Menggali Faidah Surat Al-Mulk Ayat ke-2
Published Date: 7 March 2022
Satu hal yang wajib kita imani sebagai seorang muslim, adalah Allah Ta’ala tidak pernah melakukan suatu perbuatan yang sia-sia tanpa maksud dan tujuan tertentu. Akan tetapi, perbuatan Allah Ta’ala senantiasa berkaitan dengan hikmah yang kita ketahui maupun tidak diketahui.
Demikian pula dalam penciptaan manusia. Allah Ta’ala memiliki hikmah tertentu dalam penciptaan manusia. Sebagian manusia bisa merealisasikan hikmah penciptaan tersebut, namun sebagiannya lagi tidak dapat merealisasikannya, baik karena kebodohannya atau karena kedurhakaannya.
Di antara hikmahnya telah Allah Ta’ala jelaskan dalam firman-Nya,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat : 56)
Dalam ayat di atas, makna dari لِيَعْبُدُونِ “beribadah kepada-Ku”, adalah لِيُوَحِّدُونِ “mentauhidkan Aku.”
Maksudnya, seseorang tidaklah dinilai beribadah kepada Allah Ta’ala sampai dia mentauhidkan-Nya dalam ibadah tersebut, yakni dengan tidak beribadah kepada selain Allah Ta’ala.
Dalam beribadah kepada Allah Ta’ala, sudah selayaknya kita memperhatikan firman-Nya,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk : 2)
Seorang ulama generasi tabi’in yaitu Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah tatkala mengomentari firman Allah,
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.”
Beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan shawab (mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Lalu beliau melanjutkan, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima. Amalan barulah diterima jika terdapat syarat ikhlas dan showab. Amalan dikatakan ikhlas apabila dikerjakan semata-mata karena Allah, sedangkan dikatakan shawab apabila mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dalil dari dua syarat di atas disebutkan sekaligus dalam firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Artinya: “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang salih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi : 110)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang salih”, maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pent.). Dan, “janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya”, maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik kepada-Nya. Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dua syarat diterimanya ibadah juga ditunjukkan dalam dua hadits. Hadis pertama dari Umar bin Al-Khattab. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلِى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Artinya: “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah pada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrah karena dunia yang ia cari-cari atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya berarti pada apa yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis kedua dari Ummul Mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Artinya: “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Muslim disebutkan, مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Artinya: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Suatu amalan tidak akan sempurna (tidak akan diterima, pent.) kecuali terpenuhi dua hal:
- Amalan tersebut secara lahiriyah mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini terdapat dalam hadits Aisyah ‘Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.’
- Amalan tersebut secara batiniyah diniatkan ikhlas mengharapkan wajah Allah. Hal ini terdapat dalam hadis Umar, ‘Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat’.”
Demikian semoga bermanfaat.
Wassalamua’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Abdul Fattah
[Alumni Fakultas MIPA Universitas Gajah Mada, Jurusan Kimia. Dipercaya untuk mengajar Kimia sekaligus diamanahi Ketua Rumpun Jurusan IPA. Pernah mengelola Mahad Ilmi di Yogyakarta semasa kuliah, dan aktif dalam kegiatan di Yayasan Pendidikan Islam Al Atsari Yogyakarta, selain itu juga supervisor Bahasa Arab di Mahad Umar bin Khattab Yogyakarta pada waktu bersamaan.]
2 thoughts on “Menggali Faidah Surat Al-Mulk Ayat ke-2”