Selamat Tinggal Kabar Buruk, Selamat Datang Kabar Baik
Published Date: 24 November 2022
Saya pernah membaca sebuah ungkapan bahwa cara untuk menghindarkan diri dari berbagai drama dan kabar buruk adalah dengan mematikan televisi. Televisi, juga internet dan pelbagai media lain, memang pabrik yang tak pernah berhenti memproduksi kabar buruk. Televisi bisa memperkenalkan kepada kita berita buruk di daerah yang sangat jauh dari tempat kita berada. Berita buruk itu kadang membuat kita pusing dan gemetaran, dan kadang membuat kita lupa bahwa kita sebenarnya baik-baik saja, bahwa di sekitar kita orang-orang tersenyum lepas dan matahari bersinar cerah.
Tentu saja kita tak dapat menampik keberadaan hal-hal buruk. Sebagaimana kotoran, ia bisa ada di mana-mana. Mungkin kita mendengar kabar tetangga kita terlibat percekcokan, saudara kita ditipu orang, dan seseorang yang kita gemari jadi korban perampokan. Tapi, yang jadi masalah, tak jarang orang-orang membicarakan kabar buruk dengan porsi berlebihan, seolah-olah kabar buruk itu adalah hal paling penting sedunia. Kita memang perlu waspada terhadap keburukan, perlu belajar kepada kejadian-kejadian tak mengenakkan di masa silam, dan perlu memberi efek jera kepada orang-orang yang telah berbuat buruk. Namun di sisi lain kita juga perlu memperingatkan kepada diri kita sendiri untuk tidak terlalu dalam menyelam dalam lautan kabar buruk.
Apa yang terjadi kalau tubuh kita tercebur ke dalam sungai yang penuh lumpur dan kotoran? Tubuh kita akan kotor dan kita akan jijik terhadap diri sendiri. Dan apa yang akan kita lakukan untuk mengatasi tubuh yang kotor itu? Membersihkan diri, tentu saja, dengan air bersih dan sabun. Seperti tubuh yang kotor, kabar buruk juga perlu diatasi, salah satunya dengan mengakrabkan diri kepada kabar-kabar baik.
Suatu hari saya melakukan pencarian di situs tanya-jawab Quora. Saya melakukan pencarian dengan dua kata kunci. Pertama, “Apa berita baik yang kamu dengar hari ini?”; kedua, “Apa berita buruk/ mengerikan yang kamu dengar hari ini?”. Untuk pertanyaan pertama, saya memperoleh sebuah tautan yang berisi tiga jawaban berita baik. Sementara untuk pertanyaan kedua, saya memperoleh tautan yang berisi dua belas jawaban berita buruk. Tiga perempat orang lebih antusias menyampaikan kabar buruk daripada kabar baik. Sampel yang saya miliki memang terbatas dan berpotensi bias. Tetapi Anda boleh mencoba melakukan percobaan-percobaan sejenis, dan kemungkinan besar Anda akan menemukan bahwa orang-orang memberi perhatian lebih besar terhadap sesuatu yang buruk daripada yang baik.
Baca juga: Keajaiban Jalan Kaki
Namun sesungguhnya ini bukanlah hal yang mengejutkan. Manusia memiliki kecenderungan terhadap hal yang negatif. Manusia lebih gampang merespons sesuatu yang berbau ancaman. Bahasa puitisnya: manusia lebih memperhatikan setitik hitam dalam sebentang kanvas putih. Itu adalah pengaruh dari riwayat panjang evolusi manusia. Kecenderungan terhadap hal-hal negatif tersebut lazim disebut sebagai bias negativity (bias negatif). Itu adalah salah satu bias kognitif yang rasa-rasanya pernah menghampiri setiap orang, kecuali yang memiliki kewaspadaan tinggi untuk melawan segala macam bias yang melanda dirinya. Dalam salah satu buku terbaik yang pernah saya baca, Thinking, Fast and Slow, Daniel Kahneman menulis dengan detail dan cermat perihal berbagai macam bias kognitif. Saya kira itu adalah buku yang perlu dibaca semua orang yang ingin menjernihkan cara berpikirnya.
Kecenderungan manusia terhadap hal-hal negatif pun dimanfaatkan banyak pihak. Dalam jurnalisme masa kini, umpamanya, para pembuat berita lihai memainkan emosi manusia dengan membuat judul-judul yang clickbait. Dan judul-judul yang clickbait biasanya adalah judul-judul yang mengindikasikan berita buruk. Itulah kenapa media-media heboh memberitakan kekerasan dalam rumah tangga seorang artis, pertikaian dua publik figur, artis yang memakai narkoba, dan sederet berita tak sedap lainnya. Sementara kabar-kabar baik yang dilakukan figur-figur yang sama, yang boleh jadi jumlahnya lebih banyak daripada kabar-kabar buruk, hanya diberitakan sambil lalu, sekadar sepotong hiasan di sebuah ruang yang kotor dan apak. Bagi media “kabar buruk adalah berita baik”, sementar bagi para penyimaknya kabar buruk cuma jadi bahan tambahan untuk overthinking.
Demi menghambat serbuan kabar buruk, kita perlu membuka mata lebih lebar, mengais-ngais ingatan lebih dalam, dan mengurangi waktu membuka laman-laman berita dan menonton televisi. Dengan pandangan yang lebih jeli kita bisa menyaksikan apa-apa yang selama ini kita abaikan. Kita bisa mendapati kebaikan-kebaikan yang ada di sekitar kita. Kita bisa melihat orang-orang saling tegur dan sapa di jalan, kita bisa melihat seorang pengemudi sepeda motor menepi guna memberikan sekotak makanan kepada pemulung yang sedang beristirahat di tepi jalan, kita bisa melihat seorang anak muda membantu seorang nenek menyeberang jalan, dan banyak ragam kebaikan lainnya.
Tidak seperti kabar buruk, sering kali untuk mengetahui kabar baik kita harus bekerja lebih keras. Sebab, tidak banyak orang yang mau repot-repot menepuk pundak kita atau mengirim pesan WhatsApp ke kita dengan menyebarkan kabar-kabar baik. Kebanyakan orang lebih giat menyebarkan berita buruk dan gosip-gosip. Dan sekalipun ada orang yang menyebarkan kabar baik, sering kali kabar baik itu tenggelam di antara seliweran gunjingan dan omong kosong.
Oleh karena itu, guna mencapai hati yang tenang, kita perlu memberi jarak dari kabar-kabar buruk seraya berusaha mendekatkan diri sebisa mungkin kepada kabar-kabar baik. Hidup memang tidak akan terus baik-baik saja, tetapi setidaknya kita bisa memilih. Kita bisa memilih untuk mendengarkan kabar miring tentang orang lain atau kabar baik tentang orang yang sama. Kita bisa memilih untuk membuka laman-laman berita yang isinya pengetahuan-pengetahuan baru dan hal-hal yang menenteramkan hati atau kabar-kabar yang cuma bikin hati panas. Kita bisa memilih untuk mengingat-ingat apa yang terbaik dalam diri orang-orang yang kita kenal atau sebaliknya.
Lantas, apa kabar baik yang kamu dengar atau lihat hari ini? (*)
1 thought on “Selamat Tinggal Kabar Buruk, Selamat Datang Kabar Baik”