Membawa Anak ke Masjid: Solusi atau Polusi?
Published Date: 17 April 2025
Setiap orang tua menginginkan anaknya menjadi anak saleh dan berakhlak mulia. Di antara cara mereka mengenalkan agama kepada anak adalah mengajak atau menyuruh sang anak shalat berjamaah di masjid semenjak dini, biasanya mulai umur 3-5 tahun. Hal ini berlaku baik untuk anak laki-laki maupun perempuan. Harapannya dengan mengenalkan anak-anak bagaimana suasana masjid dan nuansa shalat berjama’ah, maka mereka akan mengerti pentingnya shalat, pergi ke masjid, dan indahnya bergaul dengan orang-orang saleh.
Secara umum, tidak ada larangan membawa anak ke masjid. Dalam beberapa riwayat disebutkan anak-anak berada di masjid bersama Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Sebuah riwayat dari Abu Qatadah radhiyallahu ’anhu menceritakan bahwa ia berkata:
رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وأمامة بنت العاص -ابنة زينب بنت الرسول صلى الله عليه وسلم- على عاتقه، فإذا ركع وضعها وإذا رفع من السجود أعادها
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggendong Umamah bintu al-Ash, putrinya Zainab bintu Rasulullah, di pundak beliau. Apabila beliau shalat, maka ketika rukuk Rasulullah meletakkan Umamah di lantai, dan apabila bangun dari sujud, maka beliau kembali menggendong Umamah.” (HR. Bukhari no. 516, Muslim no. 543).
Sayangnya, terkadang harapan tersebut tidak tercapai. Bahkan alih-alih menjadi solusi dari kenakalan anak justru kehadiran mereka di masjid menjadi polusi bagi jamaah masjid itu sendiri. Polusi tersebut berupa polusi suara mereka yang teriak atau menangis di masjid, polusi mata yakni lalu lalang di depan shaf saat shalat berlangsung, atau berupa aktivitas mereka yang saling senggol atau bercanda saat shalat yang seringkali menggangu orang di sebelah mereka. Saking seringnya hal tersebut terjadi, beberapa masjid melarang anak kecil datang ke masjid atau memberikan tanda peringatan kepada orang tua untuk menjaga anak-anaknya agar tidak mengganggu kekhusyukan shalat berjamaah.
Fenomena ini pun akhirnya sempat viral di media sosial, yang memunculkan dua kubu yang berseberangan. Di satu sisi banyak pihak mendukung anak kecil tetap diarahkan ke masjid, membiarkan mereka bermain dan beraktivitas di masjid dengan alasan agar terbiasa mendatangi masjid dan hati mereka terkait dengannya. Walaupun lazimnya anak-anak saat datang ke masjid masih banyak bermain, membuat kebisingan, dan lainnya. Harapannya seiring umur mereka bertambah keterikatan mereka bergeser menjadi kebiasaan untuk shalat ke masjid.
Sementara pihak yang berlawanan mengatakan jika anak-anak yang belum mengerti atau sulit diarahkan untuk menghormati adab di masjid tidak perlu diajak ke masjid sama sekali. Biarkan mereka bermain dan beraktivitas di rumah saja. Setelah cukup umur, bisa diarahkan, dan tidak mengganggu orang lain, maka silakan dibawa ke masjid untuk belajar shalat.
Menurut hemat penulis, kedua kubu tersebut terlalu ekstrem menyikapi anak kecil yang diajak ke masjid. Karena sejatinya mengenalkan masjid sejak kecil kepada anak adalah kebaikan yang perlu beberapa perhatian khusus sehingga keberadaan anak di masjid menjadi solusi untuk kebiasaan baik bukan menjadi polusi bagi kebaikan yang berlangsung di masjid. Dengan kata lain, kita tidak bisa gebyah-uyah dalam mengajak anak ke masjid ataupun melarang anak ke masjid. Perlu ada kebijaksanaan dalam perkara mengajak anak ke masjid.
Imam Malik rahimahullah ditanya tentang membawa anak ke masjid, beliau menjawab:
إن كان لا يعبث لصغره ويكف إذا نُهي فلا أرى بهذا بأسا , قال : وإن كان يعبث لصغره فلا أرى أن يؤتى به إلى المسجد
“Jika ia tidak melakukan al-‘abats (main-main) karena masih kecil, dan jika dilarang ia akan berhenti, maka tidak mengapa di bawa ke masjid. Namun jika melakukan al-‘abats (main-main) karena masih terlalu kecil, maka menurut saya tidak boleh di bawa ke masjid.” (Al-Mudawwanah, 1/195).
Karena itulah Syaikh ‘Abdul ‘Aziiz bin ‘Abdullah bin Baaz rahimahullah pernah mengatakan,
يستحب بل يشرع الذهاب بالأولاد إلى المساجد إذا بلغ الولد سبعًا فأعلى، ويضرب عليها إذا بلغ عشرًا؛ لأنه بذلك يتأهل للصلاة ويعلم الصلاة حتى إذا بلغ فإذا هو قد عرف الصلاة واعتادها مع إخوانه المسلمين
“Dianjurkan bahkan disyariatkan untuk membawa anak-anak ke masjid, jika usia mereka 7 tahun atau lebih. Dan boleh dipukul jika usianya 10 tahun. Karena dengan membawanya ke masjid, ia akan terbiasa shalat dan mengetahui cara shalat. Sehingga ketika ia baligh, ia sudah paham cara shalat dan terbiasa shalat bersama saudaranya dari kaum Muslimin.” (https://binbaz.org.sa/fatwas/12952).
Para ulama tidak melarang anak-anak ke masjid, mereka bahkan menganjurkan sebagaimana tercantum di atas. Namun yang dilarang adalah ketika anak-anak mengganggu peribadatan di masjid. Sehingga masyarakat muslim perlu memperhatikan hal ini dengan saksama.
Dalam rangka menjadikan keberadaan anak-anak di masjid tetap membawa maslahat bukannya mudarat, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan memerlukan keterlibatan banyak pihak. Di antara hal-hal tersebut adalah sebagai berikut:
- Keterlibatan orang tua
Orang tua merupakan orang yang pertama diminta pertanggungjawabannya terkait kebiasaan shalat anaknya. Dari kakeknya Amr bin Syu’aib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat ketika usianya 7 tahun. Dan pukullah mereka ketika usianya 10 tahun. Dan pisahkanlah tempat tidurnya.” (HR. Abu Daud no. 495, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).
Bagi laki-laki, shalat 5 waktu ke masjid adalah sebuah keutamaan bahkan kewajiban (menurut satu pendapat) yang merupakan bagian tidak terpisahkan darinya. Karenanya ayahlah yang harus menjadi sosok terdepan menjadi teladan dan membimbing anak laki-lakinya untuk berangkat ke masjid dan mengajarkan adab-adab di dalamnya.
Orang tua memiliki peranan penting dan paling utama terkait keberadaan anak di masjid. Merekalah pihak yang paling bertanggungjawab mengarahkan serta membimbing anak saat pergi ke masjid. Orang tua wajib memberikan penjelasan di rumah terkait alasan sang anak diajak atau disuruh ke masjid, tentunya beserta penjelasan adab-adabnya. Namun hal tersebut tidak cukup karena anak tetap harus didampingi orang tua ketika berangkat dan beraktivitas ke masjid. Selain memberikan contoh dan teladan, orang tua menjadi orang yang pertama menahan atau menghentikan anak ketika menimbulkan polusi atau gangguan saat sebelum shalat atau saat shalat berlangsung.
2. Pengarahan dari DKM atau jamaah masjid
Pengurus DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) dan jamaah dapat membantu mencegah anak-anak beraktivitas yang mengganggu shalat berjamaah. Seperti mengajak mereka segera bersiap-siap menuju shalat, memisahkan atau meletakkan mereka di shaf secara selang-seling dengan jamaah dewasa. Karena seringkali berdampingannya mereka dengan kawannya sesama anak-anak akan memicu bercanda dan saling ganggu saat shalat berlangsung.
DKM atau jamaah juga dapat membantu mengingatkan anak-anak ketika datang setelah takbiratul ihram. Dalam beberapa kondisi jamaah mengingatkan anak-anak sebelum shalat dimulai, namun anak-anak ada yang datang terlambat sehingga tidak ada yang mengingatkan mereka untuk tidak mengganggu shalat berjamaah. Di sinilah pentingnya untuk tetap mengingatkan anak-anak agar mereka tetap tertib selama di masjid.
3. Kondusivitas dari remaja dan anak-anak di lingkungan sekitar masjid
Keberadaan remaja dan anak-anak sebaya di lingkungan masjid sangat mempengaruhi kondisi dan kebiasaan anak-anak saat berada di masjid. Jika banyak kegiatan positif dan pembimbingan anak kecil di lingkungan, seperti TPA/TPQ, pengajian anak, sekolah TK atau SD Islam, kegiatan remaja masjid, dan sejenisnya, maka potensi anak-anak sulit diatur menjadi kecil atau dapat ditanggulangi. Karena banyak dan seringnya intensitas pembinaan anak-anak di lingkungan tersebut. Sebaliknya, jika hal-hal tersebut belum ada atau sudah tersedia namun kurang maksimal pengelolaannya, maka anak-anak yang dalam lingkungan tersebut menjadi lebih “liar” dan sulit diarahkan.
Masih banyak pihak yang dapat membantu mengarahkan dan membimbing anak-anak agar memiliki adab dan perilaku yang baik saat di masjid. Namun ketiga pihak di atas adalah pihak-pihak yang cukup berperan dan biasanya selalu ada dalam suatu struktur jamaah masjid. Kerjasama ketiganya dalam menertibkan anak kecil di masjid insyaa Allah akan menjadikan masjid jauh lebih kondusif dan nyaman untuk semua kalangan.
Nabi Muhammad memulai peradaban di kota Madinah dengan membangun masjid dan memaksimalkan fungsi masjid untuk ibadah dan kegiatan kenegaraan di dalamnya, termasuk pendidikan anak. Pun para ulama sejak dahulu menjadikan masjid menjadi pusat ilmu dan pendidikan. Maka menjauhkan masjid dari anak bukanlah sebuah solusi. Justru keberadaan mereka ke masjid dijadikan momen mendidik adab dan ilmu. Sehingga anak-anak yang nantinya menjadi generasi masa depan benar-benar menjadi solusi kebaikan untuk masyarakat islam dan lingkungannya.
catatan: Penulis banyak menyadur dalil-dalil dari artikel di muslim.or.id: https://muslim.or.id/54818-fikih-ringkas-membawa-anak-ke-masjid.html
Editor: Erwin Setia