Kronik Islam dan Komunisme dalam Episode Penistaan Prinsip Keagamaan

Manusia senantiasa berada dalam keadaan diingatkan pada kehidupan yang pernah terjadi atas dirinya. Di setiap kenangan-kenangan tersebut, tak sedikit menyisakan berbagai pelajaran untuk lebih baik di masa datang. Sesuatu yang pernah terlewat tadi, tersimpan dalam benak ingatan untuk muncul di kesempatan mendatang walau ia akan hadir dalam beda peran, waktu, ruang, hingga kekekalan masanya masing-masing. Tak terkecuali pada bangsa ini. Bangsa yang berdiri di atas perjalanan panjang sejarahnya. Sejak bernama Nusantara hingga tekad Sumpah Pemuda tahun 1928, memberi semangat bersatu dari yang sebelumnya berjarak, berpisah, tak saling mengenal. Hingga akhirnya muncul kolonialisme dan upaya imperialisme oleh bangsa Barat. Sebagai sebuah bangsa, tak heran, beragam konflik silih berganti, baik secara horizontal maupun vertikal.

Peristiwa pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia, adalah salah satu di antara sekian konflik yang bersifat horizontal sekaligus vertikal. Mengapa dianggap demikian? Hal ini tak terlepas karena Partai Komunis Indonesia mengalami 3 fase perjalanan sejarah di Indonesia. Mulai dari tahun 1926 saat berhadapan dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda, disusul pada 1948 yang menggugat kepemimpinan Hatta sebagai pengganti Amir Syarifuddin sebagai perdana menteri kala itu, sekaligus menghasut rakyat untuk masuk ke barisan PKI dan menyebabkan terpolarisasinya masyarakat, apakah harus bersama Soekarno atau ikut Musso. Dilanjutkan lagi pada peristiwa Gestapu yang terjadi pada tahun 1965 dan berhadapan dengan pimpinan militer dari satuan Angkatan Darat untuk memuluskan langkah Aidit mengawal ideologi sosialisme dan komunisme di bumi pertiwi.

Rangkaian peristiwa yang dilakukan PKI menjadi bukti, dari sekian waktu yang ada, sulit untuk dikatakan pada hari ini, bahwa PKI sudah tak lagi eksis. Secara pergerakan mungkin dapat dinyatakan benar bahwa hari ini mereka tak lagi menjadi ancaman, namun sebagai sebuah ideologi. Sosialisme dan komunisme senantiasa eksis. Sama halnya dengan aksi separatisme di berbagai belahan bumi. Ideologi akan muncul dan melakukan perlawanan, bila negara dianggap tak sanggup menyelesaikan persoalan warganya. Mulai dari urusan kesejahteraan, kesehatan, kesenjangan sosial, pendidikan, sampai pada hak politik ekonomi yang bersifat sentralistik dan otoriter.

Membicarakan PKI yang menjadi agenda rutin setiap tahunnya di bulan September, pada hari ini tentu sudah banyak ulasan narasi yang menyertai. Sekarang, informasi beredar luas. Sumber dapat mudah ditelusuri, mulai dari arsip dan dokumentasi, sampai persaksian atau rekam ingatan sejarawan di berbagai siniar yang tersedia di media sosial. Informasi mengenai PKI dan gerakan komunisme, tidak lagi menjadi kewenangan satu pihak saja, yang dulu dikendalikan oleh pemerintahan Orde Baru melalui tayangan televisi setiap tahunnya, hasil produksi Arifin C. Noer. Setiap orang hari ini, bisa menjadikan PKI sebagai sebuah pelajaran sejarah masa lalu yang dapat direfleksikan pada masa datang.

Pembahasan mengenai PKI yang banyak tadi, tentu menarik bila diambil kroniknya masing-masing. Seperti ide Soekarno yang sadar sejak 1926 dalam tulisannya di surat kabar Soeloeh Indonesia Moeda mengenai perbedaan ideologi di antara anak-anak bangsa atas nasionalisme, komunisme, dan agama. Soekarno yang kala itu menyatakan, “Dengan jalan yang kurang sempurna, kita mencoba membuktikan bahwa paham Nasionalisme, Islam, dan Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain. Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, inilah asas-asas yang dipegang teguh oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Rohnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia kita ini.”

