Sejarah Sains dan Kebenaran Saintifik
Published Date: 21 March 2022
“Tahukah kamu darimana ilmu pengetahuan atau sains itu berasal?”
Pada tulisan ini kita akan mencoba mengupas sekelumit sejarah tentang perkembangan awal sains. Ilmu pengetahuan atau sains berasal dari bahasa latin ‘scientia’ yang bermakna pengetahuan. Sains sebagai ilmu pengetahuan baik ilmu alam maupun ilmu sosial berasal dari pandangan filosofis. Isaac Newton (1642 – 1627) menulis hukum-hukum Fisika dalam buku yang berjudul Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1686) sebagaimana Adam Smith (1723 – 1790), Bapak Ilmu Ekonomi, yang merupakan bagian dari rumpun ilmu sosial pertama kali, pernah menulis pandangan ekonomi berjudul the wealth of Nation dalam kapasitasnya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow.
Dalam perkembangannya filsafat yang melahirkan gagasan-gagasan filosofis mulai ditinggalkan dan melahirkan sains yang menghadirkan metode lebih ketat dan sistematis. Sebagaimana pandangan barat yang menjelaskan bahwa perkembangan dari filsafat menuju sains, dimaknai oleh Augusto Comte sebagai taraf positivistik, karenanya sains disebut juga sebagai ilmu positif.
Di awal perkembangannya, ilmu fisika dikenal sebagai natural philosophy, sementara ilmu ekonomi dikenal dengan moral philosophy. Pada taraf selanjutnya filsafat mulai berpisah dengan sains, jika dahulu semua bidang dibahas dalam filsafat namun seiring dengan semakin kompleks, detail dan majunya pengetahuan maka filsafat dan sains berkembang secara terpisah, dan ini menjadikan bidang ilmu dalam sains menjadi terpecah serta bercabang-cabang sehingga pembahasan ilmu menjadi sektoral.
Sebagai contoh ilmu ekonomi pada awalnya merupakan filsafat moral dan masih tergolong sebagai applied ethic yang menggunakan metode normatif-deduktif. Namun pada perkembangan lebih lanjut ekonomi mulai berusaha untuk otonom dan memisahkan diri dari konsep-konsep filsafat. Ilmu ekonomi mulai beralih kepada metode saintifik, yakni melalui pengajuan hipotesis yang diverifikasi dengan fakta lapangan dan dikenal dengan istilah Logico – Hypothetico – Verifikatif. Pada taraf akhir pengetahuan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang objektif.
Singkat kata dalam tradisi barat sains merupakan perpaduan antara dua aliran filsafat yakni rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme memandang bahwa kebenaran atau pengetahuan bersumber dari rasio atau pikiran manusia. Sementara aliran empiris berpandangan bahwa kebenaran atau pengetahuan bersumber dari pengalaman atau indra manusia.
Sains dalam memperoleh pengetahuan dan kebenaran bertumpu pada penalaran, penalaran adalah kegiatan atau proses manusia dalam mengambil kesimpulan. Aktivitas penalaran ilmiah pada hakikatnya adalah penggabungan antara penalaran deduktif dan induktif dimana penalaran deduktif yang bertumpu pada rasionalisme dan penaralan induktif yang bertumpu pada empirisme.
Baca juga: Belajar Mencintai Matematika
Ilmu dalam Pandangan Islam
Ilmu dalam Islam bersumber pada adanya wahyu yang diturunkan dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada Nabinya, Muhammad shalallahu alahi wa sallam. Agama menurut Asy Syaikh Shalih Al-Fauzan dalam Kitab Tauhid-nya terbagi menjadi dua yakni: Ushul dan Furu’. Pada tataran mujmal ushul agama bersifat multak dan absolut karena ia murni bersumber dari wahyu sehingga tidak ada medan ijtihad di dalamnya.
Kebenaran dalam tataran ushul terdapat dalam masalah akidah dan manhaj karenanya ia bersifat qath’i atau pasti sehingga tidak ada relativisme kebenaran didalamnya, sehingga keesaan Tuhan atau tauhid baik dari rububiyyah, uluhiyyah dan asma wa sifat bersifat pasti dan mutlak. Adapun dalam tataran furu’ kebenaran bersifat ijtihadiyyah sebagaimana dalam banyak masalah fiqhiyyah yang terjadi banyak khilaf ilmiyyah, yang membagi pendapat menjadi rajih dan marjuh dalam banyak persoalan fiqhiyyah.
Sementara kebenaran dalam sains bersumber dari dua fakultas diri manusia yakni akal (rasio) dan pengalaman indrawi (empiris). Kebenaran sains bersifat relatif baik dalam tataran sains praktis maupun teoritis. Bahkan kebenaran sains bersifat pragmatis yakni dianggap benar selama ia mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan praktis dalam kehidupan manusia.
Kebenaran sains tidak bersifat absolut karena ia senantiasa berubah-ubah dan berkembang. Kebenaran sains diperoleh dari sebuah hipotesis yang berkorespondensi dengan fakta atau kebenaran empirik. Ketika terdapat fakta-fakta baru yang tidak sejalan dengan teori sains tertentu maka teori tersebut akan digugurkan dan digantikan oleh teori sains yang baru.
Kebenaran agama dalam tataran ushul berada diatas kebenaran saintifik karena jangkauan kebenaran agama adalah diluar ruang pengalaman dan rasio manusia, dan bersifat tetap untuk sepanjang zaman dan diseluruh tempat. Pertentangan yang terjadi dalam agama dan sains hanya di akibatkan oleh ketidakmampuan dan keterbatasan sains dalam mencapai ketinggian dari kebenaran agama.
Karenanya sains hanya menjawab hal-hal yang bersifat praktis dan dalam ruang lingkup pengalaman manusia seperti kesehatan, objek-objek fisik, makhluk hidup dan semua hal yang dapat dinalar, terukur, serta dapat diobservasi oleh indra manusia.
Adapun dalam persoalan yang bersifat mendasar dan pokok seperti tujuan hidup manusia, apa yang terjadi setelah kematian, adanya kehidupan surga dan neraka, maka sains tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, karena ia hanya bisa dijawab oleh agama yang bersumber dari wahyu. Kesimpulannya adalah tidak ada pertentangan antara agama dan sains selama keduanya berjalan dalam fungsinya masing-masing.
Zulnan Tinggihari
[Lahir di Jakarta dengan kuniyah Abu Isa, menamatkan pendidikan S1 Jurusan Teknologi Pendidikan UNJ dan S2 di bidang Ekonomi Islam pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Tazkia Bogor]
1 thought on “Sejarah Sains dan Kebenaran Saintifik”