Tentang Keberagaman dan Kerumitan yang Menyertainya
Published Date: 7 June 2022
Belakangan saya kerap melihat orang-orang yang ngomel karena dalam sebuah daftar atau sayembara tidak ada keberagaman. Daftar penyair terbaik tahun ini kok tidak ada yang perempuan? Novel terbaik kali ini kok tidak ada yang dari pengarang luar pulau Jawa? Cerpenis berbakat kok tidak ada yang queer? Esais terhebat kok tidak ada yang beragama non-Islam? Dan seterusnya. Dan seterusnya.
Tentu saya senang belaka terhadap keberagaman. Itu membuat hidup lebih variatif dan kaya perspektif. Tapi, apa sih keberagaman itu? Sebatas berbeda-beda suku? Semata berbeda-beda gender? Bagaimana kalau ada sekumpulan orang dari beragam suku memegang satu ideologi yang sama, apakah kita menyebutnya beragam atau identik? Bagaimana kalau ada sekumpulan orang bergender sama memiliki ideologi yang berbeda-beda, apakah kita menyebutnya beragam atau identik? Saya punya teman-teman dari beragam suku (Jawa, Batak, Sunda, Aceh, Bugis, Arab, Tionghoa, dll.) yang menyukai tipe buku yang sama. Saya tidak akan menyebut keberagaman sekaligus keseragaman ini sebagai suatu hal yang spesial. Ini sebatas perbedaan selera. Dan selera dibentuk oleh banyak unsur: genetika, teman, keluarga, lingkungan masyarakat, bacaan, tontonan, lagu, dan sebagainya.
Begitu pula juri-juri sayembara atau pembuat daftar. Apa-apa yang mereka bikin bukanlah gambaran utuh suatu masyarakat, tapi seringkali tak lebih dari selera mereka. Memang bukan berarti mereka berpaku pada selera semata sehingga melupakan nilai-nilai tertentu yang menjadi standard kualitas suatu karya. Tentu saja selera juri masih terikat pada sebentuk obyektivitas (setidaknya juri-juri itu adalah orang yang kompeten dalam bidangnya, bukan orang yang dipilih secara asal sehingga selera juri tidak bisa kita samakan dengan selera awam).
Nah, itulah, alih-alih marah-marah kalau tidak ada anggota suku atau kelompok gender kita yang masuk daftar blablabla terbaik, lebih baik kita minta pertanggungjawaban si juri atau pembuat daftar. Apa dasar penilaian mereka? Apa alasan mereka memilih si A dan bukan si B? Soal gender, suku, agama, dan identitas lain yang tidak relevan dengan kekaryaan sebaiknya ditepikan dulu. Bukan berarti tidak menghargai keberagaman, tapi kalau penilaian karya didasarkan terutama pada keberagaman identitas, bakal repot. Misalkan ada 3 orang terpilih sebagai pemenang utama sayembara novel. Satu dari Papua, satu dari Jawa, satu dari Aceh. Dua laki-laki, satu perempuan. Apa ini bisa disebut keberagaman? Belum tentu. Suku-suku lain yang tidak terpilih, yang jumlahnya jauh lebih banyak, bisa saja protes dan mencurigai obyektivitas juri. Gender-gender lain, yang merasa bukan laki-laki dan bukan perempuan, bisa saja kecewa karena merasa dipinggirkan. Semua orang pun ribut dan karya-karya pemenang (hal terpenting dalam kasus ini dan yang seharusnya menjadi pusat perhatian) malah terabaikan.
Yang terpenting dari menghargai keberagaman ada pada tataran praktis, pada tataran riil, dengan cara menghormati hak mereka sebagaimana manusia pada umumnya. Termasuk dalam hal memberikan ruang dan kesempatan bagi siapa saja—tanpa terbentur identitas tertentu—untuk berkarya. Adapun soal kualitas kekaryaan, itu tidak terikat oleh bentuk identitas tertentu.
Benar bahwa orang dengan identitas tertentu cenderung membuat karya dengan gaya atau mengandung nilai tertentu. Tapi itu cuma kecenderungan, bukan kemutlakan. Jadi, tidak bisa dijadikan tolok ukur. Harus saya katakan di sini: saya sering dibuat kagum oleh karya-karya yang dibuat oleh orang yang berbeda nyaris segalanya dengan saya (agama, suku, bahasa, gender, dst.) dan saya juga sering dibuat muak oleh kelakuan orang-orang yang serupa dengan saya nyaris dalam segala hal (agama, suku, bahasa, gender, dst.).
Namun, alasan saya menyukai dan tidak menyukai mereka/karya mereka bukan lantaran identitas yang menempel pada mereka. Alasan saya jelas: apa yang mereka lakukan, apa yang mereka buat, apa yang mereka hasilkan, itulah yang saya nilai dan ukur.
Lagi pula unsur pembentuk identitas seorang manusia itu tidak hanya apa-apa yang lazim dan tampak pada permukaan semisal suku, gender, agama, dan bahasa. Ada banyak unsur lain, yang tak jarang lebih menentukan pola pikir sekaligus sikap seseorang. Misalnya kepribadian, kelas sosial, pengalaman masa kecil, hobi, fobia, hal-hal favorit, dan sebagainya yang jenisnya bisa banyak sekali.
Kalau memang kita mau konsisten menjunjung keberagaman, unsur-unsur pembentuk identitas semacam itu juga perlu dipertimbangkan. Sebab dalam banyak kasus saya melihat segerombolan orang tampak berbeda dan beragam secara lahiriah: si Jawa, si Hindu, si non-binary, dll. berkumpul (saya harus tekankan bahwa ini cuma contoh, biar tidak salah paham). Kelihatannya memang berbeda, tapi kerap kali ada yang menyatukan mereka: sirkel—umpamanya. Bisa sirkel pengemudi jenis kendaraan tertentu, penggemar suatu klub sepak bola, lulusan kampus tertentu, dan banyak sekali lainnya. Begitu mereka keluar dari sirkel mereka, mereka jadi galak dan lupa pada semangat mereka menjunjung perbedaan dan keberagaman. Tentu saya percaya banyak juga orang-orang yang sungguh-sungguh menjunjung keberagaman. Tapi, sulit untuk menampik keberadaan sekelompok orang yang walaupun berbeda-beda (dalam sejumlah hal) tetapi tetap disatukan oleh satu sirkel jua.
Sebagai penutup musti saya sebutkan: saya menerima perbedaan pendapat dan saya tidak keberatan mengubah pendapat saya jika ada pendapat yang lebih baik dan tepat. Tapi, apa sih ukuran ‘baik’ dan ‘tepat’ di sini? Bisa berbeda-beda, bisa beragam, bisa banyak dan bermacam-macam sekali kriterianya. Keberagaman total memang rumit sekali. Sebagai alternatif, kadang-kadang orang menjunjung sikap moderat dan netral. Tapi, apa sih netral itu? Seringkali sikap netral itu bisa berarti dua: memahami segalanya atau tidak memahami apa-apa. Apakah ada orang yang memahami segalanya? Apakah ada orang yang tidak memahami apa-apa? Saya tidak yakin. Dengan kata lain, ketimbang menggenggam benda yang tak jelas bentuknya bernama netralitas, sebaiknya orang-orang berterus terang saja bahwa ia memegang satu prinsip/nilai tertentu.
Katakan saja setuju atau tidak setuju dengan argumentasi masing-masing. Bagaimanapun tiap orang pasti punya kecenderungan. Tidak ada salahnya berkecenderungan, asalkan bertanggungjawab serta tidak mengganggu atau mengusik orang lain. Itu jelas lebih baik ketimbang berlagak netral padahal hanya sedang menyembunyikan keberpihakan.
1 thought on “Tentang Keberagaman dan Kerumitan yang Menyertainya”