Sudahkah Santri Memaknai Harinya?
Published Date: 23 October 2023
Suka atau tidak, bisa jadi hanya Indonesia saja, yang menggunakan sistem pendidikan secara resmi melalui dua pendekatan. Pertama adalah sekolah agama, dan kedua adalah sekolah nasional yang merangkum kurikulum pendidikan pemerintah secara formal serta berkelanjutan. Kedua model pendidikan tersebut, memiliki payung hukum yang setara di mata negara dan diatur oleh undang-undang. Keduanya pun berada di bawah aturan kementerian, yakni Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama.
Sekolah-sekolah agama, telah lebih dahulu ada. Bahkan sebelum hadirnya kolonialisme di Indonesia. Sekolah-sekolah agama terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat pribumi setelah era masuknya Islam ke Indonesia disusul dengan tumbuh berjayanya kesultanan-kesultanan Islam. Berbagai nama dalam penyebutan pendidikan Islam itu disesuaikan dengan tempat masing-masing. Ada yang disebut dengan madrasah, meunasah, surau, dayah, dan di sebagian tempat, khususnya Jawa populer dengan istilah Pondok Pesantren.
Pesantren -tempat dan sekaligus sistem pendidikan Islam Indonesia- dalam sejarah lampau, bukanlah lembaga pendidikan yang tumbuh di perkotaan. Pertarungan-pertarungan politis dan kekuasaan yang pernah terjadi di dalam sejarah politik Jawa misalnya, telah meminggirkan kelompok pendidik jauh dari pusat kekuasaan. Ia sangat berhasil mempertahankan kemurnian Islam, mencetak para ulama dengan kaliber internasional, dan yang lebih penting, bisa menghindar dari kasak-kusuk kekuasaan yang ‘menjerumuskan’. (Fachry Ali, 1996)
Dapat dimaknai bahwa, pesantren secara kultural adalah penjaga nilai-nilai kemurnian Islam, ia harus ditempatkan pada suatu wilayah yang di dalamnya tidak terdapat kepentingan kurikulum pesanan pihak tertentu. Apakah untuk melanggengkan sebuah kekuasaan, meraih tampuk kepemimpinan secara khusus, atau membangun dinasti kerajaan dalam area domestik. Pesantren merupakan cikal-bakal pendidikan yang seharusnya menumbuhkan nilai ketulusan, dedikasi, penunai amanah, sampai pada penyampai dakwah di berbagai wilayah.
Tak heran bila Karel A. Steenbrink (1986) menyebutkan mengenai para santri (sebutan bagi para penuntut ilmu di pesantren) adalah para anak-anak yang kebanyakan baru pertama kalinya menetap di luar keluarganya dan desanya untuk waktu yang agak lama. Dengan berdiri sendiri mereka harus mengatur persediaan dan penggunaan beras, pengeluaran keuangan yang sehemat mungkin, berbelanja ke pasar, mencari upah dengan membantu petani di sawah, meminta bantuan pada orang-orang setiap hari Kamis, memperbaiki dan menambal genting yang tiris, dan tugas-tugas lainnya yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Karena menetap di pesantren, dia berkenalan dengan anak-anak dari berbagai daerah (karena para santri umumnya senang bepergian). Semuanya itu merupakan unsur yang sangat penting dalam pengembangan kepribadian dan kedewasaan para santri, yang oleh beberapa pengamat dinilai positif. Sedangkan pengamat lainnya menekankan sikap negatif pada hidup berdiri sendiri dalam usia yang belum dewasa, lingkungan kehidupan yang agak kotor, dan kehidupan yang kurang bersusila.
Nilai-nilai kesantrian dalam diri santri yang hari ini kian berkurang. Hal tersebut, tak terlepas dari perkembangan zaman. Dahulu orang beranggapan memasukkan anak ke dalam pesantren adalah cara untuk menghentikan kenakalan yang dilakukan, lalu muncul memasukkan anak ke pesantren disebabkan adanya keinginan lebih dari orang tua agar anaknya bisa memiliki akhlak mulia dan paham nilai-nilai agama secara sempurna, hari ini menyekolahkan anak pesantren memiliki jumlah sebaran motif lebih banyak ragam serta variasinya. Bisa jadi karena dorongan dari teman-teman di sekolah sebelumnya, bujukan dari orang tua menjadi da’i atau pendakwah lalu bisa melanjutkan kuliah di Timur Tengah dan setelah lulus dianggap menjanjikan hidup cukup bahagia melalui undangan dari satu pengajian ke pengajian lainnya, hingga masuk pesantren disebabkan karena kekhawatiran orang tua yang tak bisa mendidik agama dengan baik anaknya, setelah sadar bahwa pendidikan agama itu penting untuk diterapkan secara seksama.
Padahal jika kita ingin kembali kepada motif para pendahulu yang menjadi ulama dan pernah mengenyam pendidikan sebagai seorang santri. Tidaklah seseorang dilepas untuk berguru mondok kepada salah seorang alim atau kyai, melainkan orang tuanya lebih dahulu menerapkan pendidikan dasar agama dari rumahnya. Hingga akhirnya saat ia tumbuh besar, mengirim ke pondok adalah upaya untuk lebih meluaskan angkahnya, memanjangkan cakrawala berpikir, menguatkan pembahasan mengenai hal-hal keagamaan sesuai dengan ketertarikan bidang ilmu dalam nilai agama yang diharapkan, sampai pada menyiapkan mental dan kekuatan jiwa menghadapi hidup dengan beragam kenyataan nantinya.
Contoh-contoh ini seperti tertuang dalam sosok seperti Syaikh Nawawi Al Bantani yang berguru kepada ayahnya Umar bin Arabi seorang ulama Banten, dan dilepas kepada K.H Sahal di Banten selanjutnya di Purwakarta oleh K.H Yusuf. Hingga proses pengelanaannya dalam ilmu membuahkan hasil dengan menjadikan dirinya sebagai As Sayyid al ‘Ulama al Hijaz. Syaikh Muhammad Kholil Bangkalan mendahulukan belajar kepada ayahnya, K.H Abdul Latif, baru setelahnya melanjutkan pengembaraan ilmu ke Kiai Muhammad Nur di Langitan, Tuban, lalu ke Pesantren Bangil, Pasuruan dan dilanjutkan sampai ke Mekah untuk belajar langsung kepada Syaikh Nawawi al Bantani dan Syaikh Ahmad Khatib al Minangkabawi. Terakhir juga ada Syaikh Mahfudz at Tarmasi, ia berguru kepada ayahnya yaitu Kiai Abdullah dan kakeknya Kiai Abdul Manan. Dari ayahnya, syaikh Mahfudz mempelajari auhid, al Qur’an dan ilmu Fikih. Setelahnya ia berguru kepada K.H. Sholeh Darat di Semarag. (Anwar Djaelani, 2016)
Oleh karena itu, setiap tahun pemerintah mencanangkan dan merayakan Hari Santri yang ditetapkan peringatannya pada tanggal 22 Oktober. Peringatan Hari Santri tersebut mengambil momentum heroik yang digelorakan oleh para santri saat itu melalui Revolusi Jihad di bawah komando K.H Hasyim Asy’ari, tokoh pimpinan Nadhlatul Ulama (NU). Pertempuran tersebut dikuatkan dengan fatwa jihad dan mengajak seluruh elemen masyarakat muslim khususnya para santri untuk kembali bergerak mengusir upaya kolonialisme yang kembali datang setelah adanya proklamasi kemerdekaan. Umat Islam merasa memiliki kepentingan untuk kembali bersatu, di bawah niat mulia untuk berjuang fii sabilillah.
Maka sudah seharusnya, momentum Hari Santri, sebaiknya digunakan untuk menggugah beberapa nilai afirmatif bagi para santri agar tak kehilangan identitas dirinya. Bukan sekadar diisi oleh selebrasi penuh hiburan. Tapi yang pertama, Hari Santri mestilah dijadikan momentum bahwa menjadi santri adalah tugas mulia menyampaikan nilai-nilai luhur agama. Di dalamnya santri harus sabar dalam belajar, prihatin saat menuntut ilmu seperti menghafal lalu menyetorkan hafalannya, terus tegar agar sampai pada pemahaman yang diinginkan oleh gurunya, dan mengasah akalnya untuk terus membaca literatur sebagai sosok dahaga untuk terus mereguk ilmu dari mata airnya, yakni para kiai-kiai mereka.
Kedua, momentum Hari Santri haruslah dimaknai, bahwa santri adalah penjaga agama. Santri sebaiknya tidak terjun dan aktif dalam dunia politik praktis. Sebab dari masa ke masa, fungsi santri sebagai calon ulama nantinya. Mereka adalah penasehat, pengingat pemerintah sehingga harus memastikan posisinya untuk berjarak atas kekuasaan. Bukan larut dalam kekuasaan dan jauh dari perannya sebagai benteng panutan umat.
Ketiga, menjadi santri adalah menjadi mandiri. Jiwa seorang santri tidak mesti harus penuh dengan kekurangan dan kesusahan. Tapi perlu diasah bahwa sekali pun hidup dalam eluarga yang hari ini serba kecukupan. Tetap menuntut dirinya untuk melahirkan kemandirian. Karena nantinya kemandirian tersebut menjadi sumbu untuk terus peduli dan peka atas kehidupan sosial di tengah-tengah tempatnya tinggal bersama masyarakat. Sebab santri adalah pengawal transformasi masyarakat.
Ingatlah bahwa, sejarah kepesantrenan ditandai antara lain oleh “turun-naiknya pamir pesantren” dan “hilang-timbulnya pesantren”. Tetapi dari sejarah pesantren-pesantren besar -yang telah berusia tua yang sampai kini masih berfungsi tampaklah, bahwa kehadiran mereka dimulai oleh hasrat para pendirinya untuk mengadakan transformasi masyarakat sekitar. (Taufik Abdullah, 1987)
Momentum Hari Santri adalah kesempatan emas, untuk meneguhkan para santri untuk mengerti mengenai sejarahnya. Tentang mengapa berdirinya sebuah pesantren, bagaimana pesantren tersebut mengajarkan nilai-nilai budayanya pada para santri, bagaimana awal-awal pesantren itu berdiri hingga kini, seperti apa profil-profil para santri yang telah lebih dahulu ada dan akhirnya sukses untuk mendirikan pesantren lagi di tempat asal mereka, atau motivasi lain yang dapat membangkitkan kesadaran untuk bangga menjadi santri. Sebab, akhirnya menjadi santri karena memang sudah seharusnya ia butuh untuk itu. Bukan berharap pada pengakuan masyarakat, bujuk rayu dalam balutan angan-angan tentang penghasilan dan pemuliaan berlebihan hingga jatuh pada sikap fanatik tanpa boleh dikritik, apalagi paksaan dari orang tua yang pernah sempat gagal menjadi santri di kehidupannya dahulu. Jadilah santri yang tak pernah berhenti untuk mengamalkan ilmu yang telah dimaknai!