Serial Hadis Adab #7: Malu Adalah Cermin Keimanan

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيْمَانِ. (البخاري: ٢٤)
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah melewati seorang laki-laki dari kaum Anshar yang sedang menasihati saudaranya tentang malu. Maka Rasulullah bersabda, “Biarkanlah ia, karena malu itu termasuk keimanan.” (HR. Al-Bukhari: 24)

***
Sungguh menarik jika kita duduk sejenak dan merenungkan sabda Rasulullah ﷺ ini. Sebagaimana kita ketahui, Nabi Muhammad ﷺ dikaruniai dengan jawami’ al-kalim (kata-kata yang ringkas, namun padat makna). Begitu pula dengan hadis ini yang sekali lagi menunjukkan betapa kayanya makna dan faedah yang terkandung dalam ucapan beliau, sekalipun isinya hanya beberapa patah kata. Hadis tersebut secara tersurat memang menyebutkan soal “malu”, tetapi “malu” di sini tidak sebatas “malu” yang biasa kita pahami sehari-hari, yaitu perasaan segan atau canggung.

Dalam hadis ini malu punya makna mendalam. Malu adalah bagian dari iman. Ia adalah bagian dari kedalaman spiritual seorang hamba yang sadar bahwa Allah selalu melihat dan mengawasinya, bahkan di tempat yang paling tersembunyi.

Salah satu wejangan guru saya yang saya selalu ingat hingga sekarang adalah berkaitan tentang keimanan. Dalam hal iman dapat kita pahami bahwa kita sebgai hamba perlu sadar bahwa Allah SWT itu selalunya mengawasi kita dua puluh empat jam dalam sehari. Kondisi sadar bahwa Allah selalu melihat kita ini biasa disebut sebagai ihsan, dan malu adalah salah satu benteng untuk kita tetap berada dalam kondisi ihsan tersebut. Sejatinya malu bukan penghalang kebaikan. Justru rasa malu bisa menjadi benteng terakhir yang menyelamatkan kita dari maksiat. Ketika seseorang sudah tidak merasa malu, maka ia akan mudah melakukan apa pun tanpa takut dosa, tanpa merasa bersalah sama sekali.

عَنْ أَبيْ مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو الأَنْصَارِيِّ البَدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: صلى الله عليه وسلّم (إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُولَى إِذا لَم تَستَحْيِ فاصْنَعْ مَا شِئْتَ) رَو
َاهُ اْلبُخَارِيّ

Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari Al-Badri radhiyallahu ‘anhu dia berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Sesungguhnya termasuk perkara yang didapati oleh manusia dari perkataan nubuwwah (kenabian) yang pertama adalah jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu.” (HR. Al-Bukhari: 6120)

Hadis ini bukan mengizinkan kita untuk berbuat sesuka hati kita, tetapi justru peringatan yang sangat tajam untuk kita. Jika rasa malu hilang dari hati seseorang, maka batas antara halal dan haram bisa lenyap begitu saja. Coba kita lihat realita hari ini. Banyak sekali terjadi perzinaan, korupsi, pembunuhan, hingga fitnah di mana-mana. Manusia di zaman ini bisa berdusta dengan tenang, menyebar kebohongan tanpa beban. Semua hal itu dapat terjadi bisa dipastikan karena rasa malu itu telah hilang dari dalam hati. Maka beruntunglah orang-orang yang masih memelihara rasa malunya dan menjadikan rasa malunya sebagai benteng pertahanan dirinya dari kemaksiatan yang menyebar dimana-mana.

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ : الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ (رواه مسلم : 37)

Dari Imran bin Hushain, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Malu tidak mendatangkan kecuali kebaikan.” (HR. Muslim: 37)

Seseorang yang menjaga rasa malunya akan berhati-hati dalam perkataan, tidak sembarangan bertindak, tidak gegabah mengambil keputusan. Ia tahu bahwa setiap ucapan dan perbuatannya akan dimintai pertanggungjawaban. Ia malu jika sampai melakukan sesuatu yang Allah tidak ridai. Sifat ini akan menuntunnya kepada kebaikan demi kebaikan dan menjauhkannya dari keburukan.

Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah membagi rasa malu menjadi dua. Pertama, rasa malu yang merupakan bawaan dan karunia dari Allah, sebuah sifat mulia yang diberikan kepada para nabi dan orang-orang saleh. Kedua, rasa malu yang tumbuh karena mengenal Allah dan merasakan keagungan-Nya. Inilah rasa malu yang lahir dari iman dan mencapai derajat ihsan, yaitu merasa diawasi oleh Allah dalam setiap keadaan. Maka tingkatan tertinggi dari rasa malu adalah ketika kita bukan lagi hanya malu pada makhluk selain kita, akan tetapi ketika kita merasa malu pada Alah SWT.

Banyak orang saat ini yang ketika berada di hadapan khalayak ramai ia merasa malu, akan tetapi jika sendirian maka dengan tenangnya ia melakukan perbuatan-perbuatan tercela, karena ia merasa dirinya sendirian, tidak ada yang mengawasinya, tidak ada yang melihatnya. Padahal Allah Maha Melihat dan Mengawasi. Jika kita meningkatkan rasa malu kita kepada Allah, niscaya kita tidak akan kuasa untuk berbuat maksiat, baik dalam kondisi terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.

Wahai teman-temanku, mari kita jaga rasa malu ini. Hiasilah diri kita dengannya. Tanamkan ia dalam hati kita, perkuat akarnya, tinggikan batangnya, rimbunkan daunnya sehingga ia berdiri kokoh di dalam hati kita dan melindungi kita dari kemaksiatan yang menggoda kita. Karena rasa malu itu akan menuntun kita untuk menjaga iffah (kehormatan diri), menjauhkan kita dari maksiat, dan membawa kita kepada rida Allah. Dan ingatlah pesan ini, jika rasa malu masih hidup dalam hatimu, itu tanda iman masih menyala di dalam dadamu.

Wallāhu a‘lam.

 

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *