Ihwal Pohon dalam Al-Qur’an

Kata ‘syajara’ dalam Al-Qur`an muncul sebanyak 27 kali dalam berbagai derivasinya. Kadang dengan lafal ‘syajaratun’ (dengan ta’ marbuthah), ‘syajarun’  atau ‘syajarat’ (dengan ta’) yang bermakna ‘pohon’. Melihat konteks ayat, lafal ‘syajarun’ kadang mewakili jenis pepohonan secara umum karena itu kadang diartikan sebagai jamak (pepohonan atau tetumbuhan). Hanya di satu ayat kata ‘syajara’ itu bermakna ‘muncul’ atau ‘berselisih’ yaitu di Surat An-Nisa ayat ke-65.

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
Artinya: “Maka demi Rabbmu, sungguh mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim atas apa yang mereka perselisihkan.”

Lafal ‘fi ma syajara bainahum’ di satu sisi menunjukkan keindahan bahasa Arab. Perhatikan lafal ‘syajara’. Seakan-akan perselisihan itu diibaratkan sebagai pohon yang tumbuh keluar dari tanah. Pohon itu muncul, tumbuh ke atas, bercabang, dan cabang-cabangnya bermekaran ke berbagai arah: berpisah tanpa adanya titik temu. 

Adapun kata ‘syijaarun’ dengan syin yang dikasrah dan jim yang diberi alif berarti: pertengkaran, perkelahian, perjuangan, pertikaian, perselisihan, dan pertempuran. Jamaknya ‘asyjar’.

Konon, kata ‘sejarah’ dalam bahasa Indonesia juga berakar dari kata ‘syajarah’ yang makna asalnya adalah pohon, silsilah atau riwayat. Bahasa Melayu menyerap kosakata Arab ini menjadi ‘sajarah’ dan akhirnya diucapkan ‘sejarah’.

Menarik untuk dicermati bahwa ‘pohon’ sebagai makhluk ciptaan Allah disebut di dalam Al-Qur’an untuk berbagai peran dan keperluan. Di antaranya sebagai alat uji keimanan, latar perkisahan, permisalan, penyebutan jenis, dan lain sebagainya.

Pohon yang menguji keimanan Adam alaihissalam disebut di enam tempat di dalam Al-Qur`an. Di antaranya Surat Al-Baqarah ayat ke-35 yang artinya: “Dan Kami berfirman, ‘Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, dan makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu. Tetapi janganlah kamu dekati pohon ini, hingga kamu termasuk orang-orang yang zalim!’”

Lima tempat lain yang menyebut ‘pohon larangan’ di surga itu adalah Surat An-Nisa ayat ke-65, Surat Al-A’raf ayat ke-19 dan 20, 22 (disebut dua kali) dan Surat Thaha ayat ke-120.

Di kisah ini tidak disebutkan ‘buah larangan’ apakah yang dimakan Adam. Apa jenisnya? Menurut para ulama tidak ada riwayat sahih yang menerangkan tentang hal ini dan tidak ada pula faidahnya. Bukan apel, zaitun, atau lain-lain buah. Maka, kata Syaikh Al-Utsaimin di dalam Syarah Riyadhus Shalihin: hendaknya kita meng-ibham apa yang Allah ibham-kan. Artinya, kalau Allah menyamarkan dan tidak memerinci sesuatu, maka kita pun demikian. Hal terpenting di sini adalah hikmahnya, bukan rincian fakta atau subjek sejarahnya.

Di Surat Ibrahim ayat ke-24, 25 dan 26 Allah memisalkan kalimat tauhid bagaikan pohon yang tinggi menjulang. Allah berfirman yang artinya: “Tidakkah kalian perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit, (pohon) itu menghasilkan buah di setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu mengambil pelajaran.

Ahli tafsir mengartikan kalimat yang baik itu dengan kalimat tauhid ‘la ilaha illallah’ sedangkan ‘kalimat yang buruk’ adalah ‘syirik’. Kebanyakan mufassir mengartikan pohon yang buruk itu sebagai tumbuhan ‘hanzhal’, yakni sejenis tanaman rambat di gurun pasir yang buah dan bijinya sangat pahit. 

Dalam Musnad Abu Ya’la sebagaimana tersebut dalam Tafsir Ibnu Katsir disertakan hadis sahih dari Anas bin Malik radiallahu anhu bahwa yang dimaksud dengan pohon yang baik dalam ayat di atas adalah ‘kurma’ sedangkan pohon yang buruk itu adalah pohon ‘hanzhalah’ (Citrullus colocynthis). Tafsir Al-Baghawi juga menegaskan hal serupa.

Suatu ketika Nabi Muhammad bertanya kepada sekumpulan sahabat tentang pohon yang merupakan permisalan orang mukmin. Ibnu Umar yang saat itu masih anak-anak hendak menjawab bahwa pohon itu adalah pohon kurma, namun beliau segan karena yang hadir adalah sahabat-sahabat Nabi yang lebih tua. Maka Ibnu Umar pun diam dan menahan diri. Ternyata jawaban Nabi persis seperti yang ia duga di dalam hati. Pohon itu adalah pohon kurma.

Informasi tentang ‘hanzhal’ atau ‘hanzhalah’ kita temukan juga di dalam hadis sahih riwayat Bukhari: “Permisalan orang yang membaca Al-Qur`an dan mengamalkannya bagaikan buah utrujah, rasanya enak dan aromanya harum. Sedangkan orang mukmin yang tidak membaca Al-Qur`an tetapi mengamalkannya bagaikan kurma, rasanya lezat namun tidak beraroma. Adapun orang munafik yang membaca Al-Qur`an bagaikan rayhanah, aromanya sedap namun rasanya pahit. Dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Qur`an laksana hanzhalah, rasanya pahit dan baunya tengik.” 

Baca juga: Psikohistori Sirah Nabawi: Baiknya Hati Para Sahabat Nabi

Memahami Pohon sebagai Tempat Kehidupan

Pohon-pohon adalah rumah bagi lebah, serangga unik penghasil madu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di Surat An-Nahl ayat ke-68, “Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah: ‘Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia!’

Ayat ini lafal aslinya berbunyi: wa aw-ha Rabbuka ilan-nahli. Yang secara harfiah harusnya diterjemahkan: “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah.” Kata ‘mewahyukan’ di sini diartikan ‘mengilhamkan’ – demikianlah kesepakatan para ahli tafsir. 

Yang semakna dengan ini adalah ayat yang berbunyi: “Dan Kami wahyukan kepada ibunda Musa, ‘Susuilah dia (Musa), dan apabila engkau khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke sungai. Dan janganlah engkau takut dan jangan pula bersedih hati, sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu dan menjadikannya salah seorang rasul.” (Surat Al-Qashash ayat ke-7)

Lafal ‘Kami wahyukan’ di situ bermakna ‘Kami ilhamkan’.

Syaikh Asy-Syinqithi dalam tafsir ‘Adhwaul Bayan’ menjelaskan bahwa orang Arab memutlakkan arti kata al-iyha` (mewahyukan) sebagai ‘pemberitahuan sesuatu secara tersembunyi’. Kata ‘mewahyukan’ itu bisa pula bermakna ‘memberi isyarat’, ‘kitabah’ (penulisan), ‘ilham’, ‘memerintahkan’ dan makna lain.

Maka Zakaria keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu dia mewahyukan (memberi isyarat) kepada mereka: bertasbihlah kalian pada waktu pagi dan petang.’” (QS. Maryam: 11)

Dalam Surat Al-Zalzalah ayat ke-4 dan 5 kata ‘mewahyukan’ juga bermakna ‘memerintahkan’: Yaumaidzin tuhadditsu akhbaraha,  bi-anna Rabbaka awha laha. Yang artinya: “Pada hari bumi mengabarkan berita-beritanya. Karena sungguh Tuhanmu telah mewahyukan (memerintahkan) hal itu kepadanya.”

Ayat menyebut gunung-gunung dan pohon-pohon sebagai sarang alami lebah. Sarang-sarang itu diburu oleh para pengumpul madu yang memanjat pohon-pohon tinggi semisal yang terdapat di hutan-hutan tropis Riau, Sumatera. Atau, di celah-celah gunung di mana koloni-koloni lebah hidup dalam jumlah besar, seperti yang terdapat di Nepal. Ada pula lebah yang dipelihara dengan sengaja oleh manusia di penggembalaan lebah. Stup (sarang buatan untuk lebah) itu ditempatkan di dekat perkebunan atau kumpulan pohon berbunga, seperti mangga, rambutan, randu, kopi, klengkeng, karet dan aneka bunga (multiflora). Sehingga, madu yang dihasilkan memiliki aroma bunga asalnya.

Dalam Surat Al-Hajj ayat ke-18 disebutkan bahwa pohon-pohon juga bersujud kepada Allah: “Tidakkah engkah lihat telah bersujud kepada Allah semua yang ada di langit dan yang ada di bumi? Dan matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, hewan-hewan melata serta banyak dari manusia? Akan tetapi banyak pula (manusia) yang pantas mendapatkan azab. Siapa yang dihinakan Allah, maka tidak ada yang sanggup memuliakannya. Sungguh Allah berbuat apa yang Ia kehendaki.

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa yang dimaksud ‘mereka yang ada di langit’ adalah para malaikat di segenap penjuru langit. Sedangkan yang dimaksud ‘yang ada di bumi’ adalah semua makhluk hidup termasuk manusia, jin, hewan melata dan bangsa burung. Semua makhluk ini bertasbih dengan memuji-Nya. Dan bahwa sujudnya gunung dan pohon ialah dengan condongnya bayang-bayang mereka ke kanan dan ke kiri.

Di dalam Surat Luqman ayat ke-31 Allah menyebut perumpamaan yang lebih dahsyat lagi: “Andai pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tintanya), kemudian ditambah 7 lautan lagi niscaya takkan habis kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa Maha Bijaksana.

Berapa juta pohon yang ada di bumi? Dan berapa luas dan dalamnya samudera di planet ini? Jika pohon itu adalah pena dan air laut menjadi tinta, takkan habis ditulis kalimat-kalimat Allah.  

Penyebutan kata ‘tujuh’ lautan adalah semacam majas hiperbola (muballaghah), semata untuk menunjukkan betapa banyaknya, bukan pembatasan jumlah. Karena meskipun ditambah 7 lautan lagi, kemudian ditambah lagi semisalnya, terus menerus seperti itu, takkan habis kalimat Allah.

Menurut Hasan Al-Bashri, makna kalimat Allah adalah perintah Allah. Sedangkan menurut Qatadah, kalimat Allah itu bermakna: keajaiban, hikmah, ciptaan dan ilmu-Nya. 

Pohon Lain sebagai Pengingat

Adapun pohon yang dilaknat dalam Al-Qur`an sebagaimana tersebut dalam Surat Al-Isra ayat ke-60 tidak lain adalah ‘pohon zaqqum’. Allah berfirman, “Dan ingatlah ketika Kami wahyukan kepadamu, ‘Sungguh, (ilmu) Tuhanmu meliputi seluruh manusia.’ Dan tidaklah Kami jadikan ar-ru’ya (penampakan) yang Kami perlihatkan kepadamu melainkan sebagai ujian bagi manusia dan demikian pula pohon yang terlaknat dalam Al-Qur`an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, akan tetapi hal itu hanyalah menambah kedurhakaan mereka.”

Yang dimaksud dengan ‘penampakan yang diperlihatkan Allah kepada Nabi Muhammad’ pada ayat di atas adalah apa yang beliau saksikan di malam Isra’. 

Tampaknya ada salah terjemah terhadap kata ‘ar-ru’ya’ dari ayat di atas yang diartikan sebagai ‘mimpi’ dalam sejumlah terjemahan. Sebab, mayoritas ahli tafsir, sebagaimana dikatakan Syaikh As-Sa’dy, menafsirkan kata ‘ar-ru’ya’ di situ sebagai apa yang Nabi Muhammad saksikan di malam beliau di-isra’-kan. Secara langsung dalam keadaan sadar (terjaga). Jadi tidak tepat jika diterjemahkan dengan kata ‘mimpi’. 

Meski terkadang kata ar-ru’ya memang berarti ‘mimpi’ seperti saat Allah berfirman kepada Ibrahim: Ya Ibrahim, qad shaddaqta ar-ru’ya “Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpimu!” 

Sedangkan penyebutan pohon zaqqum kita dapati di tempat lain, yaitu di Surat Ash-Shaffat ayat ke-62 sampai dengan 64: “Apakah (makanan surga) itu hidangan yang lebih baik ataukah pohon zaqqum? Sungguh, Kami menjadikannya (pohon zaqqum itu) sebagai azab bagi orang-orang zalim. Sungguh, ia adalah pohon yang keluar dari dasar neraka Jahim. Mayangnya seperti kepala-kepala setan. Sungguh, mereka benar-benar akan memakan sebagian darinya (buah pohon itu), dan mereka penuhi perut mereka dengan buahnya (zaqqum).

Dalam Surat Ad-Dukhan ayat ke-43 sampai dengan 46, terdapat keterangan lain tentang pohon zaqqum: “Sungguh pohon zaqqum itu makanan bagi orang yang banyak berbuat dosa (maksiat). Seperti cairan tembaga yang mendidih di dalam perut, seperti mendidihnya air yang sangat panas.

Penduduk neraka terpaksa memakannya karena mereka sangat lapar dan tidak ada makanan lain di neraka selain buah dari pohon itu. 

Kemudian sesungguhnya kamu, wahai orang-orang yang sesat lagi mendustakan! Pasti akan memakan pohon zaqqum, akan kamu penuhi perutmu dengannya.” (Surat Al-Waqiah ayat ke-51-53)

Mengutip tulisan Ustadz Ammi Nur Baits, nama pohon zaqqum ini tidak pernah didengar oleh musyrikin Arab sebelumnya. Kata ‘zaqqum’ berasal dari kata ‘azqama’ yang berarti ‘menelan’. Deskripsinya adalah sebagaimana diterangkan ayat-ayat di atas: mayangnya seperti kepala setan, luar biasa panas, dan menghancurkan isi perut. Sangat buruk dari segi bentuk, rasa dan aroma. 

Wajar saja jika yang tumbuh dari dasar neraka itu adalah pohon yang buruk, busuk dan membakar. Neraka menyala dengan dibakarnya batu-batu, manusia, dan setan-setan. Pepohonan tumbuh menurut bahan-bahan yang menjadi lahan bagi tumbuhnya akar dan bebatangnya. 

Di surat Al-Ghasiyah disebutkan: Laisa lahum tha-a-mun illa min dhari’. Tidak ada makanan yang tersedia bagi ahli neraka kecuali pohon dhari’. La yusminu wala yughni min juu’. Tidak menggemukkan dan tidak pula menuntaskan rasa lapar.

Menurut Said bin Jubair, dhari’ adalah nama lain dari zaqqum. Ulama yang lain memberi tafsiran yang beragam tentang apa itu dhari’, sebagaimana termuat di dalam Tafsir Ibnu Katsir. Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Abul Jauza dan Qatadah berkata: pohon syibriq. 

Kata Ikrimah: pohon itu tumbuh di tanah, berduri dan tidak bercabang.

Kata Mujahid, dhari’ adalah tumbuhan yang disebut orang Hijaz sebagai syibriq, jika mengering disebut dhari’ dan mengandung racun. 

Senada dengan Mujahid, Qatadah mengatakan bahwa syibriq adalah tumbuhan yang oleh orang Quraisy di musim semi disebut syibriq, sedangkan di musim panas disebut dhari’. Ia adalah pohon syibriq yang jika mengering disebut dhari’. Dhari’ itu, masih menurut Qatadah, adalah makanan paling buruk, jelek dan busuk.

Allah Azza Wa Jalla menceritakan gambaran siksa di neraka dengan tumbuhan dan pepohonannya yang buruk kepada manusia agar mereka merasa takut dan memilih jalan hidup sebagai orang mukmin yang taat. Akan tetapi, kabar ini malah diingkari oleh sebagian orang. Mereka tidak percaya kehidupan setelah kematian, menganggap surga sebagai dongengan dan neraka sebagai khayalan. Mereka mengingkari wahyu, kenabian dan meragukan keberadaan Allah, peran-Nya dalam kehidupan serta kebenaran kalam-Nya; lebih percaya pada yang indrawi dan mengandalkan rasionalitasnya yang serba dangkal dan terbatas. Kita memohon kepada Allah keselamatan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat.

Wallahu a’lam bis shawab.

Editor: Rizki Aji

Referensi:

  • Tafsir Al-Quranul Azhim karya Ibnu Katsir
  • Taysir Al-Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, karya Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy
  • https://konsultasisyariah.com/25484-apa-itu-pohon-zaqqum.html

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *