Menyusun Khotbah Jumat Ramah Anak
Published Date: 27 October 2023
Tumbuhnya sekolah Islam sejak awal 2000-an menjadi oase tersendiri bagi kaum muslimin untuk mempercayakan putra-putri mereka dididik dalam konsep Islam. Hal ini menjadi bentuk alternatif dalam proses pendidikan selain model yang telah difasilitasi pemerintah melalui sekolah negeri, atau sekolah swasta dengan corak nasional dalam membangun konsep kecerdasan bangsa. Hadirnya sekolah Islam diikuti pula dengan sekolah-sekolah Islam melalui konsep keagamaan yang diyakini. Semisal kaum muslimin dari kalangan pergerakan membangun konsep sekolah Islam terpadu, atau dari organisasi-organisasi Islam lain yang pernah hadir sejak masa sebelum kemerdekaan, seperti sekolah milik Nahdhlatul Ulama, sekolah binaan Muhammadiyah, lembaga pendidikan milik Persis, atau konsep sekolah Islam modern yang dibangun oleh Al Irsyad Al Islamiyyah. Sebetulnya, pemerintah juga memfasilitasi hadirnya sekolah agama melalui Kementerian Agama, baik pondok pesantren atau pun madrasah, dari sekolah dasar sampai ke sekolah tinggi.
Fenomena sekolah Islam juga diikuti dengan maraknya pendirian sekolah sunnah. Diistilahkan sebagai sekolah sunnah, bukan sebagai antitesis atas sekolah wajib. Namun, lebih menjadi label tersendiri atas sekolah-sekolah yang menggunakan corak beragama sesuai prinsip akidah dan manhaj Ahlusunnah wal Jama’ah di atas pemahaman para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk melegitimasi keberadaan sekolah dengan label sunah atau sekolah sunah, telah ada wadah yang berdiri sejak tahun 2015 dengan nama Asosiasi Sekolah Sunnah Indonesia atau ASESI dengan memiliki kegiatan rutin pameran sekolah-sekolah serta seminar pendidikan bagi pengelolanya, tak kurang pula adanya direktori sekolah sunah di berbagai tempat untuk memudahkan kaum muslimin dalam menyekolahkan putra-putri mereka dalam situs sekolahsunnah.com. Sesuatu yang dirintis dan dibina, telah menuai hasil, kini di setiap wilayah hadir sekolah-sekolah sunnah dengan sistem fullday bukan mondok. Penyelenggaraan sekolahnya terdiri dari berbagai pilihan jenjang. Tak sampai disitu, pilihan harga juga turut beragam, menyesuaikan keadaan ekonomi para orang tua.
Keberadaan sekolah sunnah di tengah masyarakat pun, bukan hanya sekadar menjadi lembaga pendidikan. Namun, secara bersamaan menjadi sebuah sarana dakwah. Dengan adanya sekolah sunah, tak jarang mengharuskan adanya masjid sebagai medium kegiatan ibadah para siswa. Di luar kegiatan sekolah, masjid juga digunakan bagi masyarakat sekitar dengan pengelolaan yang telah disusun oleh yayasan milik sekolah tersebut untuk melaksanakan kajian, pelatihan belajar bahasa Arab, pembiasaan tilawah sesuai bacaan tajwid yang benar, hingga seminar-seminar pendidikan atau parenting bagi orang tua.
Sebagai medium kegiatan belajar siswa, masjid digunakan untuk kegiatan salat berjamaah, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar Al-Qur’an, kegiatan bersama dengan melibatkan seluruh siswa dari beragam jenjang. Tentu paling penting adalah melaksanakan salat Jumat. Masjid sekolah juga diperuntukkan dalam membangun nilai afektif dan psikomotorik siswa. Dari porsi afektif, masjid sekolah memiliki fungsi untuk membiasakan siswa tertib dalam salat dengan pengawasan para guru, menjadi wadah untuk mengasah kepemimpinan siswa dan mental tumbuh kembang saat berada di tempat umum, belajar berani dengan memberi kesempatan siswa azan serta iqamah, mengajak mengontrol diri untuk menguasai lisan. Adapun dari aspek psikomotorik mampu mengarahkan siswa menjaga gerak tubuh kala berada di tempat yang di dalamnya Allah berikan kemuliaan.
Fenomena yang paling penting lainnya adalah, keberadaan masjid sekolah, khususnya bagi siswa tingkat sekolah dasar, seharusnya dapat menguatkan pembelajaran yang dilaksanakan. Kegiatan tersebut dapat disajikan melalui pengelolaan shalat Jumat yang di dalamnya terdapat khotbah.
Khotbah bagi Siswa SD
Adanya khotbah dengan pengisi bergantian oleh para guru maupun ustaz di sekolah, sejatinya bisa menjadi pendukung berbagai kemasan kurikulum pembelajaran. Sehingga tentu sekolah sunah yang mampu dengan efektif mengelola khotbah Jumatnya di hadapan siswa SD, harus mencermati beberapa hal berikut:
Pertama, perhatikan isi khotbah dan durasinya. Seorang khotib Jumat dihadapan para siswa sekolah dasar, hendaknya dapat menyesuaikan waktu secara efisien namun tidak menghilangkan esensi khotbah itu sendiri. Sekali pun didapati, warga setempat turut serta dalam kegiatan salat Jumat di dalamnya, khotib yang menyampaikan harus memprioritaskan bahwa ia memiliki sasaran penyampaian utama adalah para siswanya sendiri. Sehingga penyesuaian tersebut juga harus dilakukan oleh para hadirin dari kalangan umum. Namun, umumnya manusia sangat menginginkan khutbah jumat berlangsung dengan ringkas dan bernas. Tidak dalam waktu panjang sehingga membuat orang bosan dan mengantuk. Hal ini juga sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Asy Syaikh Shalih Al Fauzan hafizahullah saat ditanya, “Apa hukum syar’i menurut pandangan Anda dan dalilnya tentang memperpanjang khotbah Jumat lebih dari tiga puluh lima menit?”
Maka beliau menjawab, “Ini menyelisihi sunah, karena yang sunah adalah menjadikan khotbah ringkas dan terfokus, narasi yang dibawakan sedikit namun memiliki keluasan makna, serta menghadirkan faidah sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya panjangnya salat seseorang”
Yang dituntut adalah memanjangkan salat, bukan memanjangkan khotbah.
إِنَّ طُولَ صَلَاةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ فَأَطِيلُوا الصَّلَاةَ وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ وَإِنَّ مِنْ الْبَيَانِ سِحْرًا
“Sesungguhnya penjang shalat seseorang dan khotbahnya yang pendek menjadi tanda kedalaman pemahaman agamanya. Maka panjangkanlah salat dan pendekkanlah khotbah. Sesungguhnya sebagian dari kata-kata itu ada yang bisa menjadi sihir.” (HR. Muslim no. 866, Ahmad 4/263, al-Darimi no. 1556, dan lainnya dari Amar bin Yasir)
Inilah yang sunah. Adapun sebaliknya orang yang memanjangkan khotbah dan berkomentar ucapan yang tidak terdapat faidah, namun justru memendekkan dan menyingkat salat, maka yang demikian ini menyelisihi sunah. (http://www.alfawzan.af.org.sa/node/16198)
Bila beliau hafizahullah, dihadapan jamaah berusia dewasa saja mengarahkan agar mengefisiensikan waktu dalam khutbah serta mengefektifkan substansinya. Apatah lagi terhadap anak-anak yang sangat mudah bosan. Sehingga tak jarang, di awal para ustadz sudah mengondisikan siswa dengan baik, namun di tengah khotbah, para siswa bergantian menuju toilet, mengambil wudu, mulai menggoda temannya, dan tak sedikit tidur pulas karena panjangnya khutbah.
Kedua, menggunakan materi tepat guna. Materi yang sesuai dengan siswa usia anak adalah materi dengan muatan sesuai tumbuh kembang mereka. Usia tumbuh kembang yang memerlukan kisah dan pendekatan cerita, dianggap tepat dalam memengaruhi jiwa anak. Kisah-kisah tersebut biasanya akan lebih membekas bagi siswa. Karena selain ada tokoh sebagai teladan yang dibawakan di dalamnya, kisah juga mengekalkan pengetahuan anak. Dari penceritaan tadi, anak bisa jadi akan membawa konteks tersebut pada relasi pertemanannya di luar sekolah, atau menarasikan kembali kepada orang tuanya.
Dr. Muhammad Muhammad Badri dalam buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul, Sentuhan Jiwa Untuk Anak Kita hal. 365-367, mengungkapkan bahwa cerita adalah sesuatu yang sangat digemari anak-anak, oleh sebab itu cerita dapat memberi pengaruh pedagogis kepada anak melalui dua jalan, yaitu:
Keterlibatan emosional, anak akan hanyut dalam perasaan serta emosional atas karakter cerita bersangkutan. Anak dapat memberikan responsi dari apa yang dituturkan. Bila si tokoh dikisahkan dengan senang, anak akan merasakan senang, begitu juga saat ada kegelisahan yang ditampilkan, maka anak juga turut merasakan hal sama.
Berikutnya yang memengaruhi cerita, anak mampu mengambil pembanding atas dirinya. Bila sebelumnya anak dapat hanyut atas pencitraan karakter yang dikisahkan. Di keadaan emosional berikutnya, siswa dapat menarik garis, saat seorang karakter dikisahkan dalam keadaan ditimpa musibah, siswa bisa menempatkan diri dalam keadaan bersyukur, sebab dirinya berada dalam kondisi lebih baik, misalkan. Bila si tokoh dikisahkan melakukan perjuangan bersifat heroik, siswa tak sedikit membayangkan selebrasi heroisme yang dapat dilakukan seandainya dalam keadaan tersebut.
Selain itu, dari narasi khotbah Jum’at melalui penceritaan, bisa membangun pendengaran, penglihatan, hingga perasaan siswa untuk mengikuti cerita yang dikabarkan. Tentang apa yang akan terjadi selanjutnya? Akan seperti apa jalan cerita ini pada akhirnya? Dan hikmah apa yang bisa dipetik dari kisah khotib Jumat ini.
Selain menggunakan model penceritaan akan sosok-sosok yang benar dalam kisahnya, serta terdapat hikmah di dalamnya. Seperti kisah para Nabi, kisah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarganya, para sahabatnya, atau bahkan kisah hikmah para salaf dalam memperjuangkan ilmu, menjaga agama, berjihad di jalan Allah, atau kisah sarat hikmah lain yang terdapat dalam Al-Qur’an. Tentu, esensi kisah-kisah tadi tetap dibungkus sebagai amanah khutbah Jumat paling utama, yakni wasiat untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan juga tak terlepas dari rukun maupun syarat khotbah Jumat itu sendiri.
Hal lain yang bisa diangkat sebagai materi khotbah Jumat bagi anak-anak ialah. Para khatib dapat membawakan tafsir Al-Qur’an dari ayat-ayat yang telah dihafal oleh para siswa. Dalam tafsir-tafsir tersebut, dipilihkan mana yang paling bersesuaian dengan nilai-nilai pengajaran di sekolah. Utamanya dari sisi akidah, akhlak atau adab siswa. Tafsir Al Quran menjadi penting untuk disampaikan, agar pembelajaran Al-Qur’an siswa dapat diselami dengan baik makna hingga hakikatnya. Berharap bahwa nilai-nilai tafsir tersebut juga menjadi pembelajaran yang berbekas di hati mereka hingga dewasa nanti. Terlebih surat-surat tersebut adalah surat yang biasanya juga dibaca oleh imam-imam shalat rawatib di masjid lingkungan rumahnya.
Ini bisa membuka ruang dialog antara anak dengan orang tua, semisal. “Tadi imam membaca Surat Al Lahab, kemarin khatib di sekolahku menyampaikan tentang tafsirnya. Baik kisah hingga arti dan maknanya, Abi..” atau hal lain sebagai bagian pembelajaran penting bagi jiwa dan pikiran seorang anak di hadapan orang tuanya.
Dari dua tema besar di atas, kelak khotib juga dapat menyajikan hal penting juga bagi pendidikan siswa. Yaitu mengungkapkan tentang doa-doa dan zikir-zikir, yang sebelumnya telah diajarkan. Doa-doa dan dzikir tadi diberikan penekanan dalam mimbar Jum’at secara ringkas serta sederhana, dan dimasukkan dalam doa yang dipanjatkan oleh khotib menuju berakhirnya khotbah. Selain itu juga, di antara doa-doa serta dzikir tadi, khatib Jum’at untuk anak, dapat pula mengintegrasikan mengenai Nama-nama Allah atau Al Asmaa’ Al Husna. Disajikan dalam satu khotbah Jumat satu nama Allah tersebut, dan semoga bisa menjadi penguat hafalan siswa sekaligus memberi pemahaman tambahan atas maknanya.
Ketiga, sesekali setelah kegiatan khotbah Jumat, saat para siswa kembali ke kelas sebelum pelajaran sesi terakhir dimulai kembali atau pada kesempatan hari berikutnya. Para guru dapat memberikan kuis pada siswa tentang apa isi materi khotbah yang disampaikan tadi serta pelajaran apa yang dapat dipetik sebagai seorang muslim dari kandungan khotbah tersebut. Kuis-kuis sederhana ini dapat didukung oleh sekolah dengan memberikan stimulus penghargaan pada siswa. Misal hadiah atau lencana tertentu dalam membersamai proses pembelajaran afektif siswa. Bisa juga siswa diajak untuk menyamakan sisi kandungan khotbah yang tersampaikan, dan guru kelas mengemasnya dengan korelasi pembelajaran sesuai kurikulum. Apakah itu pelajaran ilmu sosial atau bahkan ilmu sains.
Momentum salat Jumat yang di dalamnya terdapat khotbah, ialah momen besar bagi kaum muslimin setiap pekan. Menyiapkan para siswa sejak dini, menjadi sebuah kemestian bagi para da’i, guru, ustaz, muallim, murabbi, atau siapa pun orang dewasa untuk membimbing anak-anak generasi kaum muslimin. Agar khotbah Jumat benar-benar menjadi sesuatu yang dinanti, istimewa, terdapat berbagai faidah serta keutamaan, hingga pengingat diri dalam taat. Tidak lagi khotbah Jum’at menjadi tempat rehat bersama. Saat khotib naik mimbar, para jamaah bersiap untuk terlelap. Lalu terbangun ketika iqamah berkumandang atau khotib membacakan doa. Hal ini takkan terjadi bila kemasan khotbah Jumat disesuaikan, dipersiapkan, kepada siapa akan dibawakan. Dan kesemuanya dimulai dari pendidikan sekaligus pembiasaan di sekolah. Karena anak-anak itu akan tumbuh dewasa. Dari sana juga mereka kelak bisa memberikan nasihat atau penjelasan, mengenai bagaimana seharusnya khotbah Jum’at idealnya disampaikan.