September dan Kompleksitas Sejarah
Published Date: 29 September 2023
Setidaknya ada dua peristiwa sejarah besar yang erat kaitannya dengan bulan September. Pertama, Gerakan 30 September 1965 di Indonesia. Kedua, Serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat. Yang pertama membuahkan wabah ketakutan dan kebencian akut terhadap PKI (Partai Komunis Indonesia), komunisme, dan hal-hal semacamnya di Indonesia. Sementara yang kedua memunculkan islamofobia di Amerika Serikat dan negara-negara Barat pada umumnya.
Dalam menyikapi suatu peristiwa sejarah, memang lebih gampang untuk menyimpulkan bahwa A salah dan B benar. Dalam dua peristiwa sejarah yang saya sitir di atas, setidaknya demikianlah yang terjadi. Di negeri ini mayoritas orang menganggap peristiwa G30S sebagai sepenuhnya dosa PKI, bahwa orang-orang komunis pantas mati, bahwa narasi penguasa (dalam hal ini pemerintahan Orde Baru) adalah kebenaran mutlak. Di Amerika Serikat sana, selepas kejadian penabrakan dua pesawat ke Menara Kembar World Trade Center, Islam dan orang-orang Islam segera menjadi sasaran kebencian. Dalam artikel BBC, Shamsi Ali—seorang imam asal Indonesia yang bermukim di Amerika Serikat pada saat 11/9 terjadi—pernah mengungkapkan soal apa yang ia alami selepas peristiwa 11 September. Suatu hari ia menumpangi taksi. Sopir taksi yang tak mengetahui dirinya beragama Islam, mencaci maki Islam dan orang Islam saat Shamsi Ali berada di dalam taksi.
Melihat sejarah artinya melihat sesuatu yang jauh. Dan untuk memperoleh pandangan yang jernih dalam melihat sesuatu yang jauh, kita harus menggunakan alat bantu, entah kacamata canggih maupun teropong. Sulit menghasilkan pandangan yang jernih dengan mata telanjang, apalagi dengan mata yang separuh terbuka, atau malah dengan mata tertutup. Dalam hubungannya dengan melihat sejarah, alat bantu itu bisa berupa wawancara langsung terhadap pelaku sejarah, membaca buku, memeriksa dokumentasi sejarah, dan mendengarkan kesaksian dari semua pihak.
Di masa sekarang, akses informasi terbuka lebar. Kita bisa membaca apa pun, mewawancarai siapa pun, dan pergi ke mana pun yang kita kehendaki untuk menelusuri kesahihan suatu peristiwa sejarah. Semakin banyak kita mengumpulkan informasi soal suatu peristiwa sejarah, semakin luas radar kita dalam memburu informasi sejarah (misalnya dengan menggali informasi dari dua pihak yang saling berselisih, bukan hanya dari satu pihak), akan semakin lengkap pula pengetahuan sejarah yang kita miliki. Dan dengan kelengkapan pengetahuan sejarah itu bisa membantu kita untuk lebih Insaf dalam menyikapi suatu peristiwa sejarah, akan membuat kita paham bahwa dalam setiap peristiwa sejarah, tidak ada kebenaran tunggal. Kadang kala “kebenaran” informasi itu tergantung pada apa yang kita baca, apa yang kita dengar, apa yang dapat kita akses. Dengan melihat sejarah secara keseluruhan, kita bisa terhindarkan dari simplifikasi dalam menyikapi sejarah.
Soal G30S, umpamanya. Pihak Orde Baru dan pendapat arus utama di Indonesia meyakini bahwa PKI adalah aktor antagonis tunggal dalam tragedi itu, bahwa mereka membantai para jenderal, bahwa mereka hendak memberontak, dan seterusnya. Di sisi lain, banyak kesaksian dari orang-orang yang dituduh komunis pada era 60-an merasa bahwa mereka adalah korban. Banyak buku yang membicarakan tentang kejahatan PKI pada tragedi 1965 sebagaimana banyak pula buku yang membahas bahwa PKI dan orang-orang yang dituduh komunis pada masa itu adalah korban, bahwa fakta yang terjadi tidak semengerikan seperti tampil dalam film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI (1984). Kenyataan ini pun membuahkan tanya.
Lantas, mana yang benar?
Di sinilah kompleksitas sejarah. Mengenai G30S, saya tidak berkepentingan untuk menyebut PKI sebagai pihak yang salah ataukah PKI sebagai korban. Itu bukan topik utama tulisan ini. Yang ingin saya tekankan adalah pentingnya untuk menghimpun informasi terlebih dahulu sebelum berkesimpulan apa-apa. Terlebih ini mengenai peristiwa yang sudah lama berlalu dan menyangkut banyak orang. Jangankan soal peristiwa besar macam G30S, peristiwa yang melibatkan sedikit orang saja kerap menimbulkan banyak kontroversi dan persilangan pendapat. Lalu, bagaimana mungkin kita bisa yakin peristiwa sebesar G30S hanya punya satu versi cerita?
Dalam Surat Al-Hujurat ayat 6, Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah (fatabayyanuu) dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Ayat yang membuat kata “tabayyun” menjadi populer itu adalah ayat penting dalam Al-Qur’an yang menjadi dasar adab bagi orang-orang Islam saat menerima suatu informasi. Tabayyun harus dilakukan bukan hanya saat kita atau orang-orang di pihak kita hendak membela diri, tapi juga saat kita mendapatkan informasi tentang orang-orang atau pihak yang kita tidak sukai atau pihak yang memiliki perbedaan pendapat dengan kita. Inilah yang sukar dan sering orang lupakan. Dalam konteks memahami sejarah, tabayyun adalah bagian penting—kalau bukan bagian terpenting—yang tak boleh diluputkan. Ketika kita membaca suatu narasi sejarah yang mengatakan A jahat, B pahlawan, C pengkhianat, dan sebagainya, hal yang seyogianya harus kita lakukan pertama kali adalah mempertanyakan kebenarannya. Betulkah demikian? Betulkah A jahat? Betulkah B pahlawan? Betulkah C pengkhianat? Dan untuk memastikan semua informasi itu, yang perlu kita lakukan adalah ber-tabayyun. Ber-tabayyun ada banyak bentuknya. Bisa dengan membaca buku-buku (terutama buku-buku yang ditulis dari sudut pandang yang berlainan dengan kita), menanyai orang-orang yang ahli, atau membandingkan informasi yang kita dapat dengan informasi-informasi yang dimiliki orang lain yang kita tahu memiliki wawasan mengenai hal tersebut.
Tanpa usaha untuk mau membandingkan semua informasi yang tersedia agar bisa memperoleh data sejarah yang lebih dekat kepada kebenaran, sulit bagi kita untuk bisa bersikap adil. Padahal dalam Surat Al-Maidah ayat 8 Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Tanpa tabayyun dan sikap adil, kita akan menyaksikan peristiwa sejarah cuma jadi momen untuk menyuburkan dendam kesumat dan kebencian. Kita bisa lihat apa yang terjadi di negeri-negeri Barat selepas 11 September 2001. Mereka menganggap biang keladi pemboman WTC adalah Islam dan orang-orang Islam. Hanya karena ada beberapa orang yang mengatasnamakan Islam yang menjadi pelaku pemboman itu, lantas mereka jadi membenci Islam dan orang-orang Islam secara menyeluruh. Tentu itu buah dari ketiadaan tabayyun dan sikap adil. Seandainya orang-orang itu mau riset sedikit saja bahwa Islam adalah agama kedamaian dan penuh rahmat, bahwa individu yang mengatasnamakan Islam tidak lantas menjadi representasi Islam, niscaya mereka tidak akan fobia dan benci terhadap Islam sedemikian rupa.
Pada akhirnya, bulan September ini dapat kita jadikan momentum untuk mengingat bahwa sejarah adalah hal yang begitu kompleks. Dan kompleksitas sejarah menuntut kita untuk bekerja lebih keras dalam memahaminya serta tidak gegabah mengambil kesimpulan. Sebab yang terpenting dari sejarah dan mempelajari sejarah adalah bukan soal mana pihak yang benar dan mana pihak yang salah, tapi sejauh mana informasi dan faedah yang bisa kita petik dari data-data sejarah tersebut. Apakah dengan mempelajari sejarah pikiran kita jadi lebih luwes dan berhati-hati ataukah malah jadi tambah picik dan sempit? Jika yang terjadi adalah yang kedua, maka kita boleh berburuk sangka bahwa ada yang keliru pada cara kita mempelajari sejarah selama ini.