Soekarno sangat sadar bahwa setiap anak bangsa, memiliki ide dan gagasannya sendiri. Keduanya tumbuh dengan latar belakang pengalaman yang mendasari. Ada nilai-nilai nasionalisme yang bermula karena semangat untuk bersatu dalam asas saling menyepakati satu sama lain demi terwujudnya Indonesia milik bersama. Ada agama, khususnya Islam yang telah hadir menyusun batu peradaban di dalam sejarah panjang bangsa ini, sejarah yang menjadikannya terhubung antara satu wilayah dengan wilayah lain, satu nasib terhadap nasib lainnya, dan satu musuh untuk dilawan bersama. Semangat keislaman yang tak pernah surut untuk mengembalikan pada keadaan dan kesadaran sebelum munculnya penjajahan. Hingga Marxisme sebagai sebuah ideologi yang di beberapa bangsa telah terbukti mampu melakukan perlawanan pada diskriminasi, penindasan, kesewenangan, hingga penjajahan. Itulah mengapa bila menghadapi kekuatan Barat, maka harus menggunakan ideologi yang membuat bangsa-bangsa lain berani untuk melawan Barat. Kekuatan yang berasal dari rakyat, kesadaran bahwa rakyat punya hak melakukan perlawanan. Nilai-nilai itu utuh dipahami sebagai perjuangan melawan borjuasi oleh proletariat dari dalam diri penghayat Marxisme.

Komunisme Menistakan Islam

Pada bagian ini, tentu kita tidak sedang melakukan vis a vis komunisme dengan nasionalisme. Pembahasan tersebut mudah ditemui di banyak sumber saat ini. Seperti contoh yang paling mendasar dalam tulisan Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas. PKI pernah berupaya keras untuk menghapuskan sila-sila dalam Pancasila hingga meminta untuk menyisakan ekasila saja yaitu gotong royong yang oleh PKI dianggap sebagai asas kolektivisme. PKI meminta agar sila mengenai Ketuhanan dihapus karena bertentangan dengan nilai materialisme yang menihilkan Tuhan. PKI juga meminta untuk menghilangkan pasal Kemanusiaan sebab mereka menganggap bagaimana nilai kemanusiaan muncul bila masih ada kelas borjuis dan buruh. Tak tanggung-tanggung, PKI juga menginginkan agar Persatuan dalam sila di Pancasila ikut dihapus sebab bertentangan dengan nilai internasionalisme yang mereka bawa untuk tunduk pada komintern di Uni Soviet, bukan pada nilai kebangsaan. Hingga terakhir, PKI meminta Kerakyatan serta Keadilan Sosial dihapuskan karena mereka menganggap tak akan ada hak rakyat bila belum tegak diktatorisme proletar dan tak perlu lagi keadilan, bila segalanya telah dimiliki oleh rakyat.

Lantas bagaimana PKI dengan Islam? Kronik pertentangan antara PKI dan Islam pun hadir dalam berbagai kemasan. Mulai dari penyanderaan, pembunuhan, sampai pembantaian. Umat Islam tentu tak lupa pada pembantaian pada subuh,13 Januari 1965, di sebuah tempat bernama Kanigoro-Kediri yang menewaskan 127 kader Pelajar Islam Indonesia saat sedang fokus membaca Al-Qur’an. Kaum muslimin juga hendaknya tidak alpa pada penculikan disertai pembunuhan yang dilakukan oleh PKI pada tahun 1948 di Pesantren Sabilul Muttaqin pimpinan Kiai Imam Mursjid Muttaqin di wilayah Takeran-Magetan, kepada Kiai Haji Dimyati pimpinan dari Pesantren Tremas, Pacitan yang ditawan lalu dijebloskan ke dalam sumur saat ingin bergerak menuju Yogyakarta namun ditangkap di Wonogiri. Serta berbagai catatan-catatan kekejaman lainnya atas kaum muslimin.

Namun, satu hal yang paling menarik untuk digarisbawahi, justru bukan sekadar aksi frontal yang dilakukan PKI atas Islam untuk diingat, tapi aksi cemoohan PKI beserta tokohnya atas ajaran-ajaran Islam. Justru ini yang masih terpelihara sampai sekarang dan wajib dijadikan bahaya laten. Karena pada sisi ini, apa yang dilakukan oleh komunisme-sosialisme, sama persis dengan mereka yang di dalam hatinya terdapat penyakit dari golongan sekulerisme, pluralisme, hingga liberalisme.

Salah satu frase perendahan atas nilai-nilai ketuhanan yang dilakukan oleh PKI terhadap Islam salah satunya ialah apa yang dibincangkan antara Musso dan Kyai Abu Hanifah, salah seorang pimpinan pusat Partai Masyumi sekaligus juru bicara partai tentang pribadi Musso. Suatu Ketika Abu Hanifah diundang oleh Amir Syarifuddin ke rumahnya untuk makan siang. Ternyata sudah ada Musso disana. Dengan Musso, ia sempat berbincang tanpa ada Amir di antara mereka. Abu cerita,

“Setelah datang waktu makan. Ia (Musso) mengatakan bahwa antara saya dan dia sebenarnya tidak banyak perbedaan. Kita bersama-sama mengabdi kepada rakyat, sedangkan kaum borjuis dan kapitalis mengisap rakyat. Saya jawab, ‘Tetapi dasar dari pengabdian itu berbeda. Saya menganggap pengabdian ini harus berdasarkan satu moral, dan moral itu bagi saya adalah keyakinan kepada adanya Tuhan Yang Maha Kuasa.’ Saya lantas heran mendengar jawabannya, (Musso mengatakan): ‘Percayalah Bung Abu, di Rusia kami sedang mempersiapkan satu kapal terbang yang akan memeriksa langit hijau. Nanti kita lihat apakah Tuhan itu ada atau tidak.’” (Majalah Prisma, 8 Agustus 1977)

Tak sampai disitu, upaya PKI mengolok-olok prinsip ketuhanan dan nilai ajaran agama khususnya islam juga pernah dipraktekkan, bukan hanya sekadar lisan. PKI melalui sayap underbouw-nya di bidang kesenian yaitu LEKRA, pernah menyelenggarakan pertunjukan di tahun 1964. Lakon ludruk yang digelar dengan judul “Matine Gusti Al”oh” tersebut terselenggara di Kediri, Jawa Timur. Sebagian besar para penonton adalah para muslim abangan dalam klasifikasi Clofford Geertz, merasa tercuci otaknya dari acara itu. Sebab, sepanjang lakon dimainkan, pembawa acara tak henti menyusupkan kalimat, “Malam ini Gusti Alloh telah mati, besok tidak ada lagi” dalam bahasa Jawa.

Musso di kesempatan yang lain juga pernah saling olok dengan Agus Salim. Pada beberapa keadaan, Musso sangat membenci sosok Agus Salim sejak masa Sarekat Islam. Hal tersebut terjadi saat keduanya bertemu dalam suasana tensi tinggi tersebut, Musso naik podium dan melontarkan sindiran pada tokoh Sarekat Islam, seperti Cokroaminoto yang dianggapnya telah melakukan penggelapan uang organisasi. Tiba saatnya Musso berhadapan dengan Agus Salim. Dilihatnya Agus Salim berkumis dan berjanggut, Musso jadikan simbol-simbol syariat yang dimiliki Agus Salim sebagai bahan cemoohan dihadapan para hadirin. Musso bertanya kepada hadirin, “Yang berjanggut apa saudara-saudara?”, lalu hadirin menjawab, “Kambing.” Belum selesai sampai disana, “Kalau yang berkumis apa?” Hadirin menjawab, “Kucing!” Setelah usai Musso melontarkan ejekan, tiba waktunya Agus Salim naik podium dan membuka dengan balasan elegan. “Sebentar, tadi itu pertanyaannya belum lengkap, hewan-hewan yang disebutkan.” Kali ini Agus Salim bersiap memberikan umpan balik kepada Musso yang tak berjanggut dan berkumis, “Kalau tidak berjanggut dan berkumis, itu apa hadirin?” Tanya Agus Salim kepada para pengunjung pertemuan. Sontak hadirin menjawab, “Anjing!” seketika Musso dan para pendukungnya terdiam.

Apa yang dilakukan PKI hanya menjadi lembaran sejarah saat ini sebagai sebuah kronologi penistaan terhadap agama. Memang saat munculnya upaya mobilisasi masyarakat dari pemerintah menuju PKI, bukan hanya Islam yang menjadi fokus penistaan dan perendahan nilai keagamaan serta simbol yang dimiliki. Agama lain juga merasakan hal yang sama. Karena PKI menihilkan nilai-nilai Ketuhanan dalam aktifitas kehidupannya.

PKI bisa jadi telah berlalu masanya dalam melecehkan nilai serta simbol keagamaan, khususnya Islam. Namun hari ini, upaya-upaya penistaan nilai keagamaan, simbol-simbol syariat dalam Islam, hingga perendahan atas eksistensi Ketuhanan terus terjadi. Hari ini dan beberapa waktu terlewat kemarin, ragam pelecehan atas nilai syariat berulang kali terjadi. Tentu belum hilang dari ingatan bagaimana muncul Jaringan islam Liberal dan tokohnya yang menyatakan bahwa bisa jadi Vodka di Rusia itu halal apabila diminumnya saat musim dingin, atau ada jargon yang disodorkan mahasiswa kampus bergama melalui ujaran, “Selamat Datang di Kampus Bebas Tuhan.” Atau ujaran lain semisal penistaan atas pujian kepada Allahu Akbar yang diganti menjadi nama hewan.

Belum selesai sampai di masa tersebut, hari ini pun. Bentuk-bentuk perendahan nilai keagamaan juga masih terjadi. Bedanya, ujaran tersebut disampaikan oleh para idola anak-anak muda, mereka para komika yang seringkali berkumpul pada acara Stand Up Comedy, beberapa kegiatan diatur secara terbatas, hanya agar dapat menyebarkan pola pikirnya dalam bentuk canda menjadi tawa kepada para pemuda. Sebagian lain memang sudah terbiasa mencela, sehingga kadang sengaja membuat opini di konten acaranya, baik berupa siniar atau fragmen komedi yang telah disiapkan, dan terlontar secara tanpa sadar yang memang itu merupakan isi kepalanya sehari-hari.

Tetapi, yang menjadi pembeda atas ketiganya. Di antara PKI, para tokoh liberalis yang berkedok akademis, sampai para komika ialah bentuk pertanggungjawaban yang dimiliki. Masa itu, PKI anti meminta maaf dan memang itu merupakan jualan yang digagas untuk melemahkan keyakinan masyarakat atas agama. Para liberalis dari golongan akademis tidak mengenal klarifikasi dan konfirmasi, mereka hanya melakukan tauriyah atau permisalan atas ujarannya pada hal-hal yang sebetulnya konteks tersebut bukan berkenaan dengan nilai agama. Adapun sekarang, para komika, mereka akan klarifikasi sekaligus meminta maaf, bila para pengguna sosial media membuka suara. Sisanya, bila tidak ada reaksi, maka mereka akan terus melakukan legalisasi dan normalisasi upaya perendahan atau peremehan atas nilai-nilai agama. Bukankah ini dapat dikategorikan nilai-nilai kemunafikan?

Apapun itu, memang Islam dengan nilai-nilai syariat yang dibawa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam disertai penjagaan dari Allah merupakan sebuah kebenaran. Islam senantiasa diserang dari berbagai tuduhan dan ujaran, namun Allah senantiasa memberikan balasan-balasan kepada mereka yang dalam hatinya terdapat kemunafikan. Hal ini persis sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ () لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah: 65-66).

Terakhir, perlu diperhatikan sebagai seorang muslim, apa yang difatwakan oleh Lajnah Da’imah berikut:

والاستهزاء بالمتمسك بها نظرا لما تمسك به كإعفاء اللحية وتحجب المسلمة هذا كفر

“Mengolok-olok orang yang berpegang dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena mengamalkan ajaran beliau seperti memelihara jenggot dan berhijab bagi muslimah maka perbuatan ini termasuk kekufuran.

إذا صدر من مكلف وينبغي أن يبين له أن هذا كفر فإن أصر بعد العلم فهو كافر

Jika yang mengolok itu mukallaf sudah baligh dan berakal maka harus dijelaskan bahwa perbuatannya itu kufur. Namun jika dia terus melakukannya setelah mengetahui hukumnya maka dia kafir.

قال الله تعالى: قل أبالله وآياته ورسوله كنتم تستهزؤون لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم

Allah ta’ala berfirman, “Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu mengolok-olok?” Tidak usah kalian minta maaf karena kalian telah kafir sesudah beriman.” (Fatwa Lajnah nomor 10895, dikutip dari: https://t.me/manhajulhaq/5475)

Sehingga, hari ini komunisme dan sosialisme sebagai sebuah ideologi yang berupaya untuk berdiri sendiri dan mengambil alih kepemimpinan dalam negeri bisa jadi sudah selesai. Tapi, bentuk-bentuk pelecehan atas nilai syariat yang pernah ada di masanya, terus bertahan hingga sekarang. Disinilah titik temu, para pengusung sosialis dan pendaku asas demokratis. Fenomena sejarah yang terus berulang, tentang sebuah kebencian dalam hati terhadap Islam. Bukan sekadar kebencian sejatinya yang hadir dalam ujaran tersebut, tetapi ketakutan serta kekhawatiran akan semakin besarnya pengaruh ajaran Islam yang benar dihadapan penduduk bangsa ini. Namun perlu diingat, seberapa keras para pembenci melontarkan senjatanya atas Islam, balasan Allah tentu akan hadir lebih besar dari apa yang tidak mereka perkirakan.

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *