Mengakrabi yang Horor dengan Biasa-biasa Saja

Sewaktu saya menginjak usia sekolah dasar, ada tiga jenis tontonan yang saya akrabi: kartun, sinetron, dan film horor. Seiring waktu berlalu, baru saya ketahui bahwa seharusnya saat itu saya tidak menonton sinetron, apalagi film horor. Tapi yang kadung terjadi tak dapat diutak-atik. Serpihan-serpihan pengalaman yang mengisi kotak ingatan juga tak bisa dibuang begitu saja. Pilihan paling ideal saat ini adalah mengambil hikmahnya, termasuk hikmah dari pengalaman menonton film horor semasa kanak-kanak.

Saat kelas dua atau tiga SD—saya tidak ingat tepatnya—saya dan sejumlah kawan berkumpul di salah satu rumah tetangga. Rumah itu tidak terlalu luas, tapi cukup untuk menampung beberapa bocah duduk guna menyaksikan sebuah tayangan yang kelak akan membekas di kepala kami. Tayangan itu tak lain tak bukan adalah film horor. Saya tidak ingat judulnya, tapi kalau tidak salah itu adalah film horor tentang sebuah ruangan yang angker dengan hantu seorang perempuan yang bermekap pucat-menyeramkan ala hantu-hantu konvensional Indonesia.

Selepas menonton film itu, ada rasa takut yang menjalar di hati kanak-kanak saya. Jenis rasa takut yang bisa terbawa ke mimpi dan terus-menerus menyertai saya sampai besar. Pada awalnya saya pikir ketakutan semacam itu wajar belaka. Tak perlu dicemaskan. Namun, lambat laun saya sadar dampak tayangan horor itu (dan tayangan-tayangan horor lain yang saya saksikan sepanjang kanak-kanak) membayangi saya dalam waktu yang lama. Ada kalanya saya jadi takut ketika berada di rumah sendirian, waswas ketika melewati jalanan yang sepi dan kuburan, dan mengidap paranoia akut saat melihat sesuatu bergerak-gerak sendiri di sudut rumah atau ada cahaya tipis di atas pohon.

Tentu saja rasa takut yang sempat membekap jiwa kanak-kanak saya saat ini tidak semengerikan dulu. Seiring dengan bertambahnya pengetahuan bahwa gambaran-gambaran seram di film horor adalah karangan dan bahwa hantu-hantu tidak menampakkan diri sevulgar apa yang ada di film-film, saya jadi bisa berpikir lebih logis dan tak mudah dicekam ketakutan tak beralasan. Memang rasa takut tak bisa dienyahkan begitu saja. Ia manusiawi, tapi dengan pikiran yang logis, ketakutan-ketakutan itu bisa dikendalikan, sehingga tak sampai taraf paranoia.

Dari pengalaman masa kecil itu, saya jadi bertanya-tanya: Bagaimana seharusnya sikap kita dalam berhubungan dengan sesuatu yang horor, baik horor itu bersifat fiktif (film dan buku-buku cerita) maupun horor itu bersifat riil (meskipun sebagian kalangan menolak mentah-mentah segala hal yang bersifat supranatural)? Apakah kita harus sepenuhnya menjauh dari konten-konten horor dan memilih konten yang aman-aman saja? Ataukah malah sebaiknya kita perlu banyak mengonsumsi konten-konten horor supaya ‘kebutuhan’ kita terhadap rasa takut bisa tercukupi?

Saya tidak tahu jawabannya dan saya melontarkan pertanyaan itu memang sekadar untuk bertanya. Tapi satu yang jelas, dalam menyikapi berbagai hal (termasuk menyikapi konten-konten horor) seringkali siasat terbaik adalah dengan menjaga dua perkara: kejernihan pikiran dan kesederhanaan sikap. Kejernihan pikiran yang saya maksud adalah mempertimbangkan segalanya dengan berpikir matang terlebih dahulu, bukan mendahulukan emosi atau prasangka-prasangka yang tak berdasar. Sementara kesederhanaan sikap artinya tidak mudah menerima suatu hal, tapi tidak juga buru-buru menolaknya. Dengan kata lain, biasa-biasa saja.

Tapi apakah kita—masyarakat Indonesia—bisa bersikap biasa-biasa saja terhadap konten horor?

Mari kita periksa data yang ada, apa yang ada belum lama ini.

Pada 2019 di Twitter sempat viral sebuah thread panjang cerita horor bertajuk “KKN di Desa Penari”. Saya pernah membaca thread itu dan jutaan orang lain pun pernah membacanya. Bagi saya ini luar biasa. Bukan, bukan cerita itu yang luar biasa, tapi fakta bahwa jutaan orang Indonesia mau membaca thread yang begitu panjang! Kalau tidak salah ingat, saya membaca versi awal cerita itu satu jam lebih atau setara dengan membaca buku setebal 50-an halaman. Rupanya, di hadapan konten horor, penduduk Indonesia tiba-tiba jadi pembaca yang militan.

Tiga tahun kemudian, thread viral itu diangkat ke layar lebar dengan judul sama, “KKN di Desa Penari”. Seperti terjadi pada versi thread, film tersebut juga langsung laku keras di pasaran, terlepas dari kualitasnya yang banyak mendapat kritik. Film itu bukan hanya laku, tapi memecahkan rekor sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa!

Dan kini, mari kita lompat ke 2023, tepatnya periode Januari-Juni 2023. Anda tahu film Indonesia apa yang paling banyak ditonton di tahun ini? Ya, tepat sekali, film horor! Sewu Dino adalah film Indonesia dengan penonton terbanyak selama paruh awal tahun ini dengan hampir 5 juta penonton, sementara 6 film horor lain, termasuk Waktu Magrib dan Khanzab mengisi daftar 10 teratas film Indonesia paling banyak ditonton. Tren larisnya film horor bukan hanya terjadi tahun ini, melainkan juga di tahun-tahun sebelumnya. Situasi ini memunculkan pertanyaan lain: Apakah larisnya film-film horor di bioskop lantaran para penonton Indonesia menggemari film horor atau lantaran para sineas terus memproduksi film horor sehingga para penonton “terpaksa” harus menonton film horor? Apa pun jawabannya, faktanya jelas: orang-orang Indonesia menyukai konten-konten horor.

Sebetulnya menyukai konten horor bukanlah persoalan. Yang menjadi persoalan adalah ketika kebiasaan mengonsumsi artikel atau video horor membuat pikiran kita tumpul. Saya mendapati orang-orang yang sedikit-sedikit mengaitkan segala sesuatu dengan hal-hal mistis, padahal sesuatu itu masih bisa dicerna dengan akal sehat. Gejala ini—yang disebabkan antara lain oleh kebiasaan mengonsumsi konten-konten horor—membuat kita sulit untuk berpikir secara jernih dan membiasakan diri untuk berpikir logis. Selain itu, dampak lain dari kebiasaan mengonsumsi film-film horor adalah membuat kita takut terhadap hal-hal yang sering dijadikan simbol-simbol seram di film horor. Misalnya, kita jadi takut terhadap rumah kosong, kuburan, atau sekadar penampakan belakang perempuan berambut panjang. Rasa takut adalah hal yang wajar, tapi rasa takut yang berlebihan adalah sesuatu yang semestinya dihindari.

Melihat antuasiasme masyarakat Indonesia yang masih tinggi terhadap konten-konten horor, perlu kiranya bagi kita (terutama yang menyukai konten-konten horor walaupun gampang takut) untuk memiliki kesadaran sebelum mengonsumsi suatu konten. Dalam kaitannya dengan konten horor, kita harus memahami bahwa apa yang kita tonton atau kita baca tidak sama dengan apa yang ada di kehidupan nyata. Kemudian hendaknya kita tidak bermudah-mudahan dalam mengaitkan kejadian-kejadian di dunia nyata yang masih bisa ditelusuri secara logis dengan hal-hal mistis yang seringkali tak menyelesaikan persoalan, melainkan cuma bikin masalah kian rumit dan runyam.

Kita tidak bisa menolak yang horor (fiktif maupun riil) dengan sepenuhnya. Bagaimanapun film-film horor terus diproduksi dan hantu-hantu kadang dilihat oleh sebagian orang (terlepas itu sungguhan atau bukan). Tetapi kita bisa menata pikiran kita supaya tetap berada di alur yang benar. Ketika melintasi kuburan, misalnya, tak perlulah kita memikirkan yang bukan-bukan seperti akan ada hantu loncat dari makam atau semisal itu. Yang pertama kita pikirkan adalah apa-apa yang memang ada dan faktual, bahwa kuburan adalah tempat orang-orang dimakamkan, bahwa yang ada di balik kuburan itu adalah jenazah-jenazah yang tinggal belulang, dan bahwa agama menganjurkan kita untuk mendoakan penghuni kuburan. Tidak perlu berimajinasi kelewat jauh, kecuali jika kita memang ingin membuat cerita-cerita fiktif. Lagi pula, tanpa adanya penampakan hantu, dunia ini sudah cukup horor, kok. Dan di dunia yang seperti ini, yang kita perlukan bukanlah paranoia tak berkesudahan, melainkan pikiran yang tetap waras, waswas, dan tak mudah dikelabui. (*)

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *