Yuk, Belajar Berinvestasi!

Setelah mengetahui fase I dan II dalam kehidupan finansial seseorang (Baca tulisan sebelumnya berjudul: Investasi “Leher ke Atas” Jadi yang Terbaik, Yakin?), maka seharusnya tidak susah untuk menginjak fase berikutnya. Dimulai dari fase I: bisa memenuhi kebutuhan hidup dengan layak, lalu fase II: menabung. Fase III yang akan dibahas pada tulisan kali ini yaitu berinvestasi. Karena dari menabung ke investasi hanya perlu menggeser bentuk tabungan sebelumnya, dari berbasis mata uang ke aset yang lebih bernilai di masa depan. 

Teorinya adalah tabungan yang berbentuk cash (mata uang) cukup dibatasi sampai dengan 3 hingga 6 kali pengeluaran pokok bulanan (sumber lain 3-6 kali gaji bulanan), contoh jika pengeluaran pokok bulanan kita Rp 2.300.000.- maka kita cukup menyediakan tabungan sebesar Rp6.900.000.- sampai dengan Rp 13.800.000.-. Dana ini biasa disebut dengan istilah “Dana Darurat”. Realitanya tergantung situasi dan kondisi seseorang. Jika ada dana lebih dari itu, lebih baik sisanya diinvestasikan, karena tabungan berbasis tunai sifatnya tidak produktif dan akan tergerus daya belinya karena inflasi. Makin lama mengendap pada rekening Anda, makin berkurang daya belinya. Nah, kali ini akan kita bahas investasi berbasis financial capital.

Sebelum terjun ke dunia investasi perlu diketahui satu mindset penting yaitu, “Investasi Tidak Sama Dengan Cara Cepat Kaya!” sehingga faktor resiko dapat diminimalisir. Sudah menjadi hukum ekonomi bahwa semakin tinggi imbal hasil produk investasi maka semakin tinggi pula resikonya. Namun yang perlu digaris bawahi, “Resiko itu berbanding terbalik dengan pengetahuan”.

Itulah mengapa, dalam bahasa agama, kita tentu pernah mendengar perkataan para ulama tentang pentingnya berilmu sebelum beramal, tidak hanya dalam dunia agama saja namun hampir dalam semua aspek kehidupan. Jangan sampai niat hati ingin berinvestasi agar aset kita bertambah suatu saat nanti, tapi malah boncos nyaris habis atau bahkan habis tak bersisa karena terjebak investasi bodong, skema ponzi, money game dan sebagainya.

Berapakah patokan tinggi rendah imbal hasil (return) suatu produk investasi yang aman? Jawabannya tergantung instrumennya, yang jelas jangan mudah tergiur dengan iming-iming imbal hasil yang tinggi tanpa kita ketahui secara mendalam apa dan bagaimana instrumen itu bekerja.

Baca juga: https://ufukmedia.co/perlunya-logika-dalam-berinvestasi/ )

Sebagai seorang muslim tentu ada rambu-rambu yang harus diperhatikan sebelum memilih dan memilah instrumen investasi, karena tidak semua instrumen tersebut sesuai dengan kaidah syariah. Walaupun MUI dengan fatwanya sudah mendefinisikan dan memberikan legitimasi untuk instrumen tertentu halal/tidak, kita tetap perlu mendalami lebih intens lagi agar lebih aman dan nyaman ketika berinvestasi.

Instrumen untuk Investasi

Berikut beberapa contoh instrumen yang perlu dipertimbangkan untuk media berinvestasi.

  • Emas

Emas merupakan salah satu instrumen investasi paling populer dan paling tua didunia. Karena nilainya cenderung stabil maka dia berfungsi sebagai pelindung nilai dari fluktuasi nilai suatu mata uang (save haven). Saat ini investasi emas sudah berevolusi menjadi berbagai bentuk fisik maupun metodenya, fisik seperti perhiasan maupun emas batangan bersertifikat. Metode Menabung Emas Online yaitu program tabungan emas yang difasilitasi oleh suatu pihak ketiga sebagai lembaga penyimpannya.

Cara kerjanya kita membeli emas berdasarkan pecahan tertentu bahkan dengan nominal kecil sekalipun kemudian dana tersebut akan dikonversikan ke harga emas dipasar komoditas. Emas yang kita beli akan disimpan di pihak ketiga (lembaga penyimpan emas). Ketika kita menghendaki dan sudah memenuhi batas minimal gramasi yang dapat dicetak fisik maka kita bisa menarik fisik dari emas tabungan kita atau kita tetap memilih untuk menyimpan di lembaga penyimpan tersebut tanpa pernah menarik fisik tabungan emasnya dan langsung bisa menjualnya jika diperlukan.

Dilihat dari mekanisme di atas, menurut penulis setidaknya ada 2 kaidah yang bertentangan dengan syariat islam, yaitu :

“Jual beli emas harus dilakukan secarai tunai” dan “tidak ada kejelasan apakah pihak ketiga (lembaga penyimpan emas) tersebut benar-benar punya underlying berupa emas sejumlah nilai investasi nasabahnya”, karena tidak semua nasabah langsung mengambil wujud fisiknya secara langsung dan bersamaan, kemungkinan besar saldo deposit emas di lembaga pihak ketiga tersebut tidak benar-benar berwujud emas 100%. 

Menurut pendapat penulis, jika ingin berinvestasi emas sebaiknya langsung membeli emas batangan bersertifikat resmi. Sekarang sudah banyak dicetak emas dengan gramasi kecil mulai dari 0.25 gram s/d 1 gram sehingga lebih ringan ketika membelinya. Oia, satu tips lagi jika ingin berinvestasi emas yaitu jangan dalam bentuk emas perhiasan karena (berdasarkan pengalaman) harga jual kembali tidak berbanding lurus dengan harga jual emas di pasaran walaupun harganya sudah naik karena berbagai faktor internal (rusak, kusam, dll.) maupun eksternal (kecurangan toko emas).

  • Tanah 

Investasi yang “gak ada matinya”, adalah tanah. Mengapa demikian? Sebab, di permukaan bumi jumlahnya tidak akan bertambah luas secara signifikan, sehingga menjadikan obyek tersebut sarana investasi, karena hampir bisa dipastikan, harganya selalu naik dalam jangka panjang. Sebelum berinvestasi dalam bentuk tanah perlu diperhatikan beberapa faktor kunci seperti harga jual pasaran saat itu, lokasi yang strategis, perawatan secukupnya (jangan sampai patok digeser orang) dan beban yang menyertainya (pajak PBB). Berinvestasi tanah membutuhkan modal di awal yang sangat besar.

  • Rumah 

Sama seperti tanah, rumah merupakan salah satu aset investasi yang umum di masyarakat, namun bagi penulis rumah yang menjadi aset adalah rumah yang bisa mendatangkan arus kas seperti rumah yang disewakan. Jika rumah untuk tempat tinggal sendiri maka bukanlah termasuk aset produktif. Harga rumah sering dianggap selalu merangkak naik, namun hal ini juga kurang tepat menurut penulis, mengapa? Karena rumah dan properti sejenis termasuk aset yang cyclical atau tergantung siklus suatu daerah, jika didaerah tersebut sedang boom orang kaya baru biasanya akan diikuti booming properti. Seperti di Indonesia tahun 2013 keatas ada booming sektor properti sehingga dengan bangganya Venny Rose (presenter iklan di TV) berkata, “Senin harga naik!”. Tapi setelah tahun 2015 kondisi berubah, bahkan beberapa developer ada yang pailit dan bangkrut. Harga jual properti pun relatif stagnan beberapa tahun terakhir, hanya ada kenaikan sedikit menyesuaikan inflasi.

  • Sukuk / Sukuk Ritel

Menurut pendapat penulis berdasarkan informasi yang didapat, sukuk merupakan bentuk lain dari obligasi atau surat hutang tapi “diberi label syariah” dengan konsep sewa menyewa. Lebih jelasnya dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Pak Darso mempunyai rumah di daerah A seluas 90 M2 dengan harga pasaran disana katakanlah Rp500.000.000.-. Saat ini pak Darso sangat membutuhkan uang untuk usahanya dengan jaminan rumah tersebut, akhirnya pak Darso menerbitkan sukuk dengan underlying rumah tersebut dengan jangka waktu 5 tahun dan akhirnya dibeli oleh Budi seharga Rp500.000.000.-. Sekarang Pak Budi menjadi pemilik rumah tersebut. Namun Pak Darso tetap menempati rumah yang sudah dijual ke pak Budi tersebut dan sekarang posisi pak Darso adalah penyewa. Pak Darso membayar sewa sebesar  Rp10.000.000.- per tahun selama 5 tahun. Di Tahun kelima pak Darso wajib membeli kembali rumah tersebut seharga Rp500.000.000.- dari pak Budi, dan Pak Budi wajib menjualnya pada harga tersebut. Jadi total dana yang dibayarkan oleh pak Darso ke pak Budi selama 5 tahun adalah Rp550.000.000.-. Berdasarkan informasi dan pengetahuan penulis begitulah gambaran cara kerja sukuk maupun sukuk ritel (sukuk yang ditawarkan ke masyarakat). 

Menurut pendapat penulis setidaknya ada 2 hal yang mengganjal dari sisi syariat, yaitu 2 akad dalam satu transaksi (jual beli dan sewa menyewa) dan kondisi harga jual kembali rumah tersebut. Yang pertama jelas jual beli dan sewa menyewa sekaligus dalam 1 transaksi. Yang kedua jika benar pak Budi telah membeli rumah tersebut maka selayaknya rumah tersebut menjadi hak pak Budi, dalam hal ini termasuk harga jual 5 tahun kemudian. Nilai harga jual 5 tahun kemudian sudah selayaknya mengikuti harga pasaran, dan pak Budi tidak diharuskan menjual senilai Rp500.000.000.- kepada pak Darso.

Diluar pendapat penulis yang kurang setuju dengan sukuk sudah ada fatwa halal dari MUI melalui fatwa dengan no 137/DSN-MUI/IX/2020. Selanjutnya silakan dipertimbangkan lebih lanjut.

  • Saham

Saham ini akan dibahas lebih detail pada tulisan selanjutnya, karena membutuhkan rincian yang lebih panjang. Saham adalah bukti kepemilikan suatu unit usaha, seperti saat anda patungan usaha dengan 2 atau 3 teman Anda atau lebih banyak lagi.

Saham merupakan salah satu instrumen investasi paling tinggi imbal hasilnya, sekaligus tinggi juga resikonya. Paling cair dan fleksibel dari instrumen lain (saham perusahaan publik), jadi ketika suatu saat membutuhkan uangnya kita bisa langsung menjual saham tersebut sesuai harga pasarannya, baik sebagian saja atau langsung semuanya. Hal ini tidak berlaku untuk tanah maupun rumah karena ketika aset tersebut dijual maka harus dijual seluruhnya, tidak bisa halaman depan dulu atau pondasi dulu dll. Apalagi jika dalam kondisi mendesak maka harga jual kembali rumah/ tanah cenderung turun dibawah pasaran.

Saham dapat dimulai dari nominal kecil, minimal Rp5.000.- per lembar untuk saham tertentu. Dari sisi syariat perlu dibahas secara lebih detail karena tidak semua saham terutama di bursa efek memenuhi kriteria syariat. 

  • Reksadana Saham Syariah

Produk ini merupakan turunan dari saham. Bedanya jika kita membeli reksadana saham berarti kita memberikan dana kita kepada pihak ketiga (Fund Manager) untuk mereka kelola dengan cara membeli saham yang ada di index saham syariah. Begitupula dengan Reksadana campuran (dana dibelikan sukuk dan saham), reksadana pendapatan tetap (dana dibelikan sukuk) berbasis syariah.

Berikut tabel perbandingan kelebihan dan kekurangan masing-masing instrumen investasi dilihat dari,

  • Modal awal: Kecil berarti membutuhkan dana yang relatif kecil untuk berinvestasi di instrumen tersebut. Besar berarti sebaliknya.
  • Likuiditas: Kurang berarti sulit dicairkan jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Tinggi berarti mudah dicairkan dalam waktu singkat saat dibutuhkan.
  • Resiko: Rendah berarti potensi gagal bayar/ dana kita berkurang atau bahkan hilang sangat kecil. Begitupula sebaliknya jika tinggi.
  • Potensi Return: Rendah berarti imbal hasil yang didapat tidak jauh dari inflasi tahunan atau jika dirata-rata hanya 5 – 8 % per-tahun. Dikatakan tinggi jika memberikan imbal hasil lebih dari 15% per-tahun

Data tabel di atas adalah berdasarkan hasil pengamatan penulis pribadi dengan patokan kinerja rata-rata tahunan masing-masing instrumen di atas.

Jadi mau belajar investasi kapan nih ?

Author

2 thoughts on “Yuk, Belajar Berinvestasi!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *