Mengapa Banyak Orang Berdebat di Sosial Media
Published Date: 3 October 2022
Di jagat media sosial, perdebatan bisa muncul kapan saja dan mengenai apa saja. Kita tidak akan kesulitan menemukan orang-orang yang tidak saling kenal saling berdebat di kolom komentar suatu postingan pada jam dua belas malam. Mereka bisa berdebat tentang politik, agama, sepak bola, hingga hal-hal remeh semacam cara makan. Arena perdebatan mereka pun kerap tak terduga. Arena itu bisa berupa postingan berita, curhat, hingga status lucu-lucuan yang tiba-tiba menjadi tempat orang-orang saling serang di kolom komentar. Saya tidak tahu ada masalah apa pada orang-orang yang hobi berdebat itu, tapi yang jelas kolom komentar media sosial sekarang tak ubahnya medan perang yang terbuka sepanjang waktu (kecuali di postingan yang kolom komentarnya dikunci atau di grup terbatas).
Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan pengecut paling payah sekalipun mendadak jadi bernyali: ketika mereka berkelompok dan ketika identitas mereka tidak diketahui. Hal kedua itulah yang sering kita dapati di dunia maya. Anonimitas membuat banyak orang dengan entengnya melontarkan berbagai komentar. Orang-orang yang di dalam kehidupan sehari-hari pendiam bisa menjadi makhluk paling berisik di media sosial. Paket internet dan kesehatan jempol membuat banyak orang merasa berhak mengatakan apa saja di media sosial. Belum lagi jargon “kebebasan berpendapat” membuat mereka makin yakin bahwa apa-apa yang mereka lakukan sah belaka.
Baca juga: Betapa Melelahkan Menjadi Hamba Tren
Lantas, apa sebenarnya yang menjadi penyebab netizen Indonesia begitu gampang ngoceh dan kelahi di media sosial?
Itu adalah pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Ada begitu banyak hal yang saling berkaitan, yang pada akhirnya memunculkan orang-orang yang sok gagah dan sok tahu di dunia maya. Selain faktor anonimitas yang sudah saya singgung di awal, ada sejumlah faktor lain yang membuat orang-orang bersuara nyaring di dunia maya. Pertama, keinginan untuk unjuk diri. Orang-orang yang tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan eksistensinya di dunia nyata cenderung mencari tempat alternatif untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa dirinya ada dan patut diakui. Dan dunia maya adalah tempat yang cocok untuk itu. Mungkin ada risiko yang harus ditanggungnya, tapi mereka tak akan peduli selama atensi yang mereka cari berhasil mereka dapatkan. Keinginan untuk unjuk diri inilah yang membuat banyak orang justru gembira ketika pendapatnya ditanggapi secara reaktif oleh netizen lain.
Kedua, pelampiasan dan pelarian dari problematika sehari-hari. Kita sama-sama tahu hidup ini tidak mudah. Setiap hari selalu saja ada masalah baru. Bahkan, pada waktu ketika kita pikir kita sedang menjadi makhluk paling bahagia, sebuah masalah kerap menerjang kita tanpa ba-bi-bu. Sebagian orang sanggup mengatasi masalah-masalah itu sendirian atau dengan cara bercakap-cakap dengan orang-orang terdekat. Tapi, bagaimana dengan orang-orang yang rentan dan tidak punya orang yang bisa diajak bicara mengenai problematika kehidupan? Lagi-lagi dunia maya memberikan jalan yang mudah bagi orang-orang masa kini untuk mencurahkan unek-uneknya. Curahan unek-unek ini bisa disampaikan lewat status ataupun komentar di sebuah postingan. Bukan hal mengejutkan bahwa sekarang banyak orang yang memiliki akun media sosial khusus yang mereka gunakan semata-mata untuk curhat atau meringankan pundak mereka yang menanggung banyak masalah.
Ketiga, pendidikan yang rendah seputar literasi digital. Apa yang saya maksud literasi digital di sini adalah di sisi teknis (cara menggunakan gadget dan perangkat digital yang ada di dalamnya) maupun etis (adab atau tata cara ketika berinteraksi dengan pihak lain di internet). Kita sepakat bahwa pendidikan itu penting. Dan pendidikan menjadi lebih penting lagi di era ketika orang-orang bisa saling terhubung dengan orang-orang di belahan dunia lain dengan mudah. Pendidikan—dalam hal ini literasi digital—tak banyak dibincangkan di rumah-rumah ataupun sekolah-sekolah. Orang-orang lebih suka membahas seri iPhone terbaru atau merk laptop termahal ketimbang mempelajari etika menggunakan internet. Rendahnya literasi digital ini membuat kita bisa dengan gampang menemukan orang-orang yang memiliki gadget berharga tinggi tapi berkelakuan memalukan di internet. Orang-orang seperti ini barangkali berpikir internet adalah dunia bebas nilai di mana melakukan apa pun halal hukumnya.
Mungkin masih ada faktor-faktor lain yang menyebabkan orang hobi berdebat di internet. Namun tiga faktor tersebut setidaknya cukup mewakili untuk membuat kita bisa lebih memahami fenomena yang terjadi. Tidak pernah ada faktor tunggal atas terjadinya suatu peristiwa di dalam dunia yang kompleks ini. Bisa saja ada orang-orang yang berpendidikan tinggi, tapi tetap doyan bikin ribut di internet. Mungkin karena mereka kurang perhatian atau tak punya orang yang bisa diajak bicara di dunia nyata. Bisa juga ada orang-orang yang sudah mendapat perhatian cukup dan tak punya masalah besar di dunia nyata, tapi lantaran tidak punya wawasan soal literasi digital tingkah mereka di internet pun jadi tak terkendali.
Kompleksitas ini pada akhirnya membuat kita harus bekerja sama untuk mengurangi potensi terjadinya kehirukpikukan yang tak perlu di internet. Misalnya, kita perlu untuk lebih memperhatikan lagi orang-orang di sekitar kita yang tampaknya tak terlalu dianggap di dalam lingkungan pergaulannya. Kita juga perlu menjadi teman bicara bagi orang-orang terdekat kita. Dan terakhir, kita perlu lebih menggencarkan lagi pengajaran soal literasi digital kepada orang-orang di sekitar kita. Hal terakhir ini menjadi kewajiban terutama bagi pemerintah untuk membuat regulasi terkait literasi digital, orang tua untuk mengajari anak-anak mereka, dan para guru untuk memberikan edukasi kepada siswa-siswa mereka. Rasanya tak berlebihan jika saya mengatakan pelajaran literasi digital adalah salah satu mata pelajaran terpenting yang harus dipelajari di sekolah-sekolah saat ini. Bukankah anak-anak sekolah zaman sekarang lebih banyak hidup di jagat digital ketimbang dunia nyata? (*)
1 thought on “Mengapa Banyak Orang Berdebat di Sosial Media”