Peran Sosial Media Influencer dalam Pembentukan Identitas dan Perilaku Remaja (Bag. 2)

Pada pembahasan sebelumnya, kita telah membahas siapa itu sosial media influencer, siapa itu remaja dan fase perkembanganya serta bagaimana kehadiran sosial media influencer terhadap para remaja. Sempat disinggung pula fakta-fakta ilmiah terkait dampak-dampak dari paparan sosial media influencer terhadap perilaku remaja dan bagaimana cara sosial media influencer mempengaruhi para penontonnya. Di kesempatan kali ini, penulis akan mengulas lagi terkait sosial media influencer dan para remaja dari sisi bagaimana sosial media influencer bekerja dalam pembentukan identitas remaja dan juga bagaimana dampak sosial media influencer terhadap pembentukan identitas remaja dengan hasil-hasil penelitian yang relevan.

Cara Sosial media Influencer Dalam Mempengaruhi Penonton

Dalam memengaruhi remaja, sosial media influencer hadir dan memberikan rasa kedekatan dengan para pengikut yang setia menonton. Gerakan tubuh, ekspresi wajah, serta intonasi para sosial media influencer gunakan memungkinkan para penonton dapat memahami yang dimaksudkan serta apa yang dirasakan oleh sosial media influencer (Scolari & Fraticelli, 2017).  Disisi lain, para sosial media influencer mengemas konten mereka dengan kesan ketulusan dan kejujuran yang disampaikan sehingga membuat para penontonnya merasa dekat. Ini sejalan dengan pendapat (Jerslev, 2016) yang menyampaikan bahwa para sosial media influencer menciptakan kesan jujur pada konten mereka mengenai kehidupan pribadi mereka, seperti hubungan mereka, kamar tidur mereka, bahkan pengakuan kesalahan, kejahatan, dan dosa, yang memungkinkan mereka untuk menyampaikan perasaan mereka.

Cara Sosial media Influencer Dalam Membentuk Identitas Remaja

Hadirnya sosial media influencer di di tengah para remaja menjadi hal yang lumrah dan merupakan konsumsi rutin setiap harinya. Chau (2010) menekankan bahwa perasaan yang dibawa oleh para sosial media influencer dengan menghadirkan perasaan koneksi sosial menjadi salah satu aspek penting bagi remaja. Hal yang membuat keyakinan para remaja terhadap para sosial media influencer adalah adanya fungsi emosional yang kuat melalui cara sosial media influencer menyampaikan pesan lewat unggahannya, dan bagaimana cara mereka menyusun narasi yang disampaikan.  Pada akhirnya para remaja merasa lebih dekat dengan kehadiran sosial media influencer. Secara tidak langsung, koneksi antara sosial media influencer dan remaja yang menyaksikan telah terbangun dan menghadirkan rasa kedekatan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Google, 60% remaja berpikir bahwa Youtubers adalah orang yang lebih baik daripada teman-teman mereka (O’Neil-Hart & Blumenstein, 2016). Hal ini juga berlaku untuk para sosial media influencer yang dimana hampir setiap sosial media influencer juga merupakan Youtubers.

Fakta bahwa banyaknya sosial media influencer yang sukses dan terkenal adalah para anak-anak muda, membuat para para sosial media influencer dapat dengan mudah menganalisis hubungan atau keterikatan mereka dengan para remaja (Westenberg, 2016), karena mereka dapat menjadi panutan melalui mekanisme identifikasi dan kagum (yaitu: fungsi sosialisasi).  Kehadiran para sosial media influencer tidak seperti saat masa jaya artis-artis di televisi (walaupun saat ini beberapa artis juga merupakan sosial media influencer), para remaja biasanya tidak membandingkan atau menyandingkan kehidupan mereka dengan para artis. Namun, hadirnya sosial media influencer yang telah membangun koneksi dan kedekatan membuat para remaja menjadikan para sosial media influencer panutan. Para penggemar menyatakan bahwa mereka merasa penting untuk menyandingkan seberapa mirip mereka dengan YouTubers dan bahwa mereka suka dengan gagasan akan fase-fase yang sama dalam kehidupan seperti yang dilakukan YouTubers. Bersama dengan perasaan-perasaan ini, para penonton mengidentifikasi diri mereka melalui YouTubers (Berryman & Kavka, 2017).

Dampak Sosial media Influencer Terhadap Pembentukan Identitas dan Perilaku Remaja

Selama masa remaja, meskipun kepribadian sudah mulai relatif stabil namun biasanya masih cenderung dapat berubah-ubah. Penelitian yang menggunakan Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) yang melibatkan ribuan subjek menunjukkan bahwa sementara kepribadian cenderung stabil pada usia 30 tahun, kedisiplinan diri lebih umum terjadi pada mereka yang berusia di atas 30 tahun, sementara pencarian sensasi lebih umum terjadi pada mereka yang berusia di bawah 30 tahun (Solomon, 2020). Oleh karenanya, ini membuat remaja lebih rentan terhadap pengaruh online, dan karena remaja saat ini lahir di era digital mereka juga lebih cenderung memiliki pengalaman online, bahkan biasanya dapat ditemukan jumlah remaja yang lebih banyak mengikuti influencer dan bahkan menjadi influencer sendiri.

Para sosial media influencer biasanya memahami apa yang saat ini dibutuhkan oleh remaja dan tren yang saat ini digandrungi oleh remaja, namun terdapat dampak yang cukup buruk terhadap pembentukan identitas remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Saidel (2017) dan Turkle (2015), menunjukan bahwa ada banyak pengguna sosial media yang menunjukan gejala depresi dan kecemasan. Hal ini diperparah dengan kenyataan saat ini bahwa seringkali ditemukan informasi yang salah atau kurang tepat di internet mengenai penyebab dan cara yang paling efektif untuk mengatasi masalah tersebut, dan potensi kecanduan penggunaan jaringan sosial dapat membawa pengguna ke situasi kerentanan psikologis.

Sebuah penelitian yang telah dilakukan di Departemen Psikologi di Universitas Pennsylvania (AS) pada bulan November 2018, dengan sampel 143 mahasiswa. Hasil menunjukan bahwa saat mereka mengurangi waktu yang digunakan untuk berselancar di sosial media, adanya penurunan signifikan pada depresi dan kesepian (Hunt, et.al., 2018). Kehadiran sosial media influencer di sosial media ini menjadikan para remaja membuat perbandingan antara kehidupan mereka dengan kehidupan sosial media influencer yang menyebabkan mereka berfokus pada kehidupan yang dimanipulasi oleh sosial media influencer daripada fokus pada kehidupan nyata mereka.

Terkait dengan rasa syukur dan rasa ketidaknyamanan pada penampilan, sebuah studi yang dilakukan oleh York College di Kanada dengan sampel 143 mahasiswi menunjukan bahwa para remaja perempuan yang diminta untuk memantau postingan seseorang sosial media influencer secara signifikan mengalami penurunan tingkat harga diri mereka dalam waktu yang singkat (Hogue & Mills, 2018). Hal ini terjadi karena pengguna percaya pada realitas yang tampaknya sempurna yang digambarkan oleh sosial media influencer. Lebih dalam lagi, Para wanita muda ini merasa tidak puas dengan tubuh mereka dan “merasa lebih buruk akan penampilan mereka sendiri setelah melihat halaman sosial media seseorang yang mereka anggap lebih menarik dari mereka” (Hogue & Mills, 2018).

Mengenai kebiasaan meminum alkohol dan minuman keras, penelitian terbaru yang difokuskan pada remaja dan dewasa muda menemukan bahwa sosial media influencer mempromosikan konten terkait alkohol dan minuman keras, baik dengan mensponsori merek tertentu maupun sebagai promosi gaya hidup tertentu (Curtis et al., 2018). Penelitian ini menilai interaksi antara keterlibatan sosial media remaja/dewasa muda terkait alkohol dan perilaku serta masalah minum mereka (Curtis et al., 2018). Saat ini para sosial media influencer yang digandrungi para remaja juga merupakan tokoh atau panutan mereka yang memungkinkan dijadikan percontohan oleh para remaja. Keadaan ini diperkuat oleh Teori Bandura (2001) yang menyebutkan bahwa Prinsip pembelajaran sosial menyatakan bahwa semakin anak-anak menyukai seorang karakter, semakin mungkin mereka meniru perilakunya, misalnya, seorang pengaruh sosial media. Paparan sosial media influencer sebagai seorang yang berpengaruh, yang mempromosikan komoditas makanan atau mengiklankan pola makan atau minuman tertentu akan mendorong kebiasaan ini pada remaja.

Pengaruh sosial media influencer ini memiliki ribuan hingga jutaan pengikut, yang menyebabkan sejumlah besar remaja yang terpapar dengan postingan terkait alkohol, menjadi rentan mengikuti para sosial media influencer dalam meminum alkohol. Karena sebagian besar pengaruh ini adalah pengaruh gaya hidup, dapat disimpulkan bahwa mereka mempromosikan alkohol sebagai bagian dari gaya hidup mereka, oleh karena itu mempopulerkan perilaku minum alkohol, terutama di kalangan remaja. Jenis pengaruh negatif seperti ini yang disebarkan oleh sosial media influencer hanyalah salah satu contoh kecil.

Dalam hal identitas gender, sosial media influencer yang hadir untuk para remaja dalam memahami kesulitan yang dihadapi mereka dengan  cara mengintegrasikan konsep diri yang dimiliki sosial media influencer  ke dalam konten yang dibawakan dalam membentuk identitas vokasional dan gender. Saat berbagi skenario ini, mereka mendorong remaja untuk menjelajahi identitas mereka sendiri dan mencari pengalaman mereka sendiri (Pérez-Torres et al., 2018). Terutama dalam hal identitas dan orientasi gender, remaja mendapatkan beberapa jawaban atas pertanyaan dengan mengikuti video di konten para sosial media influencer yang berada dalam komunitas LBGTQ, seperti bagaimana mereka mengungkap identitas gender, kepada siapa mereka membagikannya, atau dari siapa mereka mendapatkan dukungan. Remaja juga dapat mengajukan pertanyaan kepada sosial media influencer tentang pengalaman mereka dan dapat berinteraksi langsung. Sosial media influencer dengan identitas gay atau lesbian mereka, sosial media influencer gay terkenal menjadikan diri mereka sebagai panutan bagi gay dan lesbian muda dalam video mereka (Lovelock, 2016). Ini bukan hanya tanda pengenal untuk LBGTQ, para sosial media influencer perempuan juga memiliki pengaruh terhadap pembentukan identitas seksual dan gender remaja perempuan. Dengan demikian, sosial media influencer perempuan terus menulis ulang model kewanitaan yang mereka bawakan (Ando, 2016).

Penggunaan sosial media dan hadirnya sosial media influencer menjadi hal yang sudah tidak bisa ditolak lagi, meskipun kehadirannya membawa manfaat antara lain pada bidang pemasaran, pendidikan, arus informasi, serta kemajuan teknologi lainnya tetap saja keterbukaan informasi ini membawa pengaruh ke arah negatif bagi remaja yang sedang berada pada fase pencarian jati diri atau identitasnya. Para psikolog telah mengingatkan akan dampak negatif yang ditimbulkan oleh sosial media terhadap para remaja, terutama terkait ketenaran yang didapatkan secara instan dan pengaruh-pengaruh buruk lainnya (Frontiers in Psychology, 2020). Adanya suguhan gaya hidup ala  sosial media influencer bisa memicu terjadinya krisis identitas para remaja. Kebanyakan remaja mengalami krisis identitas karena kesulitan menyadari siapa dirinya sesungguhnya. Selain krisis identitas, adanya perilaku-perilaku yang melanggar norma-norma budaya dan agama juga dapat terjadi akibat peniruan terhadap sosial media influencer yang dilakukan oleh para remaja.

Jika dilihat dari status pembentukan identitas, remaja yang menyalahi norma kemungkinan besar berada dalam diffusion status atau suatu keadaan dimana remaja kehilangan arah, tidak melakukan eksplorasi, dan tidak memiliki komitmen terhadap peran-peran tertentu, sehingga tidak dapat menentukan identitas dirinya (Hidayah,2016). Dalam mencegah terjadinya krisis identitas lebih lanjut pada remaja, tidak bisa serta merta memblokir ataupun mematikan akses ke sosial media. Diperlukan peran orang tua yang terutama dalam pengawasan dan pendampingan akan penggunaan gadget serta kehidupan para remaja di sosial media. Diperlukan juga peran Lembaga-lembaga Pendidikan yang mendidik para remaja dalam mencegah, mengawasi dan memberikan edukasi terkait sosial media dan juga konten yang ada di dalamnya. Dengan kehadiran sosok percontohan yang layak di tengah para remaja, hal ini dapat memberikan dampak positif akan pembentukan identitas dan jati diri para remaja.

Editor: Fajrin Dzul Fadhlil

Referensi:

  • Bandura, A. (2001). Social cognitive theory of mass communications. Media Effects: Advances in Theory and Research, 121–153.
  • Frontiers in Psychology, W. (2020). https://www.frontiersin.org/. https://www.frontiersin.org/researchtopics/9295/the-role-of-social-media-influencers-in-the-lives-of-children-and-adolescents#articles
  • Fuhrman, W., & Wehner, E. (1992). Toward a Theory of Adolescent Romantic Relationship. Personal Relationships During Adolescence.
  • Jerslev, A. (2016). In the time of the microcelebrity: Celebrification and the youtuber Zoella. International Journal of Communication, 10, 5233–5251.
  • O’Neil-Hart, C., & Blumenstein, H. (2016, July). Why youtube stars are more influential than traditional celebrities. Retrieved from https://www.thinkwithgoogle.com/consumer-insights/youtube-stars-influence/.
  • Scolari, C., & Fraticelli, D. (2017). The case of the top Spanish YouTubers. Emerging media subjects and discourse practices in the new media ecology. Convergence: The International Journal of Research into New Media Technologies, 1-20.

 

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *