Pentingnya Belajar Tentang Diri Sendiri

Ketika menulis esai ini saya sedang membaca buku Orientalisme karya Edward W. Said. Buku legendaris yang mengupas perihal cara pandang orang Barat terhadap orang Timur itu sangat berguna bagi kita untuk bisa memahami lebih dalam mengenai makna “Timur”, terutama dalam apa yang dipahami orang-orang non-Timur. Tapi saya tidak hendak membahas lebih lanjut soal itu. Yang membuat saya tertarik saat membaca buku tersebut adalah banyaknya orang-orang Barat yang rajin mempelajari mengenai ketimuran, terlepas apa tujuan mereka. Dari buku itu saya mengenal nama-nama Silvestre de Sacy, Ernest Renan, hingga Edward William Lane. Mereka getol belajar dan menulis soal Timur, padahal mereka orang Barat. Mereka meluangkan banyak waktu untuk mempelajari pihak lain.

Kita juga mungkin sudah kerap mendengar cerita soal Snouck Hurgronje yang menyamar sebagai ulama bernama Abdul Ghaffar ketika tinggal di Aceh. Sarjana Belanda kelahiran 8 Februari 1857 itu mempelajari banyak hal soal agama Islam, padahal dia bukan orang Islam. Bahkan, konon dia pernah pergi ke Makkah untuk mempelajari lebih jauh soal Islam dengan berpura-pura menjadi mualaf. Intinya, dia bersikap totalitas dalam mencari apa yang dia inginkan. Tentu saya tidak bermaksud memuji Snouck Hurgronje ataupun orientalis-orientalis lainnya. Saya hanya ingin menggarisbawahi kegigihan mereka dalam belajar, kegigihan yang kadang-kadang malah tidak dimiliki oleh orang Islam dalam mempelajari agamanya sendiri.

Dalam literatur bahasa Arab, ada sebuah kamus kontemporer terkenal berjudul Al-Munjid fii al-Lughah wa al-A’laam. Kamus bergambar yang dijadikan referensi oleh banyak kalangan dalam mempelajari bahasa Arab itu dikarang oleh Louis Ma’louf. Kita mungkin berpikir kamus itu—kamus bahasa Arab, “bahasa kaum Muslim”—ditulis oleh salah seorang ulama Islam. Ternyata bukan. Louis Ma’louf bukanlah orang Islam, melainkan penganut Katolik asal Lebanon. Lantaran berbagai alasan, sejumlah ulama tidak menganjurkan kamus itu sebagai bahan rujukan. Tapi, bahasan itu bukan jadi pokok dalam tulisan ini. Yang jadi pertanyaan sekaligus ironi dan pukulan telak bagi diri sendiri, mengapa orang non-Muslim malah lebih bersemangat mendalami bahasa Arab daripada para penganut agama Islam pada umumnya? Mungkin kita bisa berkilah bahwa Ma’louf adalah orang dari dataran Arab sehingga bahasa Arab bukanlah sesuatu yang asing baginya. Sayangnya, di luar sana banyak fakta lain perihal orang-orang non-Muslim sekaligus non-Arab yang getol mempelajari bahasa Arab. Kita sering lalai mempelajari tentang diri sendiri dan apa-apa yang sebenarnya kita perlukan.

Ini bukan hanya dalam konteks keagamaan. Dalam banyak hal gejala “lupa belajar tentang diri sendiri” juga merebak. Umpamanya perihal bahasa. Di Indonesia, tidak banyak orang bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Mintalah orang-orang secara acak untuk membuat kalimat sempurna dalam gramatika bahasa Indonesia, niscaya mereka akan kelabakan. Sebagian orang malah lebih fasih berbahasa asing ketimbang bahasa Indonesia. Tentu tidak ada salahnya mempelajari bahasa asing, cas-cis-cus berbicara bahasa Inggris atau Mandarin atau Swahili. Akan tetapi, menjadi keanehan kalau kemampuan kita sebagai orang Indonesia dalam berbahasa Indonesia malah rendah. Biar bagaimanapun, menguasai bahasa tempat kita tinggal dan berkewarganegaraan itu penting. Kita mustinya malu kepada orang-orang asing seperti Andre Moller yang lahir di Swedia tapi jago dan rajin menulis esai soal bahasa Indonesia. Kita juga mustinya malu ketika beberapa universitas di luar negeri (contohnya University of Washington, Amerika Serikat; University of Melbourne, Australia; Tokyo University for Foreign Studies, Jepang) membuka studi khusus tentang bahasa Indonesia, kita sebagai orang Indonesia malah masih tergopoh-gopoh dalam menggunakan bahasa sendiri.

Baca juga: Seni Menunggu di Tengah Dunia yang Terus Bergerak

Ada banyak orang salah kaprah dalam belajar. Mereka belajar tentang hal-hal yang jauh sebelum yang dekat, tentang hal-hal yang asing sebelum yang akrab, tentang hal-hal yang tidak penting-penting amat sebelum yang penting. Dalam bahasa fikih, mereka mempelajari yang mubah sebelum yang sunah dan wajib. Ini tentu mengherankan. Kita bisa dengan mudah mendapati orang-orang yang mempelajari kebudayaan asing dengan tekun tapi abai terhadap kebudayaan lokal. Alhasil, orang-orang semacam itu menjadi buta terhadap lingkungannya sendiri. Kita bisa menderetkan hal-hal sejenis: para guru yang tidak giat mempelajari soal pendidikan, para seniman yang tidak mau memperbarui pengetahuannya soal seni, para atlet yang enggan belajar tentang teknik-teknik termutakhir, dan seterusnya.

Pada dasarnya, setiap orang memiliki atribut tertentu yang khas. Entah dalam hal identitas diri, profesi, maupun minat akademis. Dengan atribut-atribut yang kita punya, kita dapat melihat hal-hal apa saja yang seharusnya kita pelajari terlebih dahulu. Jika kita beragama Islam, umpamanya, tentu tidak masuk akal kalau kita lebih giat mempelajari agama-agama lain sebelum mempelajari secara menyeluruh agama kita sendiri. Jika kita berprofesi sebagai arsitek, tentu kurang elok jika kita lebih aktif mempelajari soal akuntansi sampai-sampai lupa belajar lebih lanjut soal arsitektur. Dan jika kita peminat kajian Timur Tengah, jangan sampai keasyikan belajar soal Barat hingga lupa soal bidang yang sedang kita tekuni.

Intinya adalah kesadaran diri terhadap apa-apa yang kita perlukan dan berhubungan langsung dengan kehidupan kita sehari-hari. Dengan kesadaran itu, kesadaran untuk mempelajari apa-apa yang kita butuhkan, akan meminimalisasi kecenderungan untuk bersikap sok tahu terhadap sesuatu yang di luar bidang kita. Sebab, lapangan ilmu sangat luas dan kita tidak mungkin bisa menguasai semuanya. Cara paling bijak adalah dengan mempelajari dan mendalami bidang peminatan kita sendiri dan membiarkan bidang-bidang lain dipelajari oleh orang-orang yang lebih memerlukan dan meminatinya. Memang tidak ada salahnya juga kita belajar tentang hal-hal lain di luar minat kita, tapi dengan catatan kita sudah mempelajari apa yang kita perlukan. Sebab, tak elok kalau kita memahami seluk-beluk rumah orang lain, tapi keder terhadap seluk-beluk rumah sendiri. Tak lucu kan kalau kita tersesat di rumah sendiri? (*)

Author

1 thought on “Pentingnya Belajar Tentang Diri Sendiri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *