Bagaimana Sebaiknya Orang Tua Mengawal Cita-cita?

Pada satu waktu, berkumpullah empat pemuda Quraisy yang mereka adalah para sahabat Nabi serta pemuka para tabi’in di masanya. Tempat yang berada di area rukun Yamani tersebut menjadi saksi, satu persatu di antara mereka menyampaikan cita-citanya di masa depan. Keempat pemuda tersebut adalah Abdullah bin Zubair, Urwah bin Zubair, Mushab bin Zubair dimana ketiganya ialah anak-anak dari Zubair bin Awwam. Serta satu pemuda lagi bernama Abdul Malik bin Marwan.

Abdullah bin Zubair mengungkapkan cita-citanya untuk menguasai Hijaz dan menjadi khalifah. Disusul oleh Mushab bin Zubair yang memiliki keinginan menjadi pemimpin di dua tanah Irak sekaligus taka da yang menggoyahkan kekuasaannya. Setelahnya Abdul Malik bin Marwan mengungkapkan bahwa ia ingin menjadi penerus dari kekhalifahan Muawiyah bin Abi Sufyan sekaligus sebagai penguasa dunia.

Setelah semuanya menyampaikan maksud hati masing-masing. Sampailah pada sosok Urwah bin Zubair melalui pertanyaan ketiga orang di sisinya tersebut. “Adapun engkau Urwah, apa yang engkau cita-citakan?” lantas Urwah bin Zubair yang sebelumnya terdiam dan menyimak apa yang disampaikan oleh saudara dan kawannya, menjawab: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi semua cita-cita dari urusan dunia kalian, aku ingin menjadi ‘alim [sosok berilmu dan mengamalkan ilmunya], sehingga orang-orang akan belajar untuk mengambil ilmu tentang kitab Rabb-nya, sunnah Nabi-Nya dan hukum-hukum agamanya dariku, lalu aku berhasil di akhirat dan memasuki surga dengan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Hari-hari berganti serasa cepat. Abdullah bin Zubair sampai pada cita-citanya dibai’at sebagai khalifah menggantikan Yazid bin Mu’awiyah yang telah wafat. Ia menjadi hakim atas Hijaz, Mesir, Yaman, Khurasan, serta Irak, dan pada akhirnya terbunuh di Ka’bah, tak jauh dari tempatnya mengungkapkan kehendaknya dahulu.

Sedangkan Mus’ab bin Zubair telah menguasai Irak sepeninggal saudaranya Abdullah bin Zubair dan akhirnya turut terbunuh saat mempertahankan wilayah kekuasaannya.

Adapun Abdul Malik bin Marwan, kini menjadi khalifah usai terbunuhnya Abdullah bin Zubair dan saudaranya Mus’ab. Akhirnya, ia berhasil menjadi raja dunia terbesar pada masanya serta melanjutkan kepemimpinan Dinasti Umawiyyah.

Sedangkan Urwah bin Zubair, ia menjadi menara hidayah bagi kaum muslimin. Menjadi penunjuk jalan kemenangan dan menjadi da’i selama hidupnya. Perhatian beliau yang paling besar adalah mendidik anak-anaknya secara khusus dan generasi Islam secara umum. Beliau tidak suka menyia-nyiakan waktu dan kesempatan untuk memberikan petunjuk dan selalu mencurahkan nasihat demi kebaikan mereka.

Tak bosan-bosannya beliau memberikan motivasi kepada para putranya untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Beliau berakata, “Wahai putra-putriku, tuntutlah ilmu dan curahkan seluruh tenagamu untuknya. Karena, kalaupun hari ini kalian menjadi kaum yang kerdil, kelak dengan ilmu tersebut Allah menjadikan kalian sebagai pembesar kaum.” Lalu beliau melanjutkan: “Sungguh menyedihkan, adakah di dunia ini yang lebih buruk daripada seorang tua yang bodoh?” Kisah-kisah di atas termaktub dalam Suwaar min Hayaati Tabi’in oleh Dr. Abdurrahman Raf’at Basya.

Anak Muda Hari Ini dan Cita-citanya di Hadapan Orang Tua

Dari kisah-kisah tersebut orang tua dapat bercermin, bahwa setiap kita memiliki cita-cita yang berbeda. Tidak berhenti disana, dari berbedanya cita-cita akan muncul usaha beragam satu sama lain, dan membuat lengkap kehidupan di muka bumi. Itulah mengapa, sebagai orang tua, tak boleh alpa untuk senantiasa menjadi pendamping bagi cita-cita anaknya. Bukan menjadi sosok yang memaksa anak-anak menunaikan cita-cita orang tuanya yang tak tercapai saat dirinya tumbuh dewasa.

Dari mendampingi cita-cita anak-anak yang tumbuh dewasa, selayaknya orang tua memahami rambu-rambu tentang bagaimana cara tepat untuk mengarahkannya. Rambu-rambu tersebut sebaiknya menjadi pijakan untuk anak-anak melangkah dan pengingat dari orang tua bila ada jalan yang perlahan terabaikan.

Lantas bagaimana rambu-rambu itu dapat disusun oleh orang tua, ketika anaknya menginjak usia dewasa muda. Setidaknya ada beberapa hal perlu diperhatikan,

Pertama, orang tua mengambil peran sebagai sosok yang paling awal tahu apa cita-cita dari anaknya. Saat kecil anak-anak biasanya akan menyampaikan tentang cita-citanya dengan lantang. Sesekali saat berubah jenjang, ia kian samar-samar mengungkapkan, selanjutnya kadang cita-cita itu perlahan berubah seiring pengalaman, hingga akhirnya cita-cita itu lenyap entah kemana. Bisa jadi sudah tidak yakin dapat meraihnya, atau merasa orang tua tidak memberikan dukungan paripurna. Hal-hal tersebut wajar terjadi di banyak rumah tangga. Sehingga peran orang tua, saat anak-anaknya beranjak dewasa ialah terus mengajaknya berbicara tentang apa pilihan setelah jenjang pendidikan itu terselesaikan satu-persatu.

Orang tua harus terus menambah ilmu pada dirinya mengenai prosepek-prospek di masa datang. Orang tua sebaiknya tak terpaku pada pengetahuan-pengetahuan lama yang ia terima saat dirinya masih muda. Sebab kita dan anak-anak dihadapkan pada masa yang berbeda dan waktu tak lagi sama. Orang-orang dahulu bisa jadi mampu menggapai cita-cita dengan usaha keras pantang menyerah, namun anak-anak jaman sekarang, segala sesuatu dapat dijangkau dengan mudah tapi minim gerak dan usaha. Darisini saja, perlu kehadiran orang tua untuk senantiasa mendapat informasi terbarukan mengenai cita-cita anaknya yang tumbuh dewasa. Atau minimal, ia punya gambaran tentang setelah lulus dari sini, apa yang diinginkan oleh anak serta sudah punya langkah apa dalam menyiapkannya.

Kedua, orang tua adalah sosok yang kaya akan pengalaman. Sedang anak-anak adalah sosok yang terus melahap berbagai pengetahuan. Kadang-kadang dari pengetahuan tersebut, telah melampaui pikiran orang tua di masa lalu pada usia yang sama dengan anak-anaknya hari ini. Disinilah pengalaman orang tua dibutuhkan. Bisa jadi orang tua tidak memaksakan kehendaknya dalam menggapai cita-cita sang anak. Tapi perlu dipahami, anak tetap butuh masukkan dari pengalaman-pengalaman yang dimiliki oleh orang tua. Terlebih bagi orang tua yang bekerja di banyak bidang, ia pernah memulai dari bawah, sampai pada level menengah hingga tinggi, lalu akhirnya mencoba untuk membuka usaha.

Pengalaman yang ditularkan tadi tanpa didahului adanya tendensi berlebihan (yakni orang tua memiliki ‘pesan’ tersendiri agar si anak mau menggapai cita-cita yang tak tuntas oleh orang tuanya di masa silam) ialah hal berharga bagi anak. Sebab lingkungan pertemanan anak juga tak mampu memberikan gambaran di atas secara tuntas. Sehingga akhirnya ada saling-silang informasi dari masing-masing anak yang didapat dari orang tuanya. Bila seandainya setiap orang tua memiliki waktu banyak untuk bicara pada anaknya, kelak obrolan-obrolan dalam lingkungan pergaulan anaknya akan saling memengaruhi satu sama lain untuk menjadi lebih baik. Sebagaimana dialog cita-cita 4 orang di sekitar Kabah di atas. Tak mungkin ada dialog yang bernas, bila sebelumnya mereka tidak disuguhkan mengenai bagaimana orang tua mereka mengajarkan pengalaman hidup langsung secara nyata. Maka minimal bila kita tidak bisa memberi kenyataan, minimal kita mampu memberikan pemahaman.

Ketiga, beri orientasi akhirat kepada anak saat merumuskan sebuah keinginan atau cita-cita. Hari-hari ini, kita tak kehilangan banyak orang pintar. Saat ini kita tidak kehabisan banyak pribadi dengan nilai akademis terpuji melalui berbagai gelar jenjang Pendidikan tinggi. Namun, ironisnya adalah dari semua itu, ada moral perlahan hilang, rasa malu tercabut dari dalam hati, penyalahgunaan wewenang menjadi hal biasa, dan beragam kezaliman yang dilakukan. Ini tidak terlepas dari jauhnya nilai-nilai agama, orientasi akhirat, dan jauhnya keimanan pada diri anak. Sehingga pencapaian materi dunia menjadi kasta tertinggi untuk didapat anak dalam kehidupannya.

Hal ini mungkin muncul dari dalam diri para orang tua awalnya. Mereka para orang tua, saat anak-anaknya berada dalam asuhan, sudah diajarkan menjadi generasi-generasi transaksional. Memberikan sesuatu karena adanya stimulus untuk melakukan ini-itu terlebih dahulu, menghadiahkan sesuatu disebabkan timbal-balik setelah mengerjakan urusan tertentu, memuji karena tepat menjalankan instruksi, dan seterusnya.

Padahal sejatinya, saat mereka masih anak-anak, hubungan transaksional dari orang tua sebaiknya dihindari dan diberikan pemahaman bahwa hal demikian merupakan urusan kasih sayang. Murni karena begitulah tugas orang tua dihadapan anaknya dan memang demikian juga merupakan bagian dari Pendidikan. Sehingga kelak saat anaknya dewasa dan berkeluarga, seperti itu pulalah yang ditularkan.

Sehingga tidak heran bila akhirnya hari-hari ini, cita-cita anak bila kembali ditanyakan alasannya, lebih banyak jawaban-jawaban yang melahirkan kebermanfaatan dunia pada dirinya, dan minim nilai-nilai akhirat. Sebab orang tua telah mengajarkan demikian sebelumnya. Padahal Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita:

مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ. وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ

“Barang siapa menjadikan dunia sebagai cita-cita/harapannya, Allah akan menceraiberaikan urusannya. Allah menjadikan kefakiran selalu di pelupuk kedua matanya. Dunia tidak akan datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan untuknya. Adapun barang siapa yang akhirat menjadi niatnya, Allah akan mengumpulkan urusannya, Allah menjadikan kekayaan dalam hatinya, dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan dunia itu tidak suka.” (HR. Ibnu Majah dari Zaid bin Tsabit radhiallahu anhu; Syaikh Muqbil menilainya sahih dalam ash-Shahihul Musnad 1/263)

Kita (orang tua) asah kecerdasannya sehingga hebat luar biasa, bukan agar menolong agama Allah ini dengan kemampuan agama yang mereka miliki. Justru sebaliknya, kita ajarkan kepada mereka doa-doa kepada Allah Ta’ala untuk memperoleh dunia. Kita biasakan mereka berdoa bukan agar hatinya terpaut dengan Allah azza wa jalla, tetapi semata agar Allah melimpahkan prestasi yang menakjubkan. Tak salah (bila akhirnya nanti) semasa kuliah rajin puasa dan memlihara sikap takzim (penghormatan) pada orang tua, tetapi sesudah mereka memperoleh apa yang dicita-citakan, bekas-bekas puasa Senin Kamis itu tak tampak sedikit pun. (Adhim, 2009: 33)

Maka sebelum semuanya terlambat, orang tua memiliki kesadaran, untuk memahami bahwa setiap anak memiliki bakat berbeda. Dari bedanya bakat akan melahirkan cita-cita berbeda. Tidak masalah menyerah kala cita-citanya tak didapat dari urusan dunia, namun ingatkan kembali dalam diri, bahwa orientasi akhirat adalah paling utama. Anak-anak kita yang hari ini kita didik, mereka memiliki jalan hidupnya masing-masing kelak. Alangkah bijaknya bila cita-cita mereka bukanlah cita-cita orang tuanya yang tak tergapai di masa lalu. Serta terus arahkan bahwa setinggi apapun cita-cita itu, dan kuatnya kita mempertahankan. Jangan pernah melepaskan tujuan hidup di dunia sebagai seorang hamba Allah.

Cita-cita itu perlu ada, dan sebaiknya terpatri dalam diri setiap muslim. Bila tak bertemu hasil untuk diraih, segera menuju kepada kebaikan cita-cita berikutnya yang dapat ia gapai. Sebab mereka yang memiliki cita-cita, adalah orang yang memiliki semangat dan keteraturan dalam hidupnya. Sebagaimana perkataan Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah:

الهمة أن الانسان يحفظ وقته، ويعرف كيف يتصرف ولا يضيع الوقت بغير فائدة، وإذا جاءه انسان يرى أن مجالسته فيها إهمال وإلهاء، عرف كيف يتصرف

“Dengan adanya cita-cita maka seseorang pandai menjaga waktunya, ia mengerti bagaimana mempergunakannya, tidak menyia-nyiakan waktunya untuk hal yang tidak bermanfaat, dan jika ada orang yang menemuinya, ia merasa jika menanggapinya akan menyebabkan kelalaian dan membuang-buang waktu, sehingga dirinya mengetahui bagaimana harus berbuat.” (Syarhu Hilyati Thālibil ‘Ilmi, hal: 207)

Oleh karena itu para orang tua, ajak bicara anak remaja kita soal cita-cita. Urusan bagaimana mencapainya, tugas orangtua adalah hadir mengarahkannya. Mengarahkan sesuai syariat dan bebas dari mudharat.

Author

1 thought on “Bagaimana Sebaiknya Orang Tua Mengawal Cita-cita?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *