Kurikulum bagi Orang Tua

Sebagai orang tua, tentu kita sering atau minimal pernah mendengar kata “kurikulum”. Dan tentunya kata ini sering didengar di ruang lingkup lembaga pendidikan seperti, sekolah, pesantren, bimbingan belajar ataupun lembaga pendidikan lainnya. Lalu, apakah sebenarnya kurikulum tersebut? Secara bahasa, kurikulum diambil dari bahasa Yunani yaitu “curir” dan “curere”. “Curir” berarti pelari dan “curere” berarti tempat berpacu, dulunya istilah ini digunakan dalam bidang olahraga. Jadi, berdasarkan pengertian secara bahasa di atas, kurikulum merupakan jarak tempuh yang harus ditempuh oleh seorang pelari untuk mencapai garis akhir.

Namun menurut para ahli, beberapa pengertian dari kurikulum adalah sebagai berikut:

  • Hilda Taba (1962): Kurikulum dianggap sebagai plan of learning, yang artinya adalah kurikulum merupakan suatu bentuk perencanaan pembelajaran yang akan diterima oleh peserta didik.
  • Good V. Carter (1973): Kurikulum merupakan sekumpulan urutan pembelajaran yang sistematik.
  • Menurut Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003: Kurikulum merupakan seperangkat rencana dalam kegiatan pembelajaran yang memiliki tujuan, isi, bahan ajar dan pedoman agar tercapai sebuah pendidikan nasional.

Berdasarkan pengertian-pengertian kurikulum di atas, tentu yang terbesit di pikiran kita ialah kurikulum hanya akan didapatkan oleh anak-anak kita yang berstatus sebagai siswa. Ataupun para mahasiswa-mahasiswa yang masih menempuh pendidikan di bangku perkuliahan. Lalu, bagaimana dengan para orang-orang yang telah selesai dengan status “siswa” atau “mahasiswa” nya dan kemudian beralih status menjadi “orang tua”? Masih layakkah mereka untuk mendapatkan serangkaian isi dari kurikulum?

Tentu ini akan menjadi tugas berat para orang tua karena banyak dari mereka yang sudah tidak memperhatikan kurikulum tersebut untuk dirinya sendiri. Mereka sudah merasa berada di dunia yang berbeda dengan dunia kurikulum. Sebagian besar fokus orang tua sekarang adalah tertuju pada dunia karir atau pekerjaan demi menggapai kehidupan yang lebih baik. Atau bagi ibu rumah tangga yang sebagian besar berfokus pada beberes rumah, mencuci, setrika, dan lainnya yang penting kebersihan rumah adalah yang utama.

Pengertian Orang Tua dan Peran Pentingnya

Jika kita lihat terlebih dahulu pengertian dari orang tua, orang tua adalah setiap orang dewasa yang memiliki tanggung jawab terhadap tugas rumah tangga yang ada di dalam kehidupan sehari-hari dan disebut sebagai bapak dan ibu. Dikutip dari artikel sumsel.kemenag.go.id, orang tua adalah sepasang pria dan wanita yang telah melakukan pernikahan secara sah serta telah siap untuk menjalani kehidupan rumah tangga dan amanah-amanah yang akan dihadapi kedepannya termasuk diantaranya adalah amanah berupa anak.

Melihat pengertian di atas tentang orang tua, tentu disini yang dimaksud adalah para pasangan suami dan istri yang telah dikaruniai oleh Allah ‘Azza wa Jalla keturunan (anak). Karena memang salah satu tujuan dari pernikahan adalah memiliki keturunan, seperti yang telah Allah ‘Azza wa Jalla perintahkan,

وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ

“…Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu (yaitu anak).” [QS. Al-Baqarah: 187]

Namun, sebagai seorang muslim memiliki keturunan saja tentulah bukan suatu kecukupan. Seorang muslim harus berusaha untuk memperoleh keturunan yang berkualitas agamanya dan shalih. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ

“Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.“ [QS. Ash-Shaffat: 100]

Dari ayat tersebut tentulah kita sebagai orang tua muslim diperintahkan oleh Allahu Ta’ala untuk meminta keturunan yang shalih.

Lalu, apa saja yang menjadi peran penting dari orang tua?

Peran penting dari orang tua secara umum adalah melahirkan, mengasuh, membesarkan dan mengarahkan anak-anak mereka. Jika kita buat lebih rinci lagi, peran penting dari orang tua adalah bertanggung jawab atas karunia yang telah Allah berikan kepada mereka. Mengasuh anak dengan cara yang benar, memberikannya makan, minum, tempat tinggal, pakaian, dan yang paling utama adalah memberikan arahan dan pendidikan yang terbaik untuk anak-anak kita terutama dalam urusan akhirat (ilmu agama). Perkara pendidikan akhirat untuk anak bukanlah perkara yang main-main, karena orang tua yang akan menjadi penentu agama dari anaknya. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap anak dilahirkan dalam fitrahnya (Islam). Keduanya orang tuanya yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi..” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Selain dari itu, orang tua juga memiliki peran penting untuk menjaga keluarganya dari api neraka yang bahan bakarnya dari batu dan manusia. Ingatlah firman Allah ‘Azza wa Jalla,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ 

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” [At Tahrim: 6]

Allahu Ta’ala lah yang langsung memerintahkan kedua orang tua untuk senantiasa menjaga keluarganya dari siksa api neraka. Lalu bagaimana bisa kedua orang tua tersebut menjaga keluarganya dari siksa api neraka? Tentu itu kembali lagi kepada bagaimana kedua orang tua tersebut memberikan pendidikan yang utama yaitu pendidikan akhirat atau ilmu agama kepada si anak.

Lalu, Bagaimana Kurikulum yang Tepat untuk Orang Tua?

Jika kita nukil kembali apa itu kurikulum, kurikulum adalah seperangkat rencana dalam kegiatan pembelajaran yang memiliki tujuan atau disebut juga sebagai plan of learning. Karena kurikulum itu pasti memiliki tujuan, maka tentu tujuan orang tua muslim adalah kembali kepada peran penting mereka sebagai orang tua. Oleh karena itu, haruslah para orang tua menyiapkan kurikulumnya untuk dirinya sendiri. Ya, orang tua itulah yang harus menjalankan, menerima dan harus konsisten dalam menerapkan kurikulum yang telah dibuatnya agar tercapai apa saja yang menjadi peran pentingnya sebagai orang tua.

Sebagai orang tua yang beragama Islam, tentu peran penting orang tua yang paling utama adalah mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang terbaik sehingga sang anak menjadi anak yang shalih. Karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah bersabda,

ما نحل والد ولده أفضل من أدب حسن

“Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik.” [HR. Al Hakim: 7679]

Tentu pendidikan yang baik ini adalah pendidikan yang senantiasa mengingatkan diri kita kepada Sang Pencipta. Orang tua haruslah menjadi sekolah yang paling pertama bagi si anak, sehingga pendidikan yang baik ini haruslah dimulai dari orang tua. Kita semua pasti sudah tahu, bahwa anak adalah cerminan dari orang tuanya. Atau kita bisa ingat kembali bahwa ada pepatah yang menyebutkan, “Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya”.

Memberikan pendidikan yang baik kepada anak sehingga menjadi anak yang shalih tentu bukanlah perkara yang mudah. Orang tua harus bisa mengatur waktu hidupnya kapan berperan sebagai seorang pekerja dan kapan berperan sebagai sebagai orang tua. Disini penulis ingin berbagi beberapa hal yang (semoga) bisa menjadikan acuan kurikulum untuk orang tua agar bisa tercapai tujuannya sebagai orang tua.

1. Menutut Ilmu Syar’i. Orang tua wajib untuk menuntut ilmu syar’i, yaitu ilmu agama (Al-Qur’an dan Sunnah) yang sesuai dengan pemahaman para salaf. Ketika orang tua ingin menjadikan anaknya menjadi anak yang shalih, itu bukan berarti serta merta hanya anak saja yang belajar ilmu agama. Justru peran orang tua yang menjadi contoh anaknya inilah yang menjadi faktor utama anak yang shalih itu ada. Ingatlah firman dari Allah ‘Azza wa Jalla,

ذُرِّيَّةً بَعْضُهَا مِنْ بَعْضٍ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Keturunan itu sebagiannya merupakan (turunan) dari yang lain.” [Ali Imran: 34]

Maksud dari ayat di atas adalah orang tua yang shalih merupakan sumber keshalihan bagi si anak, dan insyaa Allah Ta’ala anak akan menjadi shalih juga.

Penulis juga teringat suatu buku yang bagus untuk dibaca bagi para orang tua, judulnya adalah “Ibunda Para Ulama” karya Dr. Sufyan Baswedan hafidzahullah. Dalam kalimat pembuka buku tersebut beliau mengingatkan kepada para pembaca, bahwasanya jika ada ulama salaf yang telah hafal Al-Qur’an dan hafal banyak hadits di usia belasan tahun (seperti Imam Syafi’i atau Imam Nawawi), tentu itu bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Dibalik kesuksesan ulama salaf tersebut tentunya ada para ibu yang shalihah yang mendorong anak-anaknya menjadi anak yang shalih.

2. Mengatur Jadwal. Orang tua harus bisa membuat jadwal kapan waktu untuk bekerja dan kapan waktu untuk keluarga. Waktu bersama keluarga (family time) adalah momen yang tepat untuk membangun hubungan yang harmonis dalam keluarga, khususnya antara orang tua dan anak. Bersenda gurau dengan anak setiap hari, walaupun hanya sebentar tentu akan bermakna bagi si anak. Dalam waktu-waktu tersebut lah orang tua bisa menanyakan bagaimana perasaan anaknya hari ini, bagaimana kegiatan dia di sekolah dan juga bisa diisi dengan menyampaikan ilmu-ilmu agama yang telah dipelajari oleh orang tua tersebut. Hal yang bersifat santai dan kekeluargaan untuk menyampaikan suatu ilmu insyaallah akan lebih mudah diterima. Namun orang tua juga harus pintar melihat mood si anak. Apalagi terkait masalah ilmu agama, ilmu tersebut harus disampaikan berkali-kali agar si anak paham dan bisa mengamalkan. Ingatlah kisah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu,

كُنْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا، فَقَالَ: «يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ، احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ، وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ»

“Suatu hari aku pernah dibonceng Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menaiki tunggangannya. Saat itu beliau bersabda, ‘Nak, aku akan mengajarimu beberapa prinsip. Jagalah Allah; niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah; niscaya Engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Bila engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah. Ketahuilah bila seluruh manusia bersatu padu untuk memberimu suatu manfaat, maka mereka tidak akan mampu memberikannya, kecuali bila telah ditakdirkan Allah. Sebaliknya bila mereka semua bersatu padu untuk mencelakaimu, maka mereka tidak akan mampu melakukannya, kecuali bila telah ditakdirkan Allah. Pena takdir telah diangkat dan kitab takdir telah selesai dituliskan’.” [HR. Tirmidzi dan beliau mengatakan hadits ini hasan shahih]

Lihatlah bagaimana Rasulullah memberikan suatu ilmu kepada Ibnu Abbas di atas tunggangannya. Rasulullah mengetahui apa yang membuat perasaan Ibnu Abbas itu senang, sehingga itulah momen yang tepat untuk menyampaikan suatu nasihat atau ilmu. Dan juga tentu karena momen kedekatan antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu yang membuat nasihat Rasulullah bisa diterima.

3. Terus Bersabar. Orang tua harus bersabar dalam menjalani kedua hal yang telah disebutkan di atas. Menuntut suatu ilmu (khususnya ilmu agama), bukanlah dengan waktu yang sebentar. Tentu membutuhkan waktu yang sangat panjang, bahkan sampai manusia itu sudah tidak bernyawa lagi. Ingatlah kisah dari Imam Ahmad bin Hambal yang sudah memiliki ilmu yang sangat tinggi namun masih membawa wadah tinta. Seseorang yang melihat beliau heran dan menanyakan kepada Imam Ahmad sampai kapan dia akan berhenti menuntut ilmu, padahal dia sudah memiliki ilmu yang sangat tinggi. Namun Imam Ahmad menjawab, “Bersama wadah tinta ini (maksudnya adalah ilmu), sampai ke liang lahat”.

Selain itu juga, orang tua juga harus bersabar dalam menghadapi si anak. Karena Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

…إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ

“Sesungguhnya harta kamu dan anak-anakmu adalah fitnah (ujian).” [At-Thaghabun: 15]

Seorang Nabi dan Rasul saja diuji oleh Allah dari anak-anak mereka, bagaimana dengan kita? Maka orang tua harus bersabar dalam mengemban amanah dan menjalani peran yang sangat penting ini.

Demikian beberapa hal yang bisa penulis bagikan terkait acuan kurikulum bagi orang tua demi tercapainya tujuan menjadi orang tua yang baik. Tentu penulis sendiri masih harus banyak belajar untuk menerapkan kurikulum yang berat ini. Karena memang amanah anak ini adalah amanah yang luar biasa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla kasih kepada kita. Jika kita sebagai orang tua merasa putus asa dalam menuntut ilmu agama, ingatlah bahwa menuntut ilmu agama adalah jalan cepat menuju jannah.

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” [HR. Muslim, no. 2699]

Dan tentu banyak sekali dalil-dalil tentang keutamaan menuntut ilmu agama yang bisa menjadi penyemangat kita sebagai orang tua.

Jika orang tua juga merasa putus asa dalam menyampaikan ilmu agama kepada si anak, ingatlah bahwa setiap ilmu yang kita sampaikan kepada anak kita dan anak kita mengamalkannya saat kita telah mati, hal tersebut akan mampu mengangkat derajat kita di akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila seorang telah meninggal dunia, maka seluruh amalnya terputus kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendo’akannya.” [HR. Muslim: 1631]

Berdasarkan dalil di atas, bukan hanya ilmu bermanfaat saja, tetapi juga do’a dari anak yang shalih. Semoga dalil-dalil di atas dapat menjadi penggugah semangat kita (khususnya penulis sendiri) sebagai orang tua untuk dapat menyusun dan melaksanakan kurikulum agar tercapai suatu tujuan yaitu mencetak keturunan yang shalih. Aamiin Allahumma Aamiin.

Pangestu Wibisono
[Hobi bermain futsal dan jogging, saat ini mengajar Fisika di SMA FG]

Referensi:

 

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *