Kedewasaan yang Matang (Balagha Asyuddahu)

Kedewasaan merupakan puncak dari seluruh tahapan usia yang dijalani manusia. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi keterangan yang presisi tentang pengertian ‘dewasa’ itu sendiri, yakni: (1) akil balig; (2) telah mencapai kematangan kelamin; (3) matang (tentang pikiran, pandangan, dan sebagainya).

Kedewasaan merupakan tema yang masih relevan pada isu pendidikan. Banyak anak-anak kita yang telah ‘balig’ secara fisik -sudah mimpi basah bagi laki-laki dan menstruasi bagi anak perempuan- namun belum mencapai ‘akil’ secara pikiran, pandangan serta mental. Akibatnya, kadang kala kita temukan tindakan dan perilaku mereka menyimpang dan kerap menimbulkan masalah-masalah sosial. Secara khusus, masalah sosial yang ditimbulkan adalah masalah-masalah yang ada kaitannya dengan kematangan kelamin seperti perzinaan, hamil sebelum nikah, LGBT, dan yang semisalnya.

Di dalam Al-Qur`an, terdapat sejumlah istilah yang mewakili kedewasaan dalam artian fisik (puberty) misalnya istilah balagha al-huluma atau al-hulum, balaghun nikah (usia sanggup nikah) atau balagha as-sa’ya (usia sanggup bekerja).

Sedangkan kedewasaan dalam arti kematangan psikis (maturity) diwakili oleh frasa balagha asyuddahu (secara harfiah berarti: telah sampai pada puncak kekuatannya). Frasa ini bisa ditemukan di 8 (delapan) tempat dalam Al-Qur`an, kadang dengan lafal balagha asyuddahu atau yablugha asyuddahu,  yablugha asyuddahuma atau litablughu asyuddakum. 

Kosakata lain yang setara dengan asyiddah  adalah ‘kuhulah’ yang juga diartikan sebagai masa dewasa. Dalam Al-Qur`an kata ini hanya dijumpai di dua tempat yaitu Surat Ali Imran ayat ke-46 dan Surat Al-Maidah ayat ke-110 dalam bentuk mashdar

Mengapa penting bagi kita untuk memahami tahapan usia dari sudut pandang Islam dan juga ilmu jiwa (psikologi) sebagai pelengkap? Pertama, untuk memahami kebutuhan-kebutuhan mental yang semestinya dipenuhi di setiap tahapan. Dan yang kedua, menggunakan pemahaman itu dalam kerangka rekayasa pendidikan, formal dan/atau informal.

Dalam Surat Al-An’am ayat 152, Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun dia kerabat(mu) dan penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu ingat.”

Menurut Syaikh As-Sa’dy, balagha asyuddahu dalam konteks ayat ini adalah dia balig dan cerdas (rusyd) serta mengerti cara mengatur harta. 

Ayat tersebut berbicara perihal pengasuhan anak yatim. Harta anak yatim hendaknya dikelola oleh walinya sampai si yatim balig dan sanggup mengelola hartanya sendiri. Manakala si yatim sudah bisa mengatur hartanya, maka harta yang tadinya dipegang oleh walinya harus dilimpahkan kepada anak tersebut. Setelah itu si yatim bisa ‘dilepas’ karena sudah bisa mengelola hartanya untuk survive dan hidup secara mandiri. Dan, kemandirian merupakan ciri orang yang telah dewasa.

Hal senada terdapat dalam Surat Al-Isra ayat 34 dan Surat Al-Kahfi ayat 82. Sampai di sini kita sudah menyinggung tiga ayat tentang balagha asyuddah.

Di Surat Al-Hajj ayat 5 dan Ghafir ayat 67 frasa yang digunakan adalah ‘litab-lughu  asyuddakum’ yang artinya: agar kalian mencapai kedewasaan kalian. Dua ayat ini berbicara tentang tiga tahapan usia manusia: dari anak-anak menjadi orang dewasa kemudian menjadi tua renta.  Kedua ayat ini sejajar dengan Surat Ar-Rum ayat 54 yang menyatakan bahwa tahapan usia manusia berlangsung dalam tiga fase: lahir dalam keadaan sangat lemah, kemudian menguat, kemudian melemah lagi. 

“Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa.”

Ulama tafsir berbeda pendapat tentang kapan manusia itu mencapai syiddah (puncak kekuatan). Mujahid berpendapat 33 tahun. Menurut Ibnu Abbas antara 33 hingga 37 tahun. Menurut Ad-Dhahhak 20 tahun. Menurut Al-Hasan Al-Bashri 40 tahun. Menurut Ikrimah 25 tahun. Sedangkan menurut As-Suddi 30 tahun.

Syaikh As-Sa’dy tampaknya menguatkan pendapat yang menyatakan syiddah itu adalah usia 40 tahun, karena umumnya memang demikian. Juga selaras dengan firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Ahqaf ayat 15: 

“…Sehingga apabila dia telah dewasa (balagha asyuddahu) dan umurnya mencapai empat puluh tahun dia berdoa, ‘Wahai Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang muslim.’”

Kata Ibnu Katsir, “Dalam ayat ini terdapat bimbingan bagi orang yang telah mencapai usia 40 tahun agar memperbarui taubat dan inabah-nya kepada Allah Azza Wa Jalla, dan agar ia bersungguh-sungguh untuk itu.”

Perbedaan Yusuf dan Musa Alaihimassalam dalam Fase Kedewasaan

وَلَمَّا بَلَغَ اَشُدَّهٗٓ اٰتَيْنٰهُ حُكْمًا وَّعِلْمًا ۗوَكَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ

“Dan ketika dia telah cukup dewasa Kami berikan kepadanya kekuasaan dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”

وَلَمَّا بَلَغَ اَشُدَّهٗ وَاسْتَوٰىٓ اٰتَيْنٰهُ حُكْمًا وَّعِلْمًاۗ وَكَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ

“Dan setelah dia (Musa) dewasa dan tumbuh besar, Kami anugerahkan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Surat Al-Qasas ayat 14)

Menurut para ulama, Yusuf dan Musa alaihimassalam diberikan kekuasaan, kenabian dan ilmu pada saat keduanya mencapai usia yang matang yakni antara 33 tahun atau 40 tahun. 

Ada yang menarik di sini bahwa Yusuf alaihissalam dalam ayat tersebut hanya disifati dengan balagha asyuddahu sedangkan Musa alaihissalam ada tambahan balagha asyuddahu wastawaa. Mengapa ada tambahan kata istiwaa secara harfiah (meninggi)?

Menurut Syaikh Ibnu Asyur secara makna: al-asyudd adalah bentuk jamak dari syiddah yang bermakna al-quwwah kemudian ia diperlakukan seperti layaknya kata tunggal. Sedangkan istawaa bermakna ‘sempurnanya bentuk’ seperti dalam firman Allah tentang tunas tanaman di Surat Al-Fath ayat 29: fastaghlazha fastawaa ala suuqihi yang berarti: lalu menjadi besar dan tumbuh sempurna di atas batangnya.

Musa disifati tinggi dan kuat, sedangkan Yusuf tidak demikian. Karena Musa adalah seorang laki-laki yang tinggi besar sebagaimana disebut dalam hadis. Ia pernah memukul mati orang Qibthi. Memperkuat pernyataan Syaikh Ibnu Asyur di atas adalah pernyataan Mujahid, Ibnu Abbas dan Qatadah bahwa al-asyudd adalah 33 tahun sedangkan istiwaa 40 tahun. Demikian dinukil dari Tafsir Al-Baghawi, Tafsir Al-Qurthubi dan Tafsir Al-Alusiy.

Wallahu a’lam.

Editor: Muhammad Maulana Ridwan

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *