Siasat Bertahan Hidup bagi Generasi Sandwich
Published Date: 13 September 2022
Ada hal menarik dari sebuah problema kehidupan saat ini, yaitu tumbuhnya generasi sandwich. Secara mudahnya generasi sandwich dimaknai sebagai sebuah tingkat usia yang dibebani oleh tanggungan hidup satu generasi di atasnya (biasanya dimaknai sebagai orang tua) dan satu generasi di bawahnya (yakni anak-anak mereka).
Problematika generasi sandwich ini, sebagian ditangkap hanya berkaitan dengan perkara ekonomi dan kesejahteraan saja. Padahal, urusan ini dapat pula dimaknai dengan dimensi lebih luas seperti sudut pandang kecenderungan berpolitik hingga perkara pemahaman agama. Kadang-kadang bukan hanya perihal yang disebutkan tadi saja, namun permasalahan bisa meluas hingga urusan psikologis dan problematika kepengasuhan. Sebab, kepengasuhan dalam hidup generasi sandwich, dapat diartikulasikan dalam dua nilai sekaligus, yakni mengurus orang tua, dan mendidik anak. Tentu permasalahan ini akan menjadi pelik, saat kedua hal tadi, mengurus orang tua dan mendidik anak, dilakukan dalam satu rumah secara bersamaan.
Menurut Carol Abaya (dalam Abramson, 2015) kategori generasi sandwich adalah the club sandwich dan the open faced sandwich. The club sandwich terdiri dari orang dewasa umur 50-60 tahun, yang terhimpit antara lanjut usia, anak, dan cucu, atau seorang individu dewasa dalam usia 30-40 tahun dengan anak kecil, orang tua yang menua, serta kakek dan nenek. Adapun the open faced sandwich adalah siapapun yang terlibat dalam memberikan pengasuhan kepada kerabat yang sudah berumur. (Khalil: 2022)
Mengenai keberadaan generasi sandwich di Indonesia adalah dalam hasil survei yang dilakukan oleh JAKPAT pada tahun 2020, menunjukkan hasil bahwa tercatat 48% masyarakat Indonesia merupakan generasi sandwich (JAKPAT, 2020), dengan jumlah 48% dari data tersebut di antaranya berusia 20-29 tahun (Bayu, 2021). Menurut Miller (1981) Mereka harus membiayai kebutuhan utama keluarga mereka, seperti membayar utang, membiaya kesehatan dan pendidikan anggota keluarga, disamping harus memenuhi kebutuhan untuk diri mereka sendiri. Peran ganda yang dijalankan oleh generasi sandwich dapat berimplikasi pada penurunan kesehatan peningkatan stres, dan ketidakmampuan untuk menemukan keseimbangan dalam hidupnya (Yuliana, 2021), terlebih sebagai seorang pekerja.
Dari beberapa kriteria uraian di atas, tentu perkara generasi sandwich dalam kehidupan berbangsa serta bernegara tidak bisa dianggap remeh. Mereka merupakan penopang ekonomi aktif dalam sebuah mata rantai kehidupan yang melibatkan tiga generasi sekaligus. Dapat dibayangkan tentunya bila suatu ketika, kebijakan pemerintah tidak berpihak pada perekonomian generasi sandwich. Dampaknya tidak hanya untuk mereka, tapi dua generasi lain.
Selain itu juga kita melihat bahwa generasi ini, punya angka yang cukup signifikan dalam data statistik untuk membuat denyut nadi perekonomian sektor lain tetap bergerak. Sehingga tidak salah, jika kenaikan BBM misal, atau biaya kebutuhan pokok tiba-tiba melonjak harganya, atau setidaknya pemerintah melipat gandakan tarif dasar listrik. Akan menjadikan kemampuan bertahan hidup mereka yang sebelumnya masuk level survive, bisa jadi menuju level struggling. Bila lewat level struggling, mungkin tinggal menuju elaminating. Tentang siapa generasi yang mengalah atau kalah lebih dulu. Entah orang tuanya yang meninggal karena tak mampu lagi membayar biaya kesehatan, atau anak mereka yang terancam putus sekolah, sebab memenuhi pangan harian lebih perlu untuk diselesaikan.
Sehingga tidak heran menurut penelitian Brenna (dalam Dewi, 2022) Beban pengasuhan pada generasi sandwich dapat memengaruhi psikis, fisik, pekerjaan, fungsi psikososial, penilaian kehidupan, perkawinan dan kualitas hidup. Masalah kelelahan muncul saat beban perawatan terlalu berat karena tanggung jawab ganda pada kedua generasi, yang kemudian dapat mengalami perasaan tidak mampu sehingga dapat mengakibatkan gangguan kesehatan mental.
Bersiasat sebagai Generasi Sandwich
Keseluruhan uraian menunjukkan bahwa beban hidup yang ditanggung oleh generasi sandwich berkisar pada tiga hal besar yakni, fisik, mental, dan tentunya finansial. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Graessel, Lichte, & Grau (2014). Tentu kesemua hal tadi punya satu kalimat kunci dalam mengatasinya, yakni harus terus sehat agar mampu memperjuangkan kehidupan!
Namun, jangan hanya berhenti sampai di sana, kita harus mampu menyiasati beban kehidupan yang dihadapi oleh mereka yang berada dalam pusaran hidup generasi sandwich. Beberapa hal tersebut dapat dicermati melalui pendekatan berikut:
Pertama, sebab hidup adalah berjuang. Dengan menjadi generasi sandwich yang berada dalam keadaan ‘terpaksa’ untuk memenuhi kebutuhan hidup orang lain, atau tidak menjadi generasi sandwich sekali pun, kita tentu harus memaknai bahwa hidup ini adalah rangkaian proses perjuangan yang dapat menjadikan kita lebih baik di masa datang.
Soal cara, tentu kita punya rahasianya, namun ingat, soal hasil adalah milik Allah Ta’ala semata. Dan tentu semestinya dengan menjadi generasi sandwich, hal itu merupakan kebaikan, terlebih untuk menjadi suluh semangat dalam mencari nafkah yang halal. Sebab kelak nafkah tersebut akan diberikan kepada orang tua kita, yang telah mendidik dan membesarkan diri hingga hari ini, serta anak yang melanjutkan estafet kehidupan di kemudian hari. Sehingga berjuang bukan hanya sekadar berjuang, tapi juga harus disertai dengan niatan mencapai kehalalan dari hasil yang didapat nantinya.
Al Imam Asy Sya’bi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya di antara nafkah yang dilipatgandakan sampai 700 kali lipat adalah nafkahnya seseorang kepada dirinya dan keluarganya.“ (Ibnu Abi Syaibah fil Mushannaf: 27178)
Perjuangan seseorang dalam menafkahi keluarga secara halal, menjadikan harta yang didapat merupakan harta terbaik bagi seorang muslim pastinya, sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melalui hadis yang diriwayatkan oleh Tsauban radhiyallahu ‘anhu, “Sebaik-baik dinar (uang atau harta) yang dinafkahkan seseorang, ialah yang dinafkahkan untuk keluarganya, untuk ternak yang dipeliharanya, untuk kepentingan membela agama Allah, dan untuk para sahabatnya yang berada di jalan Allah.” (HR. Muslim No. 994)
Kedua, yakinlah bahwa rezeki setiap hamba takkan pernah tertukar, dan seseorang tak mendapatkan kerugian dari nafkah yang diberikan atas orang tua serta anaknya. Sebab, Allah-lah yang menjamin rejeki setiap hamba. Sehingga, modal yang telah kita miliki sebagai manusia, sebagai pemberian dari Allah, selama diusahakan dengan baik. Ia akan hadir dari arah yang tak disangka-sangka.
Mungkin masih lekat dalam ingatan, tentang salah satu unggahan warganet yang sempat ramai, tentang ayah atau kepala rumah tangga, kadang kala, ia harus memutar kepala untuk pergi keluar, walau saat itu belum tahu apa yang dilakukan. Atau tentang seorang bapak yang pergi pamit dari rumahnya, meminta doa dari istri dan anaknya lalu bekerja seperti biasa, sedangkan ia menyembunyikan sesuatu perihal pekerjaannya yang baru saja diberhentikan. Setelahnya, ia pulang dengan hasil mungkin tidak sepadan, tapi dapat dimakan oleh seisi rumah sebagai bentuk rejeki barakah dan itulah doa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadis:
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika hamba berada di setiap pagi, ada dua malaikat yang turun dan berdoa, “Ya Allah berikanlah ganti pada yang gemar berinfak (rajin memberi nafkah pada keluarga).” Malaikat yang lain berdoa, “Ya Allah, berikanlah kebangkrutan bagi yang enggan bersedekah (memberi nafkah).” (HR. Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010)
Ketiga, tentu sulit bagi kita untuk menepis pentingnya rasa sabar dalam hal ini. Sebab sabar adalah mahkota yang semestinya dimiliki seorang mukmin. Jangan pernah pedulikan ucapan orang lain bernada, “Sabar terus, mau sampai kapan?” Tak perlu pula mengeluhkan bisikan jauh dalam diri, “Situ enak cuma bilang sabar, lah kita yang jalanin, gak semudah cocote Mario Teguh hidup tuh!”
Ketika sudah mematrikan sabar dalam hati kita, saat itu juga harus dipikirkan, bahwa yang terjadi pada diri ini, sebagai generasi sandwich dengan sekian tanggungan, bukanlah kita seorang diri. Jumlahnya banyak. Ada 48% populasi manusia di Indonesia, yang sama-sama harus terus merawat sabar. Mempertahankan diri untuk tidak mengakhiri hidup, padahal mungkin bisa saja melahirkan stres dan depresi. Mungkin inilah yang menjadikan Allah masih melindungi bangsa kita. Bisa jadi bukan karena pemimpinnya yang adil, tapi rakyatnya yang terus-menerus sabar.
Keempat, pergunakan waktu dengan cermat. Generasi sandwich dengan segudang tanggung jawab yang dimiliki, haruslah cermat saat memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Karena ia memiliki tiga peran sekaligus dalam hidupnya. Ia sebagai anak, sebagai orang tua, dan yang kerap luput adalah peran menjadi dirinya sendiri. Oleh karena itu, pembagian waktu secara cermat bisa mengantarkan kepada kebaikan dikemudian hari, dan mengalokasikan waktu bagi diri sendiri, dapat membuat mentalnya lebih sehat.
Mungkin perlu melepas penat keluar kota dan menginap bersama keluarga inti sebagai bentuk pendidikan di luar rumah atau alam terbuka, atau dapat juga menjadwalkan pergi makan di tempat mahal, dan bisa saja sesekali mengagendakan hobi dalam sehari saja, demi kesehatan jiwanya. Sehingga saat kembali menunaikan tugas sesuai perannya, kala pergi mencari nafkah serta pulang ke rumah mendedikasikan diri bagi keluarga, sudah punya kesegaran jiwa yang prima.
Kelima, komunikasikan dengan baik kepada dua generasi di rumah. Sebagai seorang ayah mungkin, ia harus memberikan rasa pemahaman kepada keluarganya, baik itu istri serta anaknya. Bahwa di sini atau di sana yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Ada kewajiban ayah untuk menjaga kakek dan nenek mereka atau mertua bagi ibundanya. Sebagai seorang ibu, yang bisa jadi, orang tua masih menuntut adanya uang belanja lebih atas anak perempuannya untuk diberikan kepada mereka. Haruslah menyampaikan dengan baik kepada suami, bahwa ada orang tua yang perlu ditengok untuk melihat keadaan, terlebih kadang wanita perlu untuk melepas jenuh dan berbincang dengan orang tuanya, tanpa perlu diketahui oleh sang suami.
Artinya, komunikasi menjadi kunci bagi segala keadaan. Ia tak bisa diselesaikan hanya melalui perangkat gawai. Komunikasi baru tuntas bila dilakukan perjumpaan. Sebab, betapa banyak kesalah pahaman muncul dari minimnya perjumpaan. Ini bagi mereka yang orang tuanya tak tinggal bersama.
Ada pun bila orang tuanya tinggal bersama, tentu perlu memberikan pemahaman kepada mereka. Bahwa sebagai anak, ia juga punya tugas sebagai ibu bagi anaknya, atau kepala rumah tangga atas keluarganya. Bisa juga disampaikan kepada orang tua, agar kelak tidak memberikan intervensi berlebihan dalam memantau pola pendidikan yang dilakukan anak mereka atas cucu-cucunya. Karena komunikasi yang sehat seperti ini, bisa menjadi pangkal kesuksesan bagi generasi sandwich di masa datang, sebab bisa jadi orang tua lebih dahulu meninggalkan mereka, namun jangan sampai perginya orang tua, meninggalkan sisa ketergantungan cucunya secara berlebihan, hingga orang tua aslinya tak tahu bagaimana harus mendidik anak mereka. Sedang biasanya, mereka senantiasa menitipkan pada kakek atau neneknya.
Baca juga: Senjakala Citayam Fashion Week
Generasi Sandwich bukan Dilema
Menjadi generasi sandwich, bukanlah sebuah dilema. Karena, satu sisi ia menjadi sebuah kesempatan untuk berbakti kepada orang tua yang telah membesarkan mereka, dan untuk hal demikian memiliki harga mahal serta balasan besar di sisi Allah. Sedang di sisi setelahnya, mereka tetap memiliki peran penuh dalam kepengasuhan di rumah tangga. Itulah mengapa, soal urusan generasi sandwich, semestinya tidak hanya berkutat pada urusan ekonomi. Tapi yang lebih mahal dari itu semua adalah urusan mengatur perkara kepengasuhan di dalam menjalankan peran.
Sebab soal ekonomi, itu merupakan ketakutan yang dihembuskan oleh Barat, akan kerdilnya pemahaman dalam mencari nafkah. Seorang muslim yang taat, dan beragama dengan benar. Tak pernah ada kekhawatiran atas dirinya dalam memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangganya. Entah sebagai generasi sandwich atau pun tidak. Terlebih mereka senantiasa condong mendapatkan nafkah halal.
Sungguh indah perkataan Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir as-Sa’di rahimahullah dalam Bahjah al-Qulūb al-Abrar, jilid 1, hlm. 36:
“Seorang hamba, menjadi kemestian baginya dalam mencari rezeki. Maka wajib baginya untuk menempuh yang paling bermanfaat dari sebab-sebab dunia yang cocok dengan keadaannya, dan tentu setiap manusia dalam keadaan berbeda-beda mengenai hal ini.
Dan hendaknya dia membangun tujuan atas pekerjaan dan usahanya tersebut demi menegakkan kewajiban terhadap dirinya, keluarga dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya, meniatkannya agar memiliki kecukupan dan tidak meminta-minta kepada makhluk, demikian pula hendaknya dia bertekad dengan usaha dan pekerjaannya agar bisa menegakkan ibadah dari hartanya seperti zakat, sedekah dan nafkah kebaikan, baik yang sifatnya khusus maupun yang umum dari hal-hal yang menjadi kebaikan bagi harta tersebut.
Dan hendaknya dia mencari penghasilan yang baik, menjauhi penghasilan yang jelek juga haram. Kapan pun tujuan seorang hamba dalam hal usahanya di dunia ini untuk tujuan-tujuan yang mulia serta dilakukan dengan menempuh jalan yang dipandang cocok dengan keadaannya, maka setiap gerakan dan usahanya menjadi bernilai ibadah yang mendekatkan dirinya kepada Allah.”
Referensi:
Dewi, Astried Almira, Skripsi: Hubungan Antara Strategi Koping Dan Beban Pengasuhan Pada Generasi Sandwich, Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi Dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Yogyakarta: 2021. (Diunduh dari: https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/34535)
Khalil, Raihan Akbar dan Meilanny Budiarti Santoso, Generasi Sandwich: Konflik Peran Dalam Mencapai Keberfungsian Sosial, Unpad Bandung: 2022, Social Work Journal, Vol. 12, No. 1, Hal. 77-87. (Diunduh dari: http://journal.unpad.ac.id/share/article/view/39637/18147)