Pada Mulanya Adalah Cinta
Published Date: 12 October 2022
Keponakan perempuan saya baru berusia 8 tahun, tapi ia punya banyak cerita menarik. Salah satu cerita menarik yang pernah ia tuturkan adalah tentang orang tuanya—tidak lain adalah kakak saya sendiri. S—keponakan saya itu—bilang bahwa ibunya melarang ia untuk bermain ponsel ketika lampu sudah dimatikan. Pada suatu malam ia memergoki ibunya bermain ponsel dan ia pun menggugat ibunya lantaran telah melakukan sesuatu yang dilarangnya sendiri. “Mama kok main hape sih? Katanya nggak boleh main hape kalo lampu udah dimatiin.” Kira-kira seperti itu bunyi gugatannya. Ketika mendengar ucapan S tersebut, ibunya cuma bisa tersenyum malu.
Saya tidak akan berbicara panjang lebar soal keponakan saya atau ibunya. Saya tertarik pada gugatan S. Saya tertarik pada fakta bahwa kata-kata kerap kali tidak ada gunanya. Baik untuk anak-anak, remaja, maupun orang dewasa, kata-kata yang tidak berjalan seiring dengan sikap ataupun tindakan si penutur biasanya meninggalkan efek yang berkebalikan. Banyak orang tua menginginkan anaknya mengurangi bermain ponsel dan memperbanyak waktu belajar. Tapi, apa peduli anak-anak itu pada omongan orang tua mereka kalau ternyata orang tua mereka justru lebih sibuk menatap layar ponsel daripada membuka buku? Itu hanya sebuah contoh. Kita bisa menderetkan setumpuk contoh lain. Contoh-contoh itu bisa dengan mudah kita temukan di sekitar kita atau malah pada diri kita sendiri.
Berhubung saya berkutat di bidang yang berkaitan dengan buku (saya menjual buku dan kadang-kadang menulis), saya akan berbicara tentang membaca. Di dalam keluarga saya, tidak ada seorang pun yang memiliki minat khusus pada membaca. Bahkan saya heran kenapa saya jadi suka membaca dan bersemangat mengoleksi buku. Sejujurnya, membaca memang bukan kegiatan yang akan membuat seseorang otomatis menjadi baik dan mulia. Kita tidak akan kesulitan menemukan penjahat kelas wahid yang hobi membaca buku. Tapi lupakan dulu soal sisi-sisi gelap semacam itu (toh, semua hal punya sisi gelap, bukan?).
Anggap saja kita sepakat membaca adalah perbuatan baik. Karena membaca adalah perbuatan baik, tentu saya senang kalau orang-orang yang saya kenal suka membaca. Saya berusaha memengaruhi orang-orang terdekat saya untuk menyukai membaca. Dari yang pernah saya amati, memberikan arahan langsung semacam ucapan “ayo baca buku, dong!” atau “masak sih kamu udah melek huruf tapi nggak suka baca?” adalah cara mengajak yang paling tidak efektif. Kebanyakan orang tidak suka perintah atau ajakan blak-blakan. Apalagi anak-anak. Anak-anak adalah peniru ulung, bukan obyek instruksi.
Saya pernah berusaha membiasakan keponakan saya untuk suka membaca. Saya sediakan kepadanya buku-buku bertema kanak-kanak yang penuh gambar dan ditulis dengan huruf-huruf berukuran besar. Pada kesempatan awal, ia menyukai buku-buku itu. Ia membaca buku tentang tank baja, buku cita-cita dwibahasa berjudul Aku Ingin Menjadi Polisi, hingga buku doa berilustrasi. Tetapi kebiasaan itu tak bertahan lama. Ia kembali pada ponsel dan kegiatan-kegiatan lainnya. Tak jadi soal. Yang penting saya sudah menanamkan pada dirinya bahwa membaca itu penting dan menyenangkan. Perihal apakah kemudian hari ia akan menjadi orang yang suka membaca atau tidak, biarlah itu menjadi pilihannya sendiri.
Oleh karena itu saya heran dengan orang-orang yang melarang membaca buku. Itu adalah seruan yang tidak masuk akal. Bahkan, “perintah untuk membaca” saja terkadang bukan keputusan yang bijak, apalagi “larangan untuk membaca”. Yang lebih mengherankan lagi biasanya orang-orang yang melarang membaca buku-buku tertentu tidak pernah membaca buku-buku yang dilarangnya atau tidak pernah membacanya dengan cara yang benar. Ada beberapa kalangan yang melarang bacaan fiksi. Kata mereka fiksi itu berisi kebohongan. Itu kesimpulan yang sukar diterima nalar. Fiksi tidak sesederhana “kebohongan”. Dalam esai ‘Benarnya Kebohongan’, Mario Vargas Llosa berujar: “Kebenaran sastra adalah satu hal, kebenaran historis lain perkara. Tapi kendati penuh kebohongan—atau malah justru karena itu—sastra mengisahkan ulang sejarah yang tidak bisa atau tidak sanggup ditulis oleh sejarah tulisan sejarawan.” Claudia Hammond dalam artikel ‘Apakah Membaca Buku Fiksi Bisa Membuat Kita Menjadi Manusia yang Lebih Baik?’ yang tayang di BBC juga menjelaskan sejumlah dampak positif membaca fiksi menurut penelitian ilmiah, salah satunya adalah fiksi bisa meningkatkan empati seseorang. Lagi pula, kalau seseorang ingin membaca buku yang seluruhnya berisi “kebenaran”, sebaiknya mereka membaca buku telepon saja. Terlepas dari semua itu, titik paling menyedihkan dari larangan membaca buku adalah ketika larangan itu muncul di sebuah negeri yang para penduduknya tidak akrab dengan buku.
Jadi, yang perlu kita lakukan bukanlah memerintah orang untuk membaca buku ataupun melarangnya. Tindakan paling masuk akal adalah menumbuhkan dulu kecintaan terhadap buku pada orang-orang yang tidak suka membaca buku. Kita bisa melakukannya dengan beragam cara. Misalnya dengan membiasakan aktivitas membaca buku di hadapan orang-orang sebagaimana kita tidak ragu-ragu bermain ponsel atau menyantap makanan di hadapan orang-orang (konon ilmu lebih penting daripada makan dan minum). Kemudian kita bisa melakukan hal-hal yang tidak secara langsung berhubungan dengan buku. Misalnya memberikan rekomendasi film tentang buku kepada teman-teman kita yang hobi menonton, menceritakan tentang publik figur yang suka membaca buku kepada saudara-saudara kita yang senang mengikuti berita artis, atau mengungkit-ungkit tokoh-tokoh besar yang mencintai buku kepada orang tua-orang tua kita yang menyukai politik. Ada banyak cara lain. Mungkin cara-cara tersebut tidak menjamin keampuhan, tapi setidaknya kita sudah mencoba.
Pada akhirnya apa yang terpenting adalah cinta. Para orang tua bisa memperkenalkan kecintaan terhadap buku kepada anak-anaknya dengan cara membaca buku saat anak-anak mereka sedang bermain di sekitar mereka. Para guru bisa memperkenalkan kecintaan terhadap buku kepada murid-murid mereka dengan cara membaca buku saat murid-murid mereka sibuk mengerjakan tugas di dalam kelas. Jika seseorang sudah mencintai sesuatu, kita tidak perlu memberikan instruksi apa-apa kepadanya. Ia pasti tahu apa yang seharusnya ia lakukan. Dan menumbuhkan cinta, termasuk menumbuhkan cinta orang-orang terhadap buku, kadang-kadang tak perlu dengan kata-kata. Cukup duduk di dekat mereka, buka bukumu, dan lanjutkan membaca. (*)