Serial Hadis Adab #4: Tiga Indikator Keimanan
Published Date: 7 October 2025
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berbuat baik kepada tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia memuliakan tamunya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata baik atau diam.”(HR. Bukhari, 78-Kitab al-Adab; Shahih dalam Al-Irwā’, no. 2525)
Iman adalah pondasi utama yang harus dimiliki dan terus dipelihara oleh setiap muslim. Keimanan seseorang bisa bertambah ataupun berkurang tergantung bagaimana ia menjalani kehidupannya sehari-hari, apakah ia taat pada perintah Allah dan Rasul-Nya, atau justru bermaksiat kepada keduanya?. Ketika seorang muslim menaati perintah Allah dan Rasul-Nya, maka bertambah pula keimanannya. Namun jika ia melakukan maksiat, maka berkuranglah keimanannya.
Hal ini ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، يَزِيدُ بِالطَّاعَةِ، وَيَنْقُصُ بِالمَعْصِيَةِ، وَهَذَا مَذْهَبُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ
“Iman adalah ucapan dan perbuatan. Ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena maksiat. Ini adalah mazhab ahlus sunnah wal jama’ah.” (Majmū’ al-Fatāwā, 7/638)
Di antara indikator kuat atau lemahnya iman seseorang, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi ﷺ di atas, terdapat tiga hal utama: berbuat baik kepada tetangga, memuliakan tamu, serta berkata baik atau diam.
Berbuat Baik kepada Tetangga
Dalam kehidupan bertetangga di masa kini, ada dua pandangan yang sering muncul. Pertama, di wilayah perkotaan atau kompleks perumahan, bertetangga dianggap cukup dengan sekadar menyapa. Interaksi sosial cenderung minim dan masing-masing sibuk dengan urusan pribadi. Kedua, di lingkungan perkampungan, seseorang dianggap tidak sopan atau sombong jika tidak membaur dengan masyarakat sekitar.
Sebagian orang yang cenderung menarik diri dari lingkungan beralasan bahwa terlalu banyak bersosialisasi akan membuka peluang untuk terlibat dalam ghibah, fitnah, atau konflik. Namun solusi terbaik bukanlah menjauhi masyarakat, melainkan tetap bersosialisasi dengan menjaga adab dan menghindari perkara yang dilarang oleh agama.
Rasulullah ﷺ bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya.” (HR. Bukhari dan Muslim, lafazh milik Muslim no. 46)
Maka, berbuat baik kepada tetangga bukan hanya bentuk akhlak terpuji, tetapi juga bagian dari keimanan yang dijanjikan surga.
Memuliakan Tamu
Indikator kedua dari keimanan adalah memuliakan tamu. Di zaman sekarang, maraknya kejahatan menjadikan kita lebih waspada terhadap orang asing, termasuk tamu. Rasa curiga kadang membuat kita tidak menyambut tamu dengan ramah, bahkan bersikap dingin karena merasa terganggu.
Islam tidak melarang kehati-hatian, tetapi tetap menuntut kita untuk bersikap hormat dan santun kepada tamu. Ucapkanlah kata-kata baik, berikan jamuan sesuai kemampuan, bahkan sekadar segelas air adalah bentuk penghormatan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: الضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ، فَمَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ، وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَثْوِيَ عِنْدَهُ حَتَّى يُحْرِجَهُ
“Jamuan tamu adalah tiga hari. Setelah itu, maka (menjamunya) adalah sedekah. Dan tidak halal bagi tamu untuk tinggal hingga menyusahkan tuan rumah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Maka muliakanlah tamu dengan ikhlas, karena keberkahan dan doa mereka bisa jadi jalan turunnya rahmat Allah ke rumah kita.
Berkata Baik atau Diam
Indikator ketiga dari keimanan adalah menjaga lisan. Betapa banyak orang terjerumus ke dalam dosa besar hanya karena tak mampu mengendalikan lisannya. Lisan ibarat pedang tak bertulang, ia bisa melukai tanpa darah, dan luka itu terkadang lebih dalam dari luka fisik.
Sering kali kita berbicara tanpa berpikir, tanpa mempertimbangkan apakah ucapan kita menyakiti atau tidak. Padahal, Rasulullah ﷺ telah mengingatkan bahaya besar dari ucapan yang sembrono:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ، مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا، يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kalimat yang tidak ia pikirkan (baik-buruknya), lalu ia terjerumus karenanya ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.” (HR. Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 2988)
Oleh karena itu, seorang muslim yang beriman seharusnya menjadikan lisannya sumber kebaikan, bukan sumber kehancuran bagi dirinya dan orang lain.
Wahai teman-teman sekalian, 3 hal yang tampak sederhana namun penting, berbuat baik kepada tetangga, memuliakan tamu, dan menjaga lisan ternyata merupakan tolok ukur keimanan kita kepada Allah dan hari akhir. Jika kita mengaku beriman, maka mari buktikan lewat tindakan nyata, sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah ﷺ.
Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang senantiasa memperbaiki adab, memperhalus akhlak, dan menjaga keimanan dalam ucapan serta perbuatan.