Psikohistori Sirah Nabawi: Baiknya Hati Para Sahabat Nabi
Published Date: 18 September 2023
Sumber sejarah utama dalam psikohistori sirah Nabawi tentu saja Al-Quranul Karim. Al-Quran secara gamblang menerangkan proses-proses mental di balik peristiwa-peristiwa sejarah. Kedudukan Al-Quran subagai sumber sejarah jelas tidak terbantahkan karena ia adalah kalam Allah yang validitas kebenarannya sudah disepakati para ulama dan cendekiawan yang jujur. Tidak seperti kitab-kitab suci agama lain, Al-Quran datang kepada kita lewat jalan yang mutawatir.
Allah Azza Wa Jalla adalah Zat Yang Maha Mengetahui kondisi psikologis seluruh hamba. Ada banyak ayat Al-Quran yang mengungkap kondisi psikologis para pelaku sejarah, motivasi-motivasi internal mereka, perilaku-perilaku kejiwaan yang muncul sebagai hasil dari proses mental di dalam qalb mereka. Dengan demikian, kita selaku pembaca bisa menyimpulkan faidah-faidah psikologi yang terdapat di balik peristiwa-peristiwa sejarah.
Dalam Surat Al-Imran ayat ke-103, Allah berfirman:
“Dan berpeganglah kalian kepada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (di masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menyatukan hati kalian, lalu menjadilah kalian dengan nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk.”
Lafal ‘fa-allafa baina qulubikum’ yang bisa diterjemahkan sebagai: ‘maka Allah menjinakkan/menyatukan hati kalian’ menerangkan bahwa persatuan itu hakikatnya berasal dan tumbuh dari dalam hati. Itulah persatuan hakiki. Maka pemahaman sebaliknya (mafhum mukhalafah) yang bisa disimpulkan: perpecahan yang paling hakiki adalah perpecahan hati. Hati tidak menyatu, tidak kompak, tidak sefrekuensi kata orang. Meski wajah tersenyum dan lahiriahnya berinteraksi.
Yang membuat hati para sahabat bisa menyatu dan sefrekuensi adalah keimanan yang kuat kepada Allah dan Rasul-Nya, kecintaan yang murni kepada agama Islam serta sifat tulus ikhlas yang jauh dari hasad. Dengan modal keimanan seperti ini maka lahirlah solidaritas yang tidak ada bandingannya dalam sejarah, sebagaimana diuraikan dalam Surat Al-Hasyr ayat ke-9.
Baca juga: Psikohistori Sirah Nabawi: Persaudaraan Muhajirin-Anshar
Allah juga menyebutkan bahwa Diri-Nyalah yang memberi taufik kepada para hamba-Nya hingga bisa beriman dan merasakan nikmat bersaudara dalam Islam, setelah sebelumnya mereka bermusuhan, berperang dan berada di tepi jurang neraka karena masih menganut agama kekafiran.
Persaudaraan dan menyatunya hati para sahabat Rasul itu adalah sesuatu yang tak ternilai, tidak bisa dihargai dengan segunung atau bahkan bergunung-gunung harta, sebanyak apapun.
“Dan Allah-lah Yang menyatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Kalaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi ini, niscaya kamu tidak mampu menyatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah menyatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Quran Surat Al-Anfal ayat ke-63)
Ayat ini memberi faidah bahwa nikmat persaudaraan itu mahal nilainya dan sekaligus teramat sulit, jika saja tidak ada campur tangan Allah di dalamnya. Maka, upaya apapun yang dikerahkan untuk menyatukan hati orang, membina persatuan dan persaudaraan atas dasar motif-motif duniawi, atau motif-motif pribadi, kalaupun berhasil, pasti sifatnya sementara dan tidak akan bertahan lama. Persaudaraan dan persatuan semacam itu hanyalah persatuan transaksional yang segera berakhir bersamaan dengan lekangnya ‘kontrak-saling-menguntungkan’ di antara para pihak.
Dalam surat Al-Hasyr ayat 11 Allah juga menerangkan solidaritas palsu orang munafik bersama Ahli Kitab yang tidak didasari persatuan hati, melainkan kesamaan kepentingan politik dalam memerangi kaum muslimin.
“Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir dari Ahli Kitab, ‘Sungguh, jika kalian diusir niscaya kami pun keluar bersama kalian, dan selama-lamanya kami tidak akan patuh kepada siapa pun demi kalian, dan jika kalian diperangi pasti kami akan bantu kalian.’ Dan Allah menyaksikan, bahwa mereka benar-benar pendusta.”
Di surat yang sama ayat 14 Allah berfirman,
“Mereka tidak akan memerangi kamu (secara) bersama-sama, kecuali di negeri-negeri yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu padahal hati mereka terpecah belah. Yang demikian itu karena mereka orang-orang yang tidak mengerti.”
Jadi persatuan kaum musyrikin itu semu dan palsu. Kamu kira mereka itu bersatu padahal hati mereka terpecah belah. Wa qulubuhum syatta. Hal itu karena mereka tidak faqih, tidak paham, tidak mengerti tentang agama dan kebenaran. Permusuhan di kalangan kaum musyrikin itu syadid, sangat keras. Karena dasar solidaritas mereka hanyalah kepentingan politik dan duniawi sesaat, bukan karena iman kepada Allah dan bukan karena cinta agama Islam.
Baiknya hati (Arab: ‘qalb’, jamak ‘qulub’) merupakan faktor yang menentukan terpilihnya para sahabat Muhajirin dan Anshar untuk menemani perjuangan Nabi Muhammad menyebarluaskan agama Islam.
Disebutkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, seorang sahabat yang mulia lagi pakar Al-Quran:
“Sungguh Allah melihat hati para hamba-Nya, maka Ia dapati hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hati yang paling baik, sehingga Ia memilih beliau untuk diri-Nya dan mengutusnya sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para hamba-Nya setelah hati Muhammad, maka Ia dapati hati para sahabat sebagai hati yang paling baik. Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka sebagai para pendukung Nabi-Nya. Mereka berperang demi membela agama-Nya. Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), pasti baik di sisi Allah. Dan apa yang dipandang buruk oleh mereka, pasti buruk di sisi Allah.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad, disahihkan sanadnya oleh Syaikh Ahmad Syakir).
Tentang karakter Nabi Muhammad dan para sahabatnya Allah diabadikan dalam Al-Quran Surat Al-Fath ayat ke-29:
“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras kepada orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.”
Itulah solidaritas keimanan: ruhama-u bainahum, lembut dan kasih sayang kepada sesama orang beriman, seperti satu jasad. Mereka mencintai apa yang dicintai saudaranya. Mereka banyak mengerjakan salat dengan rukuk dan sujud. Kata Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy: “Ibadah itu berbekas -lantaran banyak dan bagusnya- pada wajah mereka, hingga membuatnya bersinar.”
Kata beliau pula: “Demikianlah para sahabat Nabi radhiyallahu anhum, mereka laksana benih yang bermanfaat bagi para makhluk, manusia butuh kepada mereka, kuatnya iman dan amal mereka bagaikan kuatnya akar dan batang pohon.”
Semoga kita mampu menjadikan mereka sebagai teladan dalam iman dan amalan. Wallahul muwaffiq.
Referensi
- https://muslim.or.id/7201-keutamaan-para-sahabat-nabi.html
- Al-Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy, 1422/2002. Taisir Karimir rahman fi Tafsir Kalamil Mannan (pdf). Riyadh: Darussalam Lit Tauzi’ Wan Nasyr
- Al Hafizh Ibnu Katsir, 2013. Ringkasan Al-Bidayah Wan Nihayah (Terjemahan). Jakarta: Pustaka As-Sunnah
- Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, 1997. Sirah Nabawiyah (Terjemahan rahiqul Makhtum). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
1 thought on “Psikohistori Sirah Nabawi: Baiknya Hati Para Sahabat Nabi”