yang tepat bagi siswa. Maka sebagai seorang guru, ada baiknya mengintrospeksi mengenai sejauhmana keikhlasan niat dalam mendidik. Tentang sudah berapa banyak ilmu dimiliki dan apakah hal tersebut bertambah setiap hari guna dibagikan kepada para siswa.

Tak kalah penting ialah apakah tujuan-tujuan bercabang dalam tugasnya sebagai seorang pendidik? Hingga perlunya seorang guru mengenal secara baik karakter para muridnya. Kesemuanya perlu menjadi perhatian, sehingga kelak apapun gaya belajar yang dimiliki siswa. Para guru tetap memiliki peran tak terganti.

Berkata Asy Syaikh Shalih bin Muhammad Al Utsamin rahimahullah, “Wajib bagi seorang guru untuk memerhatikan perasaan-perasaan muridnya. Seperti bersikap ramah terhadap mereka, membersamai dalam diskusi, tidak bersikap kaku pada hal-hal yang luas perkaranya di hadapan murid, senantiasa menjaga diri dengan perkataan jujur, dan terus menampakkan akhlak baik di hadapan mereka. Sebab, para murid lebih banyak terpengaruh atas apa yang dimiliki oleh gurunya, dibandingkan dengan akhlak kedua orang tuanya.” (Al Liqo’ Asy Syahri 58/8)

Author

1 thought on “Sampai Kapan pun, Belajar Tetap Perlu Guru!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *