Sekelumit Bekal Masuk Sekolah di Tahun Ajaran Baru

Pada Senin kemarin, sekolah-sekolah mulai kembali semarak. Itu adalah suasana yang meriah setelah beberapa pekan para siswa menjalani libur panjang. Ditemani ayah dan ibu yang penyayang, para bocah yang baru mulai menempuh tahun ajaran baru (sekaligus gedung sekolah yang baru, untuk anak-anak kelas satu di setiap jenjangnya) padat memenuhi sejumlah gedung sekolah yang saya lewati. Jalan raya penuh dengan motor-motor yang ditumpangi oleh anak-anak berseragam sekolah. Beranda media sosial diramaikan dengan foto para orangtua mengantarkan anak-anak mereka bersekolah. Mereka tampak siap untuk menempuh jalan panjang pendidikan. Sebuah jalan yang bertabur dengan tantangan, hambatan, dan perjuangan.

Setiap kali melihat orang-orang berseragam sekolah seperti di atas, pikiran saya selalu tertambat pada sesuatu yang sepaket sekaligus lebih penting daripada sekolah itu sendiri: pendidikan. Kita bisa dengan gampang menemukan banyak gedung sekolah dan siswa berseragam, tapi sungguh tak gampang menemukan “pendidikan”. Pendidikan atau edukasi tak cuma sekadar pulang dan pergi dari atau ke sekolah. Ia lebih luas dan kompleks daripada itu. Pendidikan bisa muncul di sekolah formal maupun tempat-tempat lain, dan sekolah kadang-kadang tidak selalu menyediakan pendidikan (yang layak).

Ada sebuah ungkapan yang kerap disandarkan kepada Ki Hadjar Dewantara berbunyi, “Semua tempat adalah sekolah dan semua orang adalah guru.” Saya tidak tahu kapan dan di mana Ki Hajar Dewantara menuturkan perkataan itu. Sejauh penelusuran saya, kata-kata itu bersumber dari buku Sekolah Itu Candu karangan Roem Topatimasang. Tepatnya di dua panel ilustrasi dalam buku itu: “Semua orang guru! Semua tempat sekolah!”

Namun, yang lebih penting dari quote-quote soal sekolah dan pendidikan, adalah bagaimana mengimplementasikan praktik pendidikan itu sendiri. Karena saya hanya pernah menjadi murid dan belum pernah menjadi guru, di sini saya hendak menjabarkan perspektif saya sebagai orang yang pernah menjalani sekolah formal selama belasan tahun. Apa yang ingin saya bahas sebatas pada bekal-bekal apa saja yang seharusnya dimiliki oleh orang-orang yang tengah menyongsong tahun ajaran baru.

Prioritas di Sekolah

Mula-mula adalah perihal prioritas saat berada di sekolah. Kebanyakan kita—para siswa atau yang pernah menjadi siswa—tidak pernah sungguh-sungguh ingin meraup ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya saat bersekolah. Setidaknya itulah yang saya lihat pada diri saya sendiri dan orang-orang di sekitar sewaktu saya menempuh pendidikan formal. Semua orang pergi ke sekolah, tapi tidak semua orang pergi sekolah untuk menimba ilmu. Ada yang pergi ke sekolah semata-mata karena orang-orang pada umumnya bersekolah. Ada yang pergi ke sekolah untuk mencari teman. Ada yang pergi ke sekolah karena tidak tahu lagi harus pergi ke mana. Meskipun saya juga tidak bisa menampik ada sebagian orang yang memang berniat pergi ke sekolah untuk mencari ilmu.

Semua orang akan mendapatkan sesuatu yang ia prioritaskan. Bagi orang-orang yang menempatkan pencarian teman sebagai prioritas di sekolah, itulah yang akan ia dapatkan. Bagi orang-orang yang menempatkan ilmu sebagai prioritas di sekolah, itu pulalah yang ia dapatkan. Walaupun bisa juga keduanya kita dapatkan dalam satu tarikan napas. Tapi, apakah sekolah hanya soal ilmu dan mencari relasi? Sesungguhnya lebih daripada itu dan memang seharusnya tak hanya itu.

Selama bersekolah, jujur saja, bagi saya yang terpenting adalah sikap baik. Sikap baik yang saya maksud bukan berarti ketika berada di sekolah kita harus menjadi orang suci atau semacamnya. Tapi sikap baik yang saya maksud adalah kemampuan untuk bersikap secara wajar terhadap beragam orang dan beragam keadaan selama di sekolah. Pengetahuan jelas penting, kemampuan bersosialisasi juga tak sepatutnya diremehkan, tapi di atas segalanya sikap baiklah yang paling utama. Sikap baik adalah sikap yang berpihak kepada kemaslahatan umat. Bukan semata-mata sikap yang cuma menguntungkan diri sendiri atau berdasar pada egoisme. Sikap baik artinya belajar tanpa harus menelantarkan kewajiban yang lebih besar, peduli dengan lingkungan, dan tidak menyakiti siapa pun.

Itulah bekal terpenting yang semestinya dimiliki oleh orang-orang yang tengah atau baru menempuh jalan pendidikan. Mereka tidak harus punya nilai sempurna atau banyak teman, tapi mereka harus pintar bersikap. Ketika melihat sampah di lorong sekolah, mereka berinisiatif memungut dan membuangnya. Ketika melihat ada teman yang dirundung, mereka datang membela dan memberi peringatan kepada pelaku perundungan. Ketika ada guru yang melakukan suatu hal atau mengatakan sesuatu yang keliru, mereka mengoreksi secara patut. Sebab sekolah lebih dari sekadar nilai rapor atau nama-nama di daftar absen.

Tentu tak mudah untuk bersikap baik atau patut selama menjalani pendidikan di sekolah. Ada tantangan dan halangan yang harus dihadapi. Tapi tepat di situlah poinnya. Sekolah adalah tempat di mana kita bisa belajar untuk memperbaiki diri seinci demi seinci. Sekolah adalah tempat di mana setelah kita lulus, kita bisa menjadi pribadi yang berbeda—tapi tentu dalam makna yang positif. Sekolah adalah tempat di mana kita bisa belajar senantiasa mengevaluasi diri secara terus-menerus. Sekolah adalah tempat di mana kita tak pernah merasa puas untuk menggembleng diri menjadi pribadi yang lebih baik. Dan untuk mewujudkan sekolah yang dapat menjadi wadah untuk menghasilkan orang-orang yang dapat bersikap baik, tentu diperlukan kerja sama yang ideal antara guru dan murid. Kerja sama yang berimbang, kerja sama antara pendidik dan yang dididik, bukan jenis kerja sama antara “raja” dan “budak”. Walaupun ada banyak hal lain yang masih harus dilakukan, setidaknya dengan kesadaran untuk menempatkan sikap baik atau patut sebagai bekal utama yang harus dimiliki oleh seorang pelajar, kita bisa berharap sekolah dapat menjadi tempat untuk menumbuhkan bibit unggul—bukan hanya dalam pengetahuan, tapi juga dalam pola pikir dan tindakan.

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *