Multikulturalisme dalam Perspektif Sejarah Indonesia

Dalam periode sejarah Indonesia, nama Soekarno dan Hatta sudah tidak asing lagi. Bapak proklamator bangsa atau The Founding Fathers Indonesia banyak memberi sumbangsih pemikiran untuk membangun bangsa. Pemikiran-pemikiran yang brilian dari kedua tokoh tersebut tidak lepas dari pengaruh latar belakang keduanya yang berbeda. Perdebaan tersebut bukan hanya datang karena faktor keluarga saja, namun juga latar belakang pendidikan, organisasi, etnis, kebudayaan dan lain sebagainya yang dapat berpotesi memunculkan terjadinya konflik dan perbedaan pendapat antar keduanya. Soekarno lahir pada tanggal 6 Juni 1901 di Surabaya besar di keluarga Jawa dengan latar pendidikan dalam negeri yang cenderung radikal terhadap tekanan penjajah, sedangkan Mohammad Hatta seorang tokoh kelahiran Bukittinggi 12 Agustus 1902 dan besar di keluarga Minang yang serat akan Pendidikan Islam yang kental, memiliki latar pendidikan luar negeri yang mana berpendapat bahwa pendidikan dan kaderisasi yang mampu memajukan bangsa.

Kedua tokoh bangsa tersebut pernah terlibat dalam konflik maupun perdebatan. Konflik dan perdebatan antaraekeduanya telah terjadi lama sebelum Indonesia merdeka, puncaknya ketika mereka tidak sepaham mengenai keinginan Soekarno mengantian sistem dari parlementer menjadi terpimpin. Ketidaksepahaman tersebut membuat Hatta mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Namun walapun tidak berada dalam pemerintahan, Hatta tetap menulis kritik-kritik tajam mengenai kepemimpinan Soekarno.

Hal yang menarik di tengah perbedaan antara mereka ialah hadirnya secuil kisah persahabatan keduanya. Bagi dwitunggal, Soekarno dan Moh. Hatta, politik merupakan cara untuk mewujudkan idealisme masing-masing. Perbedaan pandangan politik ini membuat keduanya sering kali berdebat bahkan hingga keduanya sudah tidak muda lagi, walaupun sering berkonflik dan mengalami berdebatan dalam kehidupan bernegara tetapi hubungan pribadi dan keluarga kedua pendiri bangsa ini tetap baik dan hangat. Salah satu kisah manis persahabatan mereka yaitu ketika Guntur Soekarno Putra ingin mengelar pernikahan dan kebingungan mencari wali nikahnya dikarenakan Soekarno pada masa itu dalam kondisi yang kurang baik sehingga berhalangan hadir. Guntur yang meminta pendapat bapaknya akan siapa wali yang cocok untuk pernikahannya, kemudian Soekarno merekomendasikan Hatta. Guntur yang mengetahui konflik yang terjadi antara kedua proklamator tersebut memberanikan diri untuk meminta kesediaan Hatta, tanpa banyak basa basi Hatta langsung mengiyakan permintaan Guntur. Ada lagi kisah lain, ketika tidak lagi menjabat sebagai wakil presiden beberapa kali Hatta melakukan kunjungan ke luar negeri. Disana Hatta banyak berbincang dan menemui teman lama dari negara lain, beberapa temannya yang mengetahui konflik Soekarno dan Hatta mencoba menjatuhkan Soekarno, kala itu mereka beranggapan bahwa hal tersebut akan mendapat dukungan dari Hatta yang sedang berkonflik dengan Soekarno. Namun disana Hatta membela Soekarno dengan mengatakan bahwa Soekarno merupakan pemimpin negara yang harus dihormati.

Dari kisah persahabatan keduanya, menarik untuk dikaji bahwa persahabatan Soekarno dan Hatta ini memberikan pelajaran bagi penerusnya, baik dikalangan rakyat maupun elit pemerintah saat ini. Soekarno dan Hatta mengajarkan bahwa perbedaan akan selalu ada baik itu antar individu dengan individu, individu dengan kelompok ataupun kelompok dengan kelompok. Untuk hidup pada masyarakat Indonesia yang multikultural, memisahkan antara kepentingan bersama dan sentimen pribadi sangat diperlukan untuk meminimalisir konflik pribadi yang berujung kepada sentimen kelompok.

Asas kekeluargaan Soekarno dan Hatta yang terbentuk sejak masa perjuangan merebut kemerdekaan ini yang menjadi akar penguat persatuan walaupun banyak perbedaan diantara mereka. Bangsa Indonesia yang besar dan beragama ini memiliki latarbelakang historis yang sama dimana memiliki rasa senasib dan sepenangungan. Hal ini tidak selaras dengan pandangan John Stuart Mill yang mengatakan bahwa “jika tidak ada pemilu dan bahasa yang sama tidak mungkin ada suatu keadaban“, hal yang dikatakan Mill tidak berlaku di Indonesia. Keadaban di Indonesia dilatarbelakangi oleh nasib seperjuangan yang sama karena bertahun-tahun dibelenggung di bawah penjajahan sehingga menciptakan asas kekeluargaan yang mengakar.

Untuk membandingkannya mari lihat pola kemerdekaan Amerika Serikat dan Indonesia yang sama-sama merupakan negara majemuk. Saat terjadi peristiwa Declaration of Independence di Negara Federasi Amerika Serikat ada tiga belas negara bagian yang turut menandatangani deklarasi tersebut, sedangkan di Indonesia teks proklamasi kemerdekaan dipercayakan kepada Soekarno dan Hatta untuk ditandatangani dengan atas nama bangsa Indonesia. Kepercayaan yang diberikan rakyat Indonesia kepada Soekarno dan Hatta ini mengungkap bahwa perjuangan rakyat untuk merebut kemerdekaan bukanlah perjuangan sendiri-sendiri, melainkan gotong royong dari Sabang hingga Marauke. Maka dari itu bangsa Indonesia tidak perlu setiap perwakilan daerah untuk menandatangani teks proklamasi kemerdekaan namun peran Soekarno dan Hatta menjadi manifestasi persatuan bangsa Indonesia.

Multikulturalisme Bangsa

Dalam pembahasan multikulturalisme sendiri yang berasal dari kata multi yang artinya plural dan kultur yang artinya budaya maka dapat disimpulkan multikultural merupakan keragaman budaya. Wacana multikulturalisme di dunia Barat baru muncul sekitar tahun 1960, namun berbeda dengan di Indonesia. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan pemersatu bangsa lahir sebelum multikulturalisme booming di negara-negara Barat. Para pendiri bangsa mengetahui bahwa keragaman agama, suku dan budaya akan menyebabkan berbagai perbedaan pendapat dan konflik bermunculan, maka dari itu Bhineka Tunggal Ika hadir bukan sekedar sebagai semboyan semata melainkan keteraturan hidup bermasyarakat di Indonesia.

Selanjutnya, pada masa pergerakan nasional diadakan kongres pemuda yang pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia. Ada Jong Java, Jong Sumatra Bond, Jong Ambon, Jong Bataks Bond, Pemuda Kaum Betawi dan lain sebagainya di Batavia. Pada saat itu tokoh bangsa Indonesia menyadari bahwa perlunya sesuatu untuk menyatukan para pemuda dari berbagai daerah Indonesia sebagai identitas nasional, dibuatlah gagasan yang melahirkan sumpah pemuda. Menarik bukan, kesadaran akan persatuan bangsa telah ada sejak Indonesia bahkan belum merdeka. Hal ini yang membedakan multikulturalisme Indonesia dengan negara lain.

Dewasa ini banyak terjadi perpecahan akibat semakin mudahnya informasi hoaks tersebar terutama di media sosial. Kesadaran akan persatuan bangsa dapat terkikis jika masyarakat mudah menelan mentah-mentah berita perpecahan tanpa mencari tahu keabsahannya. Masyarakat perlu belajar dari sejarah bagaimana bangsa yang besar ini bisa terbentuk melalui hasil peleburan ego masing-masing untuk kepentingan bersama, sejarah mencatat dengan sangat baik multikulturalisme tumbuh dalam pergerakan, persiapan hingga mengantarkan pada kemerdekaan Indonesia.

Jauh sebelum teori-teori persatuan muncul dan dicetuskan oleh ahli, pandangan tentang keberagaman kehidupan telah diajarkan dalam Islam, Allah menurunkan Al-Quran sebagai petunjuk yang benar kemudian diutus Rasul yang hak dengan tujuan menyatukan hati-hati manusia dalam tauhid yang lurus.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كَا نَ النَّا سُ اُمَّةً وَّا حِدَةً ۗ فَبَعَثَ اللّٰهُ النَّبِيّٖنَ مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ ۖ وَاَ نْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتٰبَ بِا لْحَـقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّا سِ فِيْمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ فِيْهِ اِلَّا الَّذِيْنَ اُوْتُوْهُ مِنْۢ بَعْدِ مَا جَآءَتْهُمُ الْبَيِّنٰتُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْ ۚ فَهَدَى اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ مِنَ الْحَـقِّ بِاِ ذْنِهٖ ۗ وَا للّٰهُ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَآءُ اِلٰى صِرَا طٍ مُّسْتَقِيْمٍ

“Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang telah diberi (Kitab), setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri. Maka dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah 2:213)

Sebagai muslim, perbedaan tidak akan jadi masalah apabila kita sepakat untuk menjadikan Islam sebagai timbangan dalam menyikapi perbedaan tersebut. Selain itu setiap orang perlu untuk menurunkan ego di tengah perbedaan yang ada di tengah masyarakat sebab tidak semua perbedaan harus direspon dengan cara yang keras, kadang kala perbedaan justru membawa kebaikan serta lebih memberi warna dalam kehidupan.

Editor: Dimas Ronggo

Referensi

  • Dwipantara, Galang Patria dan Nasution. 2014. Jurnal Vol.2 No.1 Dinamika Hubungan Dwitunggal Soekarno Hatta dalam Revolusi Indonesia 1945-1956. Universitas Negeri Surabaya diakses pada 25 Oktober 2020
  • M.F. Mukthi. 2019. Secuil Kisah Persahabatan Sukarno-Hatta. Artikel HistoriA diakses pada 25 Oktober 2020
  • Rauf, Maswadi. 2000. Konsesus dan Konflik Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
  • Tim Buku Tempo. 2010. Seri Bapak Bangsa Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman. Jakarta: Gramedia

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *