Kemerdekaan Lebih dari Sekadar Bendera dan Lomba-lomba

Ada suatu masa ketika saya melihat teman-teman saya mengunggah status WhatsApp berisi poster peringatan hari tertentu. Ada peringatan Hari Perempuan Sedunia, Hari Pendidikan, Hari Puisi, Hari Buku, dan seterusnya. Tentu saya paham niat baik di balik poster-poster itu. Pastilah mereka berkeinginan supaya peringatan hari tertentu menjadi momentum agar orang-orang memberikan perhatian lebih terhadap apa yang sedang diperingati pada hari itu. Jika itu Hari Pendidikan, misalnya, tentu orang-orang yang mengunggah poster peringatan Hari Pendidikan berharap agar orang-orang yang melihat poster itu jadi teringat akan pendidikan dan lebih peduli terhadap pendidikan ketimbang hari-hari biasa. Apakah menyebarkan poster peringatan hari tertentu bukanlah perilaku terpuji? Jelas saja itu terpuji, mana mungkin kita bilang tidak. Tetapi, selalu ada tetapi dalam soal-soal begini.

Tiga hari yang akan datang rakyat Indonesia akan memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-78 (saya menulis artikel ini pada 14 Agustus 2023). Di gang-gang perumahan dan pelataran rumah bendera merah-putih sudah ramai berkibar. Para pasukan pengibar bendera semakin giat berlatih. Warga di sejumlah daerah malah sudah mengadakan lomba Agustusan jauh sebelum 17 Agustus. Semerbak Hari Raya Kemerdekaan sudah bisa kita cium di mana-mana. Dari tanda-tanda mendekatnya Hari Raya Kemerdekaan, satu yang belum saya temui—tapi saya yakin akan saya temui pada waktunya—adalah poster peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Saya penasaran poster dan twibbon macam apa yang akan beredar di linimasa media sosial saya. Dan yang jauh lebih bikin saya penasaran, apa sebenarnya fungsi nyata upacara, poster, bendera, dan lomba-lomba di Hari Kemerdekaan? Dan apakah perayaan Hari Kemerdekaan hanya sebatas pada hal-hal seremonial semacam itu?

Sebelum pikiran pembaca melayang ke mana-mana, perlu saya garisbawahi di sini bahwa saya bukan hendak melarang orang mengadakan perayaan-perayaan sehubungan dengan Hari Kemerdekaan. Bagaimana mungkin saya melarang orang bersenang-senang dan mengenang peristiwa magis bangsa sendiri semacam Hari Kemerdekaan? Ah, itu terlalu jauh. Yang ingin saya angkat di sini adalah pemaknaan ulang terhadap cara kita merayakan kemerdekaan. Apakah cara kita merayakan Hari Kemerdekaan sudah tepat? Ataukah sebetulnya kita bisa berbuat lebih jauh lagi?

Kembali ke awal soal poster peringatan hari tertentu—termasuk Hari Kemerdekaan. Tindakan semacam itu jelas tidak ada salahnya. Namun, kadangkala kita gampang merasa puas. Jika sudah mengunggah selfie dengan twibbon bertema merah-putih, sebagian dari kita mungkin menganggap kewajiban kita sebagai rakyat yang mencintai negerinya pada Hari Kemerdekaan sudah selesai. Jika sudah memasang bendera merah putih di depan rumah, hati kita merasa puas. Jika menonton upacara bendera yang disiarkan di televisi, kita merasa terharu. Tetapi, lebih daripada itu, apakah sebenarnya manfaat riil dari semua tindak-tanduk itu? Apakah itu semua sudah cukup?

Jawabannya sudah jelas, jauh dari cukup.

Jadi persoalan di sini adalah ketika hal-hal seremonial membuat kita merasa cukup. Padahal hal-hal seremonial sekadar simbol yang tidak membuktikan banyak hal. Sama sekali tak tercela memasang bendera ataupun mengikuti upacara & lomba, tetapi merasa itu semua sudah cukup sebagai bentuk kecintaan kita kepada negeri sendiri di Hari Kemerdekaan, tentu bukan anggapan yang tepat. Kita bisa melakukan lebih banyak lagi. Kita bisa melakukan lebih jauh. Kita bisa melakukan hal-hal yang lebih riil dan jelas gunanya.

Dalam hal ini, momen Hari Kemerdekaan hendaknya juga dapat dijadikan sebagai momen untuk menghidupkan nilai-nilai yang mati di negeri ini. Jika hari ini keadilan menjadi barang langka, kita bisa menjadikan momen Hari Kemerdekaan sebagai waktu untuk menjunjung nilai keadilan, dengan cara memandang orang secara setara, memuji yang layak dipuji—tak peduli apakah ia kawan ataupun lawan—dan mengkritik yang layak dikritik—tak peduli apakah ia punya kuasa atau tidak punya kuasa. Begitu pula jika kemiskinan merebak di mana-mana dan negara belum becus mengatasi kemiskinan sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar, kita bisa sedikit berkontribusi dalam “mengatasi” kemiskinan dengan cara berbagi, entah berbagi dalam bentuk uang, makanan, atau lapangan pekerjaan. Sebab nilai-nilai semacam itulah yang lebih relevan dengan momen Hari Kemerdekaan. Ketika para pahlawan negeri ini berjuang, mereka menjunjung keadilan, mendukung semangat anti-kolonialisme. Yang mereka perjuangkan adalah nilai-nilai, bukan simbol-simbol.

Secara umum simbol-simbol terkait Hari Kemerdekaan dianggap baik. Namun, simbol-simbol itu bisa menjadi kontraproduktif jika semuanya hanya berhenti pada simbol, tanpa pemaknaan dan pengamalan yang lebih jauh. Jika bendera merah-putih berkibar di mana-mana, tapi keadilan dan kesejahteraan malah makin terbenam, tentu akan konyol jadinya. Jika orang-orang di suatu daerah merayakan Hari Kemerdekaan dengan gegap gempita, tapi ternyata di tempat yang sama masih ada orang yang kelaparan dan saking laparnya sampai lupa soal Hari Kemerdekaan, tentu akan ironis jadinya. Jika orang-orang menggaungkan simbol-simbol dan upacara-upacara hanya untuk menutupi ketidakbecusan mereka dalam memperjuangkan nilai-nilai, tentu akan mubazir jadinya.

Bagaimanapun, kemerdekaan lebih dari sekadar bendera dan lomba-lomba. Kemerdekaan adalah keselerasan antara simbol dan pengamalan nilai-nilai, antara kata-kata dan aksi nyata, antara niat baik dan cara yang elok, antara kibaran bendera di rumah-rumah dan penyebarluasan maslahat di sepenjuru negeri. Tanpa keselarasan antara semua simbol itu dengan aksi-aksi nyata untuk kemaslahatan rakyat di negeri ini, Hari Kemerdekaan hanya akan jadi seremoni belaka, dan 78 tahun tak lebih dari angka. Jelas bukan itu yang kita inginkan, kan?

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *