Kaum Mendang-Mending Tiada Tanding Tak Tahan Banting

Selain resah terhadap kesehatan jiwa dan minimnya daya juang menghadapi kegagalan. Generasi datang belakangan pun, kerap membandingkan sesuatu, dan menyuarakan secara lantang ke media sosial perihal kegelisahan yang ditangkap secara kasat mata atau selintas dengar saja. Ucapan mendang-mending untuk membandingkan sesuatu menurut akal pikiran singkat dan sederhana generasi belakangan, seakan kian menjadi bukti bahwa gaya hidup instan serta berorientasi pada hasil merupakan satu manifestasi pelabelan generasi itu sendiri.

Terakhir sosial media diramaikan tentang apa yang dilakukan oleh Gubernur Ridwan Kamil saat ingin membangun salah satu masjid di wilayah pemerintahannya. Generasi mendang-mending segera bereaksi memberi komentar serta menyarankan agar lebih baik memperhatikan sektor transportasi dibanding membangun masjid. Mendang-mending juga diperlihatkan pada hal sederhana dan berebut status sosial di sirkel mereka. Misal daripada beli Macbook Pro mending berangkat umroh, daripada beli Janji Jiwa mending beli kopi sachet kalau cuma buat selfie aja, sekalian aja beli Mixue ketimbang Mie Gacoan yang sama-sama halalnya belum dapat, dan deretan kalimat dengan standar kelayakan disematkan mendang-mending kala menarasikannya.

Apa sih sebetulnya yang menjadikan alasan mendang-mending itu muncul dihadapan dan disuarakan secara gaduh oleh generasi belakangan? Setidaknya ada beberapa dugaan munculnya narasi demikian. Pertama, seperti disampaikan di paragraf sebelum, generasi belakangan senantiasa melihat sesuatu berdasarkan hasil bukan proses. Generasi yang menghimpun informasi dari kasus-kasus kegagalan dan tendensi ketidaksukaan atas sesuatu yang sebenarnya menarasikan kemalasan atau keengganan bergerak dalam membuktikan lalu meyakinkan, bahwa setiap proses yang dimiliki setiap orang, tentu punya hasil beragam. Tetapi, bagi kaum mendang-mending, hal ini tak berlaku.

Kedua, generasi belakangan mudah terpengaruh oleh penilaian orang kebanyakan. Apalagi bila suara tersebut muncul dari barisan yang sesungguhnya sakit hati, kecewa, atau terjerumus dalam logical fallacy atas sesuatu. Hal itu makin memperkuat pantulan echo chamber dalam dirinya ketika menjustifikasi kemendang-mendingan tadi.

Ketiga, hadirnya generasi belakangan diiringi dengan keadaan nir-literasi. Upaya-upaya membaca, menelaah sumber, membuka referensi, dan mencari pembanding yang bukan hanya dibangun atas perasaan melainkan nalar berpikir yang baik, semakin pudar. Jangankan untuk membuka referensi lebih jauh di perpustakaan. Generasi mendang-mending ini juga saat mengerjakan tugas akhir perkuliahan, sebut saja skripsi. Lebih banyak melihat skripsi sebelumnya dan mengganti studi kasusnya. Kalau pun ada sedikit usaha, hanya mengubah variabelnya. Tapi semuanya sama teknis pelaksanaannya, menyalin sumber-sumber yang terdapat di Google sesuai kata pencarian dari karya tulis yang akan dibuatnya.

Keempat, generasi mendang-mending hadir dengan minim interaksi nyata. Pengalaman orang lain tak pernah benar-benar didapat secara seksama. Baik dari cerita-cerita hingga mendengar penuh makna. Setiap kali ada generasi di atasnya sedang bercerita, segera dipatahkan melalui asumsi, “yaa itukan dulu”, “nggak bisa sama dong, kemarin sama sekarang..”, “dikiranya masih relate apa obrolan-obrolan kek gitu sekarang ini?” dan bentuk-bentuk penegasan lain bahwa, generasi belakangan menganggap dirinya lebih mandiri dan paling pandai dalam mendapatkan serta mengolah informasi.

Kelima, pengabaian yang dilakukan oleh generasi sebelumnya, alih-alih ketimbang memberikan banyak edukasi. Generasi-generasi sebelum generasi mendang-mending ini seringkali memberikan tekanan dengan sindiran semisal generasi lembek, junior kebanyakan bacot, anak-anak ingusan bermental lemah, dan hal-hal yang justru menyebabkan semakin menganga gap antar generasi sebelum dengan yang hadir belakangan. Sehingga generasi belakangan menganggap anak-anak milenial kebanyakan defensif saat diberi koreksi dan dianggap masukan. Bagi generasi milenial atau di atasnya, terjebak pada superioritas kompleks bahwa si junior-junior ini para pembawa petaka kehancuran. Entah perusahaan, lembaga, organisasi, bahkan bangsa. Tak ayal, saling tunjuk tentang salah, lempar-melempar tanggung jawab soal siapa yang harus melakukan suatu pekerjaan, hingga perhitungan dengan mengungkit masa lalu versus pandangan paling tahu soal masa depan. Semakin seru dan bertabur konflik. Hal-hal ini ranahnya semakin berat saat urusannya pada persoalan-persoalan pribadi. Bukan lagi hubungan organisasi.

Lantas bagaimana menyiasatinya? Harus diselesaikan segera sebelum akhirnya konflik antar generasi tak terus terwarisi. Pertama, mari sama-sama saling melihat kembali bahwa setiap kesuksesan atau keberhasilan dibangun atas usaha dan perencanaan. Generasi belakangan harus diingatkan tentang proses, walau mereka banyak hidup di tengah kemudahan. Hal penting sebagai pengingat kepada generasi belakangan ialah, hasil-hasil kehidupan yang didapat mereka hari ini, adalah ide-ide dari generasi sebelumnya. Adanya pikiran-pikiran serta inovasi dalam mendatangkan kemudahan bagi generasi saat ini serta yang lahir kemudian.

Kedua, pelan-pelan membangun budaya saling memahami. Generasi belakangan belajar untuk lebih banyak melihat keadaan, begitu juga dengan yang datang duluan.upaya-upaya untuk saling memahami bisa dilakukan dengan mengadakan diskusi secara terbuka pada topik tertentu. Misal generasi belakangan lebih suka diskusi melalui media digital semisal medsos yang kini juga menyediakan layanan temu wicara atau tatap muka, generasi hadir duluan sebaiknya tidak serta merta mendiskreditkan fasilitas demikian dengan alasan, “diajak ketemuan aja ogah, boro-boro mau diskusi…” tapi pemahaman tersebut diganti dengan, “bagaimana bila diskusi lewat platform digital yang waktunya lebih luas, saling bertatap wajah sehingga terlihat air muka saat diskusi berjalan…” Sebab, suka atau tidak, diskusi lebih luas topiknya untuk dibicarakan dibanding perang lewat ketikan yang rentan keliru paham.

Ketiga, suportif dan kolaboratif adalah iklim yang harus dihidupkan satu sama lain. Generasi belakangan bisa jadi minim pengalaman, tapi banyak eksplorasi gagasan. Lain hal dengan generasi pendahulunya yang kaya akan pengalaman tapi terbatas untuk apresiasi hal-hal baru yang bisa jadi membuat sesuatu lebih efektif atau efisien. Memberi kesempatan untuk mengaktualisasikan ide dan memberi peluang untuk dikerjakan oleh generasi belakangan, akan menjadi pembelajaran tersendiri bagi mereka. Ini juga menjadi penutup celah dari generasi pendahulunya, bahwa generasi belakangan tak hanya sekadar banyak bicara minim aksi. 

Keempat, ini pasal paling penting. Semendang-mending apapun itu, pisahkan urusan agama dan dunia. Jauhkan terjerumus dari upaya menghadirkan norma agama kala membahas topik demikian. Pembanding-pembanding itu cukup saja pada perkara dunia dan keseharian yang tak ada sangkut-pautnya dengan pendekatan syariat. Terlebih ia tidak pernah tahu kedudukan ilmu yang benar tentang apa yang diujarkan. Olok-olokan itu akan mencelakai dirinya sendiri, terlebih bila hal tersebut diklarifikasi dengan kebenaran, seseorang berbalik arah dengan menyebut bahwa ia bercanda, hanya sebagai kelakar, Cuma main-main saja, maksudnya begini bukan begitu. Hati-hati bila demikian akan bersesuaian dengan firman Allah Ta’ala,

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ . لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema’afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” [at-Taubah/9 : 65-66]

Paling mengerikan lagi, saat mendang-mending yang dilakukan memang sudah menjadi kebiasaan untuk disangkutpautkannya bersamaan nilai agama. Lalu orang banyak mengenalnya dengan karakter demikian, bahkan dirinya dinisbatkan selalu melontarkan candaan bersifat gelap (dark jokes). Bila sudah demikian, sungguh yang bersangkutan perlu mencermati perkataan dari Al Qadhi Iyadh, “Barangsiapa mengucapkan perkataan keji dan kata-kata yang berisi penghinaan terhadap keagungan Allah dan kemuliaanNya, atau melecehkan sebagian dari perkara-perkara yang diagungkan oleh Allah, atau memelesetkan kata-kata untuk makhluk yang sebenarnya hanya layak ditujukan untuk Allah tanpa bermaksud kufur dan melecehkan, atau tanpa sengaja melakukan ilhad (penyimpangan); jika hal itu berulang kali dilakukannya, lantas ia dikenal dengan perbuatan itu sehingga menunjukkan sikapnya yang mempermainkan agama, pelecehannya terhadap kehormatan Allah dan kejahilannya terhadap keagungan dan kebesaranNya, maka tanpa ada keraguan lagi, hukumnya adalah kafir.” Asy Syifaa (II/1092).

Jadi, mendang-mending itu bisa berupa kebaikan selama ditempatkan secara proporsional, dan menjadi tidak etis bahkan tak wajar bila, perkara tersebut digunakan untuk menghakimi tanpa memerinci sebuah kejadian, atau melontarkan argumentasi namun berdampak pada kezaliman. Selama mendang-mending itu ditujukan pada hal bersifat konstruktif, yang dengannya semua orang merasa mendapat manfaat. Tentu hal demikian akan berakhir pada kesan positif. Tentunya mendang-mending itu harus terukur serta berbanding lurus dengan pengetahuan yang dimiliki, syukur jika dibarengi bersama pengalaman.

 

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